Menuju konten utama

Surga Kentang Ranu Pani

Seperempat hektar lahan Kentang bisa menghasilkan pendapatan kotor hingga 30 juta rupiah. Itu artinya, dengan satu setengah hektar yang dimiliki seorang petani bernama Sukodani di Ranu Pani, omzetnya bisa mencapai 180 juta rupiah setiap 4 hingga 5 bulan panen.

Surga Kentang Ranu Pani
Sebagai warga Tengger yang mulai menetap di Ranu Pani sejak 1960-an, Joko mengalami siklus jatuh-bangunnya komoditas pertanian.

“Dulu ayah saya menanam jagung dan kentang merah. Tapi hanya untuk dimakan sendiri. Setelah ada bawang putih, kami pindah. Setelah tanah ini tak mau lagi menumbuhkan bawang, kami beralih ke kentang. Sekarang kami menikmati kejayaan kentang. Entah sampai kapan tanah ini mau menumbuhkan kentang,” paparnya.

Di seberang perapian, Sukodono (46) ikut duduk menghangatkan badan. Suhu terendah di Ranu Pani bisa mencapai minus empat derajat Celcius dan paling hangat 21 derajat. Keponakan Joko ini juga bertanam kentang dan telah membangun rumah permanen serta membeli sepeda motor 250 cc. Transportasi roda dua paling mentereng di desanya, meski tanahnya tak lebih dari 1,5 hektar.

“Kami cukup sejahtera dari kentang. Meski tak ada petugas pertanian dari pemerintah, di sini seperempat hektar bisa menghasilkan 40 juta karena kami mengembangkan bibit sendiri,” Suko menimpali.

Semula petani Ranu Pani membeli bibit kentang dari luar, termasuk jenis Granola L atau Lembang. Tapi setelah mengembangkan bibit sendiri dengan jenis Granola Kembang, kualitas buahnya lebih maksimal.

Suko hanya perlu memanfaatkan atap rumahnya untuk lokasi pembibitan di dalam deretan polybag. Sedangkan Joko memanfaatkan lahan di belakang rumahnya untuk menyemai bibit.

“Saya menjual bibit 300 ribu per kilo. Banyak yang mau. Terutama orang dari luar. Tapi kalau ada yang mau tahu bagaimana caranya, juga saya ajari,” sambung Joko.

“Mengapa menggratiskan sesuatu yang justru bisa Bapak jual?” tanya kami.

“Kalau saya mau membuat pagar yang rapat agar orang tak bisa melihat, bisa juga. Tapi apa iya seperti itu yang disebut hidup?” tukasnya sembari tertawa.

“Padahal di tempat lain, kalau mau belajar pertanian harus bayar,” sambung Suko yang pernah diajak studi banding oleh sebuah lembaga konservasi internasional ke Lembang dan pegunungan Dieng.

Ancaman Bencana Kedua

Di luar, hujan masih turun. Yonathan dan ke-22 buruh taninya terpaksa jeda bekerja. Joko dan Suko masih duduk di depan perapian. Mereka mengkhawatirkan hilangnya masa-masa kejayaan kentang, sebagaimana halnya bawang putih.

Tapi kali ini bukan oleh penyakit atau ancaman kentang impor. Melainkan proses erosi lahan pertanian.

Sejak menanam kentang, warga Ranu Pani meninggalkan sistem pertanian teras iring, meski lahan mereka berada di punggung-punggung bukit yang curam. Akibatnya, bila hujan, aliran air membawa serta unsur hara tanah tanpa ada penghalang. Termasuk pupuk-pupuk yang ditabur di atasnya.

Salah satu indikatornya adalah terjadinya pendangkalan dan penyuburan danau Pani yang terletak di ujung terendah Desa Ranu Pani. Sepuluh tahun lalu, pihak Taman Nasional mengukur kedalaman danau masih puluhan meter. Tapi tahun lalu, di titik yang sama, dalamnya hanya tiga meter.

“Mereka tahu lapisan tanah yang subur tinggal 20 centimeter. Dan nenek moyangnya dulu mengenal sistem pertanian teras-iring untuk menahan erosi. Tapi keuntungan kentang terlalu menggiurkan,” sesal Toni Artaka, Kepala Resort TNBTS Ranu Pani.

Suko sendiri menyadari bahwa para petani enggan menggunakan teras-iring karena akan mengurangi luas lahan yang bisa ditanami. Tanaman keras pun dihindari karena tutupannya akan mengurangi daya tembus sinar matahari.

Tapi mereka sendiri mengaku punya solusi, meski perlu bantuan pemerintah.

“Kami akan membuat semi teras-iring dan menanam rumput gajah untuk menahan erosi. Tapi perlu bantuan bibit ternak untuk menampung rumput-rumput itu bila sudah besar dan pertumbuhannya tidak terkendali,” paparnya.

Tanpa ternak, warga tak punya motivasi untuk memotong rumput dan hanya menyita waktu bertani mereka. Bila rumput tak dipotong, pertumbuhannya akan mengganggu tanaman kentang.

“Jangan sampai danau Pani tinggal sejarah. Nama desa ini diambil dari danau itu. Tapi yang lebih penting, kalau tanah terus-menerus terbawa hujan, anak cucu kita nanti kita warisi bukit berbatu,” kata Bambang, yang dikenal sebagai dukun desa.

Ia mengucapkan itu di depan Suko yang pada suatu malam berkunjung ke rumahnya.

Kegelisahan yang sama juga dirasakan Joko yang pernah mengalami jatuh bangun bertani bawang putih.

“Kalau tanah ini sudah tak mau lagi menumbuhkan kentang, lalu kami ini apa?” pungkasnya sembari mengantar kami beranjak dari perapian.

Hujan sedikit reda. Tapi kabut masih bergelayut di tebing-tebing curam lahan pertanian yang terancam.
Baca juga artikel terkait VIDEO - RAGA atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah

Editor: Taufik Subarkah