Menuju konten utama

Tanah dan Wisata

Lombok Timur dan Banyuwangi ramai-ramai menolak pasirnya diangkut untuk mereklamasi Bali.

Tanjung Benoa, 19 Maret 2015. Ribuan orang berpakaian putih berarak menghadiri upacara Melasti atau penyucian. Ini bagian dari ritual umat Hindu sebelum Hari Raya Nyepi tahun Saka 1937. Lokasi upacaranya persis di ujung semenanjung Benoa. Hanya secuil pantai pasir yang tersisa. Selebihnya adalah tanggul batu bercampur semen untuk menahan abrasi.

Di atas tanggul buatan itu, ratusan orang melepas (melarung) sesaji berupa miniatur kapal layar berbendera merah putih. Tempat yang dipilih adalah celah sempit antara semenanjung dan pulau Serangan yang juga dibatasi tanggul. Celah inilah yang digunakan sebagai jalur pelayaran dari dan ke teluk atau pelabuhan Benoa.

“Tahun 1994, Tanjung Benoa ini dikelilingi pasir putih. Tapi sekarang sudah dikelilingi tanggul. Itu sejak reklamasi pulau Serangan,” kenang I Nyoman Sugita, warga Tanjung Benoa yang kini mengelola usaha pariwisata.

Pulau Serangan yang dimaksud adalah daratan hasil urukan seluas 480 hektare yang kini praktis terbengkalai. Padahal, sejak mulai diuruk tahun 1995, Serangan hendak dijadikan tujuan wisata baru, lengkap dengan fasilitas dan aneka investasi properti. Semula Serangan adalah pulau seluas 112 hektare yang terpisah dari daratan Bali oleh selat selebar dua kilometer. Inilah salah satu tempat di mana habitat penyu berkembang biak.

Tak heran bila investor proyek ini menamakan dirinya PT Bali Turtle Island Development (BTID), yang merupakan kongsi antara kelompok usaha Bimantara milik Bambang Trihatmodjo, Sheraton Lagoon, Hilton, dan Gajah Tunggal. Ada juga saham PT Pembangunan Kartika Udayana milik Pusat Koperasi Angkatan Darat, Kodam IX/Udayana.

Di masa Orde Baru, proyek reklamasi pulau Serangan yang berpenduduk 2.700 jiwa itu berjalan nyaris tanpa hambatan, meski ada perlawanan terkait ancaman abrasi bagi kawasan sekitar dan kesucian pura Hindu. Sejumlah penangkapan dan pembubaran forum-forum warga terjadi di masa itu.

Ketika krisis ekonomi 1997-1998 dan rezim Soeharto tumbang, proyek ini mangkrak. Bahkan pada Juli 2010, PT BTID dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga karena tak bisa membayar utang ke krediturnya.

Kini hasil urukan seluas 480 hektare itu bisa dilihat dari tanjung Benoa berupa benteng tanggul batu (krib) yang memanjang. Di salah satu sisinya digunakan para peselancar. Namun selebihnya adalah hamparan daratan kosong.

“Kalau Bali kurang ikon pariwisata, bangun tuh pulau Serangan,” sindir Wayan ‘Gendo’ Suardana yang mempertanyakan rencana reklamasi baru di teluk Benoa.

Dari Lombok Timur ke Banyuwangi

26 Maret 2015, Badar dan Muhammad Tohri duduk berteduh di kampungnya, di Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dua hari sebelumnya, ia mengaku diundang ke pos Angkatan Laut untuk menghadiri acara sosialisasi rencana penyedotan pasir laut untuk reklamasi teluk Benoa. Ada empat kecamatan di pesisir Lombok Timur yang warganya mulai diundang sosialisasi.

“Saya tidak hadir. Kalau saya tidak cocok, saya tidak hadir. Bagaimana mau membangun kampung orang, sementar kampung saya mau dirusak,” katanya.

Sebelumnya, 31 Januari 2015, Bupati Lombok Timur, Ali BD, mengeluar izin prinsip dan menyetujui penambangan pasir yang dibutuhkan PT TWIB sebesar 25,54 juta meter kubik.

Namun Gubernur NTB, Zainul Majdi justru menulis surat kepada Komisi Penilai Amdal Pusat, Kementerian Lingkungan Hidup, agar tidak menyetujui rencana itu.

Lokasi pasir yang akan diambil berada di tengah laut, Kecamatan Labuhan Haji. Meski lokasinya terpaut puluhan kilometer dari perkampungan nelayan di Tanjung Luar, Badar dan Tohri menyatakan daerah tersebut adalah salah satu fishing ground mereka.

“Ada musim-musimnya kami melaut ke sana. Kalau pasirnya diambil, karangnya pasti rebah dan terbawa arus. selat Alas ini kan arusnya kuat. Lagipula ikan-ikan itu kan bertelur di tempat dangkal, bukan di tempat dalam,” kata Badar yang menciptakan kalender untuk nelayan di sana.

“Kalau izin sudah keluar dan penyedotan dimulai, siapa yang bisa menjamin lokasinya tidak ke mana-mana,” timpal Tohri.

Selain melaut sebagai nelayan, anak-bapak, Tohri dan Badar juga mulai merintis usaha jasa wisata. Mereka mengantar turis yang ingin melihat pantai berpasir merah muda yang mereka sebut ‘pantai pink’. Selain itu, ada juga lokasi pulau pasir yang muncul saat perairan selat Alas surut.

“Kami setengah mati berusaha mencegah agar warga tidak mengambil pasir laut untuk bangunan. Kalau tidak dicegah, lama-lama bisa habis. Lagipula pasir laut tidak baik untuk bahan material bangunan,” tukas Badar.

Menghadapi penolakan di Lombok Timur, PT TWIB beralih mencari pasir ke Banyuwangi, Jawa Timur. Lokasi yang diincar ada di Kecamatan Kabat, Rogojampi, dan Srono.

Namun Gubernur Jawa Timur, Sukarwo, buru-buru memberi sinyal lampu merah.

“Prinsip dasar, saya tidak sependapat,” katanya kepada media, 8 April 2015.

Alasannya, kawasan tersebut termasuk wilayah konservasi dan berpotensi mengancam daerah tangkapan ikan para nelayan di Muncar.

Janji TWBI

Forum Konsultasi Publik siang itu, 11 Maret 2015, penuh dinamika. Sejumlah warga yang mengatasnamakan asosiasi sopir menyatakan mendukung rencana reklamasi karena diklaim akan menyediakan setidaknya 200 ribu lapangan kerja.

Namun wakil desa adat Pekraman, di Tanjung Benoa, misalnya, justru membacakan surat pernyataan menolak mewakili ribuan warganya yang telah berembuk.

Direktur TWBI, Hendi Lukman, yang kami temui usai acara menyatakan agar pihaknya diberi kesempatan bahwa proyek reklamasi tidak mengancam lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat Bali.

“Daripada berpolemik, lebih baik kasih kami izin. Kami akan buktikan. Kalau kami salah, adili kami,” katanya.

Lukman tak membantah bila “revitalisasi teluk Benoa” sejatinya adalah ekspansi bisnis properti.

“Tak usah tabu menyebut masalah properti. Memang jujur itu (proyek) properti. Tapi di mana ada pengusaha properti lain, yang sambil berbisnis juga berkontribusi nyata memperbaiki lingkungan?” imbuhnya.

Sementara Direktur Utama PT TWBI, Heru Wasesa, yang sebelumnya adalah pegiat Forum Peduli Mangrove, menyatakan semua proses masih merupakan tahap awal yang membutuhkan kajian.

“Saya juga tidak nyaman kalau mau membangun sesuatu, tapi masih ada penolakan-penolakan. Kalau penolakannya punya basis, itu menjadi masukan. Yang kita hindari adalah, mereka yang keberatan tapi tidak bisa menunjukkan keberatan yang berdasar fakta,” pungkasnya.

***

20 Maret 2015, puluhan ogoh-ogoh berjajar, siap diarak oleh warga Tanjung Benoa. Pawai menjelang Nyepi itu dilakukan usai matahari terbenam, disaksikan ratusan kamera turis. Ogoh-ogoh adalah perwujudan ‘Bhuta Kala’, simbol kekuatan jahat bagi masyarakat Hindu, yang harus dikembalikan ke tempat asalnya.

“Awalnya ogoh-ogoh dibakar. Sekarang banyak yang dibeli hotel untuk tontonan tamu,” kata Nyoman Sugita menutup perjumpaan.
Baca juga artikel terkait VIDEO - ARTA atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah

Editor: Taufik Subarkah