Menuju konten utama
27 Juni 1871

Kisah Yen dalam Perang Cina-Jepang dan Bisnis Kiwari

Mata uang Jepang pernah berjaya namun belakangan menimbulkan masalah di dalam negeri.

Header Mozaik Mata Uang Jepang. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada 1986, Pemerintah Los Angeles, California, membeli mata uang asing dengan menjual obligasi. Mata uang asing yang mereka beli bukan poundsterling atau deutsche mark, melainkan yen. Mata uang Jepang itu menurut studi Rod Steven (Capital & Class 1988) tengah melesat dan mengangkangi renminbi, calon kuat pengganti dolar sebagai mata uang internasional. Ini terjadi karena sejak 1985 Jepang menjadi pengepul "harta asing" terbesar di dunia, dengan menggenggam aset luar negeri senilai $130 miliar dalam bentuk pinjaman.

Atas kuatnya cengkeraman Jepang terhadap aset luar negeri, nilai yen--terutama terhadap dolar-- terus meningkat. Hal ini dipercaya membuat hampir 40 persen eksportir/importir dunia dalam bertransaksi pada tahun 1980-an menggunakan yen. Selain itu, juga menggiring pelbagai negara di dunia setidaknya menyimpan 10 persen cadangan harta mereka dalam bentuk yen.

Yen dan segala seluk-beluk fiskalnya hanya bisa diatur oleh Pemerintah Jepang, sehingga obligasi berbasis yen--yang hendak dijual Pemerintah Los Angeles atau negara/korporasi apapun demi memiliki yen--memiliki bunga yang rendah.

Namun, mimpi indah Pemerintah Los Angeles memperoleh untung dari yen tidak menjadi kenyataan. Musababnya, meskipun moncer sepanjang dekade 1980-an, nilai yen menurun ketika dekade berganti dan terus terjadi hingga hari ini.

Ada apa dengan yen?

Nilai Yen Diturunkan

"Hampir dua tahun sebelum Perang Cina-Jepang Kedua bergejolak, Jepang lebih dulu mencoba menghancurkan mata uang musuhnya, dolar perak Cina (silver dollar)," tulis Guenther Stein dalam The Yen and the Sword (Pasific Affairs Vol. 12 1939).

Di lima provinsi terbesar di wilayah utara Cina, Jepang berupaya menghancurkan ekonomi Cina dengan memborong dolar perak yang ada di tangan masyarakat. Mereka melakukannya dengan penukaran mata uang antara dolar perak dan yen. Dari tahun 1934 hingga 1935, Jepang menggelontorkan uang senilai 275 juta yen untuk memiliki hampir semua koin dolar perak di lima kawasan tersebut.

Di London, Inggris, Jepang lantas menjual koin dolar perak sebagai komoditas material semata untuk pelbagai negara yang membutuhkan perak bagi dunia industri. Ini membuat Jepang menjelma menjadi importir perak terbesar di dunia dengan mengalahkan Cina yang kebetulan tengah melarang ekspor perak.

Strategi Jepang ini membuat ekonomi Cina terguncang. Kehilangan mata uang dalam jumlah masif membuat segala komoditas yang diproduksi Cina tiba-tiba menurun drastis. Dan karena di lima provinsi terbesar di wilayah utara Cina kebanjiran yen, maka hampir tak ada kekuatan fiskal yang bisa dikeluarkan Cina untuk memperbaiki keadaan. Secara de facto, yen menjadi mata uang di wilayah-wilayah tersebut.

Beruntung, karena jauh-jauh hari sebelum Jepang melancarkan strategi ini, Cina paham bahwa dolar perak tak bisa selamanya dijadikan mata uang negara. Mereka kemudian melakukan manuver besar untuk mengubah keadaan. Cina menasionalisasi semua koin dolar perak yang ada di masyarakat, melarang koin dolar perak dijadikan alat transaksi, dan melahirkan mata uang baru bernama fabi.

Manuver besar yang dimulai sejak 3 November 1935 ini membuat Cina berhasil mengambil alih kembali kendali ekonomi mereka. Dan yen yang menjadi mata uang de facto di lima provinsi terbesar di wilayah utara Cina akhirnya terusir.

Upaya Jepang menghancurkan Cina dengan menyasar mata uang, kembali merujuk studi yang dilakukan Stein, tak bisa semata-mata dibaca bahwa Jepang ingin benar-benar melihat ekonomi Cina porak-poranda. Namun, Jepang ingin menjadikan yen sebagai mata uang dunia, atau setidaknya mata uang kawasan Asia. Keinginan ini muncul setelah Jepang berhasil mengokupasi Korea dan Formosa serta Manchukuo dan Wilayah Sewaan Kwantung, terbentuk dalam kerangka "Yen Bloc".

Infografik Mozaik Mata Uang Jepang

Infografik Mozaik Mata Uang Jepang. tirto.id/Tino

Meskipun terusir dari Cina, Yen yang mulai berlaku di Jepang sejak ditandatanganinya Undang-Undang Mata Uang Baru pada 27 Juni 1871 atau tepat hari ini 151 tahun lalu oleh Pemerintahan Meiji, terus diupayakan sebagai mata uang internasional. Setelah berakhirnya Perang Cina-Jepang Kedua serta Perang Dunia II, Jepang berusaha meroketkan nilai yen agar lebih tinggi atau setidaknya tak jauh dengan dolar.

Namun, meskipun yen benar-benar meroket terutama pada dekade 1980-an, sebagaimana ditulis Kathryn M. Dominguez dalam "The Role of the Yen", Jepang akhirnya tersadar bahwa nilai yen yang tinggi tak menguntungkan ekonomi mereka. Kuatnya mata uang ini membuat produk asal Jepang berharga mahal di pelbagai negara tujuan ekspor. Selain itu, kuatnya yen membuat penghasilan pelbagai perusahaan Jepang--yang harus bertransaksi menggunakan dolar karena pasar terbesar mereka adalah Amerika Serikat--terasa kecil nilainya ketika diubah ke dalam bentuk yen. Terlebih, menguatnya yen menghasilkan masalah krusial bagi Jepang, yaitu inflasi.

Ya, terkereknya inflasi atas penguatan mata uang memang terasa aneh. Namun, merujuk studi ekonom asal Jepang Hiroo Taguchi berjudul "On the Internationalization of the Japanese Yen (Macroekonimic Linkage Vol. 3 1992), ini terjadi karena upah atau gaji buruh/karyawan Jepang lebih tinggi dibandingkan kolega mereka di Amerika Serikat, misalnya. Selain itu, meskipun penghasilan lebih tinggi, mayoritas uang yang diterima tak bisa disimpan karena biaya perumahan, pendidikan, dan kesehatan Jepang lebih tinggi dibandingkan negara manapun. Akibatnya, timbul gaya hidup super mahal di Jepang yang berujung inflasi.

Atas dasar inilah Jepang perlahan menurunkan nilai mata uangnya sendiri.

Baca juga artikel terkait YEN JEPANG atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi