Desa Terakhir di Singapura Kampong Lorong Buangkok, desa terakhir di Singapura.
Saat awal dibeli, tanah ini seluas 2 hektare. Kini luasnya tinggal 1,2 hektare. Pada 1960-an, ada 40 keluarga yang tinggal di sini dan sekarang tersisa 28. Harga sewa tanahnya amat murah, yakni 13 SGD, atau sekitar Rp122 ribu per bulan. Tito.id/Aunurrahman Wibisono Kampong Lorong Buangkok adalah satu-satunya kampung yang tersisa di Singapura abad 21. Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Jalan di kampung ini masih berupa makadam, yang sering tergenang air kalau hujan turun. Pohon-pohon dibiarkan tetap tumbuh alami. Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Kawasan ini terletak sekitar 18 kilometer dari Bandara Changi, dan hanya sekitar 4 kilometer dari pusat kota. Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Sejak sekitar 1 dekade lalu, banyak isu berhembus kalau kampung ini akan dibeli pemerintah lalu dijadikan lahan untuk apartemen. Tapi hingga sekarang, tak pernah kejadian. Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Di Lorong Buangkok, kita bisa menemukan bangunan-bangunan klasik dengan arsitektur khas rumah pedesaan Melayu. Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Pak Awi adalah warga Singapura keturunan Bawean. Ayah-ibunya bermigrasi ke Pulau Ubin sebagai pekerja tambang granit. Hingga sekarang, ayah empat orang anak ini masih menggunakan Bahasa Boyan, rumpun bahasa Madura yang dipakai di Pulau Bawean, untuk bercakap dengan kawan-kawan dan sejawat dari Bawean. Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Di Surau Al Firdaus, biasanya warga minum kopi selepas sholat Maghrib dan Isya berjamaah. Pengurus surau ini adalah Pak Awi (82). Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Tumbuh di negara multikultur, membuat Pak Awi bisa empat bahasa. Setidaknya dia bisa bahasa Melayu, Inggris, Cina, dan Boyan. Ia juga bisa sedikit bercakap dan menulis dalam bahasa Bengali. Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Di Surau Al Firdaus, biasanya warga minum kopi selepas sholat Maghrib dan Isya berjamaah. Pengurus surau ini adalah Pak Awi (82). Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Di Surau Al Firdaus, biasanya warga minum kopi selepas sholat Maghrib dan Isya berjamaah. Pengurus surau ini adalah Pak Awi (82). Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Tanah ini dibeli oleh Sng Teow Koon, seorang penjual obat Cina, pada 1956. Lalu dia membangun rumah di atas tanah yang dulu bekas rawa-rawa. Kemudian banyak orang lain membangun rumah di sana, dengan menyewa tanah pada Koon. Lama kelamaan, kawasan ini jadi kampung. Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Tanah di Lorong Buangkok dimiliki oleh swasta, dan hingga sekarang belum dibeli oleh negara. Karenanya, kawasan ini tetap bertahan sebagai kampung yang asri namun dikelilingi oleh apartemen tinggi. Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Kampong Lorong Buangkok adalah keping sejarah yang bisa menunjukkan akar Singapura. Jika kampung ini hilang, bisa dipastikan tak ada yang bisa menyaksikan langsung bagaimana sejarah Singapura. Orang hanya akan bisa membaca dan menengoknya di perpustakaan atau di internet. Tirto.id/Aunurrahman Wibisono Kampong Lorong Buangkok satu-satunya kampung yang tersisa di Singapura abad 21. Luas tanahnya 2 hektare, kini luasnya tinggal 1,2 hektare. Tanah di Lorong Buangkok dimiliki oleh swasta, dan hingga sekarang belum dibeli oleh negara. hingga kini, kawasan ini tetap bertahan sebagai kampung yang asri namun dikelilingi oleh apartemen tinggi. Foto/Tirto.id/Aunurrahman Wibisono
Baca juga artikel terkait
FOTO-TIRTO atau tulisan lainnya