28 lumbung padi berjajar membentuk formasi seperti benteng yang diletakkan lebih tinggi dari areal permukiman. Jajaran lumbung ini sekaligus menjadi pembatas antara areal persawahan dan perkampungan. Di bawah jajaran lumbung itu, ada yang tertua dan terbesar yang diberi nama ‘Jimat’. Di sana tersimpan ribuan ikat padi dan sekitar 175 bibit varietas lokal yang telah dikembangkan selama 640 tahun lebih.
Tak berlebihan bila jajaran lumbung yang kecil ibarat barisan serdadu yang menjadi tameng pemimpinnya. Sebab itulah pesan yang hendak disampaikan lewat tata letak bangunan di Kasepuhan Ciptagelar: pertahanan dan ketahanan pangan.
Kasepuhan Ciptagelar adalah bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul. Secara administrasi, letaknya di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, atau sekitar 28 kilometer dari lokasi wisata Pelabuhan Ratu, di pantai selatan pulau Jawa. Pada ketinggian 1.100 sampai 1.200 meter di atas permukaan laut inilah, sistem pertanian tepat guna yang dibungkus aneka mitos dan adat, diterapkan.
Hasilnya, bisa dibandingkan lewat kepingan informasi ini: Indonesia memiliki 600 gudang beras Bulog di seluruh Nusantara. Kasepuhan Ciptagelar memiliki 8.000 lumbung padi. Cadangan beras Indonesia rata-rata hanya cukup untuk delapan bulan atau paling lama satu tahun. Cadangan beras di Ciptagelar cukup sampai tiga tahun. Cadangan beras Indonesia juga dipenuhi dari impor, sedangkan adat di Ciptagelar justru melarang menjadikan beras sebagai komoditas yang diperjual-belikan.
Terakhir, rata-rata lahan pertanian di Indonesia memanen padi setahun dua kali dengan sebagian di antaranya menerapkan sistem pertanian modern, lengkap dengan subsidi benih dan pupuk. Sedangkan adat di Ciptagelar hanya mengizinkan setahun sekali dan melarang menggunakan traktor. Pupuk kimia, hanya digunakan satu kali di lokasi tertentu yang tanahnya dianggap kurang mendukung pertumbuhan dan kekuatan akar padi.
Tentu perbedaannya ada di skala. Lumbung beras di Bulog untuk mengamankan perut 230 juta jiwa, sedangkan lumbung di Ciptagelar menjaga ketahanan pangan 29.000 warga kasepuhan. Satu gudang Bulog mengawal 383.000 perut orang. Sedangkan satu lumbung di Ciptagelar menjaga pangan 3.600 jiwa.
Namun esensinya bukan soal skala'
Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), bila seluruh daratan di Indonesia digabung, luasnya mencapai 180 juta hektar. Dari daratan seluas itu, yang digunakan untuk sawah tanaman pangan hanya 8,1 juta hektar atau tak lebih dari lima persennya. Namun di Ciptagelar, areal tanaman pangan mencapai 10 persen, dengan tetap membiarkan sisanya menjadi hutan yang juga mampu menjaga pasokan air untuk menghidupkan lebih dari 10 turbin mikrohidro yang listriknya menerangi 6.000 rumah.
Tiga Rahasia
“Dulu kita (bangsa Indonesia) mengirim beras ke luar negeri. Sekarang kita yang dikirimi beras dari luar negeri. Jadi kalau mereka paceklik, pasti mendahulukan kebutuhan sendiri. Jadi kita bisa kelaparan,” tutur Abah Ugi, mengurai dengan sederhana konsep ketahanan pangan.
Nama lengkapnya Ugi Sugriana Rakasiwi. Usianya baru 29 tahun. Tujuh tahun lalu, ia harus menggantikan kedudukan almarhum ayahnya, Abah Anom, sebagai pemimpin kasepuhan. (baca: Energi dari Gunung Halimun). Tapi di tangan pemuda itulah sistem pertanian berbasis adat, berkiblat.
“Warga Abah belum bisa tanam padi, kalau Abah belum tanam.”
Ia tak menganggap itu sebagai keistimewaan, melainkan tanggung jawab sosial yang tinggi. Karena itu berarti Ugi harus menguasai ilmu astronomi yang telah diwariskan turun temurun selama ratusan tahun. Setidaknya sejak kasepuhan mengenal upacara adat perayaan padi bernama Seren Taun yang dimulai sejak 1368.
“Kami melihat bintang Kidang dan Kerti. Mereka hanya lewat setahun tiga kali. Bila posisinya sudah lurus, berarti itu waktunya menanam padi,” terangnya.
Menurutnya, posisi bintang itu tak hanya menandai datangnya musim hujan, juga terkait dengan siklus hidup hama.
“Karena kami hanya menanam padi setahun sekali, maka habitat hama tidak cukup punya banyak bahan makanan untuk berkembang biak sepanjang tahun. Berbeda bila kita menanam setahun dua kali. Hama tanaman dengan mudah beregenerasi untuk menyerang padi di musim tanam berikutnya.”
Itulah rahasia pertama swasembada ala Ciptagelar. Rahasia kedua adalah larangan adat menjual gabah atau beras hasil panen.
Pasangan Yoyo Yogasmana dan Umi Kusumawati telah bersiap di depan hidangan di dapur rumahnya yang berlantai kayu beralas bambu. Anak angkatnya, Jamang, masih sibuk menyelesaikan editing video untuk televisi komunitas, CIGA TV. Sejurus kemudian, Jamang menyusul bersila di lantai dapur, di depan tungku yang masih menyisakan bara.
“Mengapa beras hasil panen tak boleh dijual. Lalu dari mana mendapatkan uang?” tanya kami.
“Di sini, bertani itu bukan mata pencaharian. Bertani adalah kehidupan. Bagaimana mungkin kami menjual kehidupan,” jawab Yoyo singkat dan filosofis.
Setelah itu, ia pun menjelaskan bahwa pangan adalah komoditas utama yang harus dijaga ketersediaannya, terutama untuk komunitas yang memilih hidup terpencil seperti Kasepuhan Ciptagelar. Adapun tentang sumber keuangan, warga Ciptagelar masih memiliki enam bulan di luar musim padi untuk menanam aneka tanaman yang dapat diperjual-belikan seperti sayur mayur, buah-buahan, atau palawija. Di luar itu, warga juga sedang giat menanam kopi yang kini sedang dikembangkan Abah Ugi.
“Soal pangan kami sudah cukup. Sekarang bagaimana meningkatkan taraf ekonomi. Karena itu Abah sedang mengembangkan kopi Ciptagelar, sebab tanah di ketinggian ini cocok,” paparnya.
Dengan adanya larangan adat menjual beras, tak heran bila stok beras di lumbung-lumbung warga Ciptagelar tak pernah surut. Satu lumbung kecil dapat menampung 500 ikat padi, yang cukup menghidupi satu keluarga kecil selama setahun.
“Bagaimana bila semua orang menerapkan sistem larangan ini? Tidakkah ini akan menyulitkan mereka yang tidak punya tanah dan tak bisa bertani?” kejar kami.
“Bagus bila semua orang menerapkan larangan ini. Itu artinya, semua orang akan kembali ke basis kehidupan: bertani. Itu artinya semua orang akan menanam. Sebab yang mau hidup, harus mau menanam untuk makan,” tandas Yoyo, sembari memasukkan suapan beras merah ke mulutnya. Hasil sawah sendiri.
Dengan cara pandang seperti ini, warga Ciptagelar tak menempatkan uang sebagai alat tukar utama dalam sistem ekonominya. Sebab, dalam sistem ini, pemilik uang yang banyak, tak berarti dapat membeli beras. Tak dapat membeli kehidupan. Implikasinya, kehidupan sosial menjadi lebih egaliter tanpa struktur dominasi yang ditentukan oleh modal.
Resep terakhir swasembada ala Ciptagelar adalah sistem kepemilikan tanah bersama dan tata ruang. Setiap keluarga rata-rata memiliki lahan garapan sendiri. Tapi tanah ini tak dapat diperjual-belikan sebab statusnya bukan hak milik pribadi. Tak ada sertifikat. Mereka hanya menggunakan untuk keperluan pertanian sistem sawah atau ladang (huma).
Meski begitu, lahan bisa berpindah tangan ke sesama warga kasepuhan dengan sejumlah uang pengganti sebagai kompensasi merawat tanah dan tanaman yang ada di atasnya.
Dengan kepemilikan tanah garapan secara kolektif, setiap keluarga tak menentukan sendiri-sendiri kalender tanamnya.
“Kami menanam serentak, merawat bersama, dan memanen bersama. Lalu merayakannya di Seren Taun. Itulah mengapa tidak ada hama penyakit, dan akhirnya bisa swasembada,” pungkas Abah Ugi.
Di sisi lain, konsep kepemilikan itu bertemu dengan konsep tata ruang yang proporsional. Kasepuhan ini berada di atas areal 4.900 hektar. Secara adat, mereka membaginya menjadi Hutan Titipan yang sama sekali tak boleh diganggu atau dimanfaatkan, yang jumlahnya 50 persen.
Yang kedua, Hutan Tutupan yang hanya boleh dimanfaatkan secara terbatas seperti hasil hutan non-kayu, dan besarnya 30 persen. Dan sisanya adalah Hutaan Bukaan yang meliputi sawah, ladang, dan permukiman. Sawah di Ciptagelar sendiri tercatat 559 hektar atau sekitar 10 persen dari total wilayah.
Tak berlebihan bila jajaran lumbung yang kecil ibarat barisan serdadu yang menjadi tameng pemimpinnya. Sebab itulah pesan yang hendak disampaikan lewat tata letak bangunan di Kasepuhan Ciptagelar: pertahanan dan ketahanan pangan.
Kasepuhan Ciptagelar adalah bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul. Secara administrasi, letaknya di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, atau sekitar 28 kilometer dari lokasi wisata Pelabuhan Ratu, di pantai selatan pulau Jawa. Pada ketinggian 1.100 sampai 1.200 meter di atas permukaan laut inilah, sistem pertanian tepat guna yang dibungkus aneka mitos dan adat, diterapkan.
Hasilnya, bisa dibandingkan lewat kepingan informasi ini: Indonesia memiliki 600 gudang beras Bulog di seluruh Nusantara. Kasepuhan Ciptagelar memiliki 8.000 lumbung padi. Cadangan beras Indonesia rata-rata hanya cukup untuk delapan bulan atau paling lama satu tahun. Cadangan beras di Ciptagelar cukup sampai tiga tahun. Cadangan beras Indonesia juga dipenuhi dari impor, sedangkan adat di Ciptagelar justru melarang menjadikan beras sebagai komoditas yang diperjual-belikan.
Terakhir, rata-rata lahan pertanian di Indonesia memanen padi setahun dua kali dengan sebagian di antaranya menerapkan sistem pertanian modern, lengkap dengan subsidi benih dan pupuk. Sedangkan adat di Ciptagelar hanya mengizinkan setahun sekali dan melarang menggunakan traktor. Pupuk kimia, hanya digunakan satu kali di lokasi tertentu yang tanahnya dianggap kurang mendukung pertumbuhan dan kekuatan akar padi.
Tentu perbedaannya ada di skala. Lumbung beras di Bulog untuk mengamankan perut 230 juta jiwa, sedangkan lumbung di Ciptagelar menjaga ketahanan pangan 29.000 warga kasepuhan. Satu gudang Bulog mengawal 383.000 perut orang. Sedangkan satu lumbung di Ciptagelar menjaga pangan 3.600 jiwa.
Namun esensinya bukan soal skala'
Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), bila seluruh daratan di Indonesia digabung, luasnya mencapai 180 juta hektar. Dari daratan seluas itu, yang digunakan untuk sawah tanaman pangan hanya 8,1 juta hektar atau tak lebih dari lima persennya. Namun di Ciptagelar, areal tanaman pangan mencapai 10 persen, dengan tetap membiarkan sisanya menjadi hutan yang juga mampu menjaga pasokan air untuk menghidupkan lebih dari 10 turbin mikrohidro yang listriknya menerangi 6.000 rumah.
Tiga Rahasia
“Dulu kita (bangsa Indonesia) mengirim beras ke luar negeri. Sekarang kita yang dikirimi beras dari luar negeri. Jadi kalau mereka paceklik, pasti mendahulukan kebutuhan sendiri. Jadi kita bisa kelaparan,” tutur Abah Ugi, mengurai dengan sederhana konsep ketahanan pangan.
Nama lengkapnya Ugi Sugriana Rakasiwi. Usianya baru 29 tahun. Tujuh tahun lalu, ia harus menggantikan kedudukan almarhum ayahnya, Abah Anom, sebagai pemimpin kasepuhan. (baca: Energi dari Gunung Halimun). Tapi di tangan pemuda itulah sistem pertanian berbasis adat, berkiblat.
“Warga Abah belum bisa tanam padi, kalau Abah belum tanam.”
Ia tak menganggap itu sebagai keistimewaan, melainkan tanggung jawab sosial yang tinggi. Karena itu berarti Ugi harus menguasai ilmu astronomi yang telah diwariskan turun temurun selama ratusan tahun. Setidaknya sejak kasepuhan mengenal upacara adat perayaan padi bernama Seren Taun yang dimulai sejak 1368.
“Kami melihat bintang Kidang dan Kerti. Mereka hanya lewat setahun tiga kali. Bila posisinya sudah lurus, berarti itu waktunya menanam padi,” terangnya.
Menurutnya, posisi bintang itu tak hanya menandai datangnya musim hujan, juga terkait dengan siklus hidup hama.
“Karena kami hanya menanam padi setahun sekali, maka habitat hama tidak cukup punya banyak bahan makanan untuk berkembang biak sepanjang tahun. Berbeda bila kita menanam setahun dua kali. Hama tanaman dengan mudah beregenerasi untuk menyerang padi di musim tanam berikutnya.”
Itulah rahasia pertama swasembada ala Ciptagelar. Rahasia kedua adalah larangan adat menjual gabah atau beras hasil panen.
Pasangan Yoyo Yogasmana dan Umi Kusumawati telah bersiap di depan hidangan di dapur rumahnya yang berlantai kayu beralas bambu. Anak angkatnya, Jamang, masih sibuk menyelesaikan editing video untuk televisi komunitas, CIGA TV. Sejurus kemudian, Jamang menyusul bersila di lantai dapur, di depan tungku yang masih menyisakan bara.
“Mengapa beras hasil panen tak boleh dijual. Lalu dari mana mendapatkan uang?” tanya kami.
“Di sini, bertani itu bukan mata pencaharian. Bertani adalah kehidupan. Bagaimana mungkin kami menjual kehidupan,” jawab Yoyo singkat dan filosofis.
Setelah itu, ia pun menjelaskan bahwa pangan adalah komoditas utama yang harus dijaga ketersediaannya, terutama untuk komunitas yang memilih hidup terpencil seperti Kasepuhan Ciptagelar. Adapun tentang sumber keuangan, warga Ciptagelar masih memiliki enam bulan di luar musim padi untuk menanam aneka tanaman yang dapat diperjual-belikan seperti sayur mayur, buah-buahan, atau palawija. Di luar itu, warga juga sedang giat menanam kopi yang kini sedang dikembangkan Abah Ugi.
“Soal pangan kami sudah cukup. Sekarang bagaimana meningkatkan taraf ekonomi. Karena itu Abah sedang mengembangkan kopi Ciptagelar, sebab tanah di ketinggian ini cocok,” paparnya.
Dengan adanya larangan adat menjual beras, tak heran bila stok beras di lumbung-lumbung warga Ciptagelar tak pernah surut. Satu lumbung kecil dapat menampung 500 ikat padi, yang cukup menghidupi satu keluarga kecil selama setahun.
“Bagaimana bila semua orang menerapkan sistem larangan ini? Tidakkah ini akan menyulitkan mereka yang tidak punya tanah dan tak bisa bertani?” kejar kami.
“Bagus bila semua orang menerapkan larangan ini. Itu artinya, semua orang akan kembali ke basis kehidupan: bertani. Itu artinya semua orang akan menanam. Sebab yang mau hidup, harus mau menanam untuk makan,” tandas Yoyo, sembari memasukkan suapan beras merah ke mulutnya. Hasil sawah sendiri.
Dengan cara pandang seperti ini, warga Ciptagelar tak menempatkan uang sebagai alat tukar utama dalam sistem ekonominya. Sebab, dalam sistem ini, pemilik uang yang banyak, tak berarti dapat membeli beras. Tak dapat membeli kehidupan. Implikasinya, kehidupan sosial menjadi lebih egaliter tanpa struktur dominasi yang ditentukan oleh modal.
Resep terakhir swasembada ala Ciptagelar adalah sistem kepemilikan tanah bersama dan tata ruang. Setiap keluarga rata-rata memiliki lahan garapan sendiri. Tapi tanah ini tak dapat diperjual-belikan sebab statusnya bukan hak milik pribadi. Tak ada sertifikat. Mereka hanya menggunakan untuk keperluan pertanian sistem sawah atau ladang (huma).
Meski begitu, lahan bisa berpindah tangan ke sesama warga kasepuhan dengan sejumlah uang pengganti sebagai kompensasi merawat tanah dan tanaman yang ada di atasnya.
Dengan kepemilikan tanah garapan secara kolektif, setiap keluarga tak menentukan sendiri-sendiri kalender tanamnya.
“Kami menanam serentak, merawat bersama, dan memanen bersama. Lalu merayakannya di Seren Taun. Itulah mengapa tidak ada hama penyakit, dan akhirnya bisa swasembada,” pungkas Abah Ugi.
Di sisi lain, konsep kepemilikan itu bertemu dengan konsep tata ruang yang proporsional. Kasepuhan ini berada di atas areal 4.900 hektar. Secara adat, mereka membaginya menjadi Hutan Titipan yang sama sekali tak boleh diganggu atau dimanfaatkan, yang jumlahnya 50 persen.
Yang kedua, Hutan Tutupan yang hanya boleh dimanfaatkan secara terbatas seperti hasil hutan non-kayu, dan besarnya 30 persen. Dan sisanya adalah Hutaan Bukaan yang meliputi sawah, ladang, dan permukiman. Sawah di Ciptagelar sendiri tercatat 559 hektar atau sekitar 10 persen dari total wilayah.
Baca juga artikel terkait VIDEO - ARTA atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah
Editor: Taufik Subarkah