Menuju konten utama

Ilmuwan Kembangkan Teknologi Penghapus Karbon Dioksida di Udara

Menurut Montzka, karbon dioksida adalah yang paling mengkhawatirkan, karena gas ini paling efektif dalam menjebak panas dan bertahan paling lama di atmosfir.

Ilmuwan Kembangkan Teknologi Penghapus Karbon Dioksida di Udara
Foto udara kabut asap menyelimuti Provinsi Aceh, Selasa (24/9/2019). ANTARA FOTO/Rahmad.

tirto.id - Atmosfer Bumi dibentuk oleh berbagai macam gas yang berbeda-beda. Salah satu gas yang mendominasi pada pembentukannya adalah Nitrogen, yakni sebesar 78 persen. Sementara itu, oksigen juga mendominasi di tempat kedua dengan membentuk 21 persen atmosfer Bumi yang disusul dengan berbagai gas lainnya.

Komponen gas ini bertindak sebagai selimut Bumi yang dikenal dengan istilah gas rumah kaca. Gas-gas ini bertindak sebagai penyerap energi dari panas matahari. Fungsinya untuk menjaga suhu bumi agar tetap normal.

Dilansir dari Science News For Students, sejak tahun 1850, aktivitas manusia telah melepaskan gas rumah kaca tambahan ke udara. Hal ini menyebabkan suhu rata-rata di seluruh dunia mengalami kenaikan. Berdasarkan perhitungan NASA, secara keseluruhan, suhu rata-rata global pada tahun 2017 mencapai 0,9 derajat celsius dan lebih tinggi dibandingkan 1951 hingga 1980.

Stephen Montzka, seorang ahli kimia National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mengatakan, ada empat jenis gas yang berkontribusi dalam meningkatnya suhu Bumi secara signifikan.

Keempat gas tersebut adalah karbon dioksida, metana, dinitrogen oksida dan kelompok gas yang mengandung klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas ini dapat memerangkap lebih banyak panas, daripada jenis gas yang lain.

Menurut Montzka, karbon dioksida adalah yang paling mengkhawatirkan, karena gas ini paling efektif dalam menjebak panas dan bertahan paling lama di atmosfir, "ini yang paling berkontribusi" kata Montzka seperti yang dikutip Science News For Students, "Dan ini memiliki waktu tinggal yang sangat lama di atmosfer."

CO2 diproduksi oleh tanaman ketika proses fotosintesis. Namun, beberapa dekade terakhir, jumlah CO2 meningkat pesat akibat aktivitas manusia. Sebagian besar CO2 yang ada di Bumi saat ini berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas alam. Pada tahun 2016, CO2 menyumbang 81 persen dari gas rumah kaca yang dipancarkan di Amerika Serikat.

Kabar baiknya, tahun ini para ilmuwan telah merancang sebuah teknologi baru yang bisa menghilangkan karbon dioksida dari aliran udara. Menurut laporan dari Science Daily temuan ini dijelaskan dalam sebuah makalah baru di jurnal Energy and Environmental Science, oleh MIT postdoc Sahag Voskian, dan T. Alan Hatton, dan Ralph Landau, Profesor Teknik Kimia.

Perangkat ini pada dasarnya adalah baterai besar khusus yang menyerap karbon dioksida dan aliran gas lainnya dari udara. Gas ini akan diserap dan melewati elektroda saat sedang diisi energi, kemudian melepaskan gas ketika perangkat sedang tidak diisi.

Dalam pengaplikasiannya, perangkat hanya akan bergantian antara pengisian dan pemakaian. Udara segar atau gas umpan ditiupkan melalui sistem selama siklus pengisian, dan kemudian karbon dioksida murni terkonsentrasi dihembuskan selama pemakaian.

Saat baterai diisi, reaksi elektrokimia berlangsung di permukaan setiap tumpukan elektroda. Komponen ini dilapisi dengan senyawa yang disebut polyanthraquinone, yang dikomposisikan dengan karbon nanotube. Elektroda memiliki afinitas alami untuk karbon dioksida dan siap bereaksi dengan molekulnya di aliran udara atau gas umpan.

Reaksi berlawanan akan terjadi ketika baterai habis, yakni di mana perangkat dapat memberikan sebagian daya yang dibutuhkan untuk seluruh sistem. Dalam proses mengeluarkan aliran karbon dioksida murni. Seluruh sistem beroperasi pada suhu ruang dan tekanan udara normal.

"Keuntungan terbesar dari teknologi ini dibanding kebanyakan penangkapan karbon atau teknologi penyerap karbon lainnya adalah sifat biner dari afinitas adsorben terhadap karbon dioksida," jelas Voskian seperti yang dikutip dari Science Daily.

Lebih lanjut, Voskian mengklaim bahwa perangkat lebih hemat energi. Sebab, perangkat ini menggunakan sekitar satu gigajoule energi per ton karbon dioksida yang ditangkap, secara konsisten. Sementara etode lain yang ada memiliki konsumsi energi yang bervariasi antara 1 hingga 10 gigajoule per ton, tergantung pada konsentrasi karbon dioksida inlet, kata Voskian.

Penelitian lebih lanjut akan terus dikembangkan supaya perangkat ini bisa digunakan secara luas, mengingat kemampuannya yang berpotensi menjadi alat penting dalam pertempuran melawan perubahan iklim.

Baca juga artikel terkait UDARA atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Teknologi
Kontributor: Yonada Nancy
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Alexander Haryanto