Menuju konten utama

Sampah Tuan Guru

Seorang pengasuh pesantren di Lombok ‘sesumbar’ bisa mengatasi sampah di kota besar seperti Jakarta dengan ongkos lebih murah. Caranya?

Sampah Tuan Guru
Andita Mustaphari dan Resta Triana tak tampak canggung. Santri kelas dua Madrasah Aliyah (SMA) ini mengangkuti sampah dari dapur, kamar-kamar di asrama putri, hingga halaman pesantren Nurul Haramain, yang terletak di Kecamatan Narada, Kabupaten Lombok Barat (NTB).

Gadis-gadis remaja ini segera meloncat ke atas bak mobil begitu sampah telah terisi penuh. Tujuannya adalah komplek pesantren putra, di mana sampah-sampah ini akan dibakar di dalam tungku bersuhu 600 derajat celsius.

Di komplek pesantren putra, Tuan Guru Hasanain Juaini (51) sedang melantik pengurus organisasi santri yang baru. Di antara pengurus, ada bagian kebersihan pesantren yang digawangi Beni Putra dan Johanes Purwadi.

Usai pelantikan, masih dalam balutan seragam kemeja warna jingga, Beni dan Johanes segera bergabung dengan Andita dan Resta di tungku pembakaran.

“Kami tidak terganggu dengan seragam ini. Kalau takut kotor, ya jangan bikin sampah,” kata Beni sembari tersenyum.

Sang Tuan Guru tak hanya menonton. Setelah memimpin salat jamaah, ia melepas kemeja dan menyisakan kaos katun putih tipis, lalu menyusul para santrinya.

Botol plastik dan kertas dipisahkan dari tumpukan besar. Sebagian di antaranya berupa buku bekas. Tanpa sarung tangan, guru dan santri itu terus mengaduk sampah mencari barang-barang yang masih berguna seperti pakaian, peralatan dapur, atau barang lain berbahan kaca atau gelas.

“Kalau ada pakaian yang terbawa atau dibuang tapi masih layak, kami kirim ke sana,” kata Hasanain menunjuk ke arah santri Tsanawiyah (SMP) yang sedang mengoperasikan mesin cuci.

Di samping mereka, anak-anak lain sedang mencuci perabotan dapur seperti piring dan gelas plastik, atau sendok dan garpu yang tak sengaja terbuang.

Setengah jam kemudian, yang tersisa hanyalah tumpukan sampah dapur yang rata-rata sampah basah, serta plastik-plastik kecil bekas bungkus jajan anak-anak.

Tak menunggu waktu, para santri langsung mengambil sekop dan memindahkannya ke tungku yang mulai menyala. Sebuah alat pengembus (blower) dengan daya 200 watt ditiupkan dari samping untuk memecah konsentrasi asap sehingga tak menjadi hitam pekat.

“Ini belum ideal dalam hal pengolahan sampah. Tapi ini paling realistis yang bisa kami lakukan daripada tidak berbuat apa,” sambung Hasanain mengomentari asap yang keluar dari cerobong.

Untuk urusan asap yang masih mengandung bahan pencemar udara, sebenarnya ada teknologi plasma di mana asap disalurkan ke tungku lain dan dibakar lagi dengan suhu 1.800 derajat celsius.

“Asapnya akan hilang dan bersih, atau bisa diubah jadi cairan yang bisa dipakai sebagai bahan pengawet kayu agar tidak dimakan rayap.”

Untuk teknologi itu, menurut hitungan Hasanain, biayanya mencapai Rp282 ribu per ton.

“Sampai di situ, kami sudah tidak sanggup. Karena mustahil menarik iuran santri lebih besar untuk urusan sampah daripada urusan pendidikan. Meski manajemen sampah sebenarnya adalah bagian dari pendidikan. Tapi apakah orang tua para santri mau?” sambungnya.

Menyerah pada (Ketidakmampuan) Pemerintah

Sejak meneruskan pengelolaan pesantren dari ayahnya, tahun 1996, Hasanain sudah dipusingkan dengan produksi sampah yang saat itu masih 0,5 ton per hari.

“Kami itu malu. Agama saya mengajarkan bahwa kebersihan itu bagian dari iman. Tapi mengurus sampah saja tidak bisa,” kenangnya.

Ia memulai dengan menarik sendiri sampah-sampah dalam gerobak dan membawanya ke tempat pembuangan sejauh satu kilometer. Tapi lama-lama, lahan itu penuh dan tak sanggup lagi menampung. Akhirnya, Hasanain menyerah dan memanggil Dinas Kebersihan dengan biaya retribusi Rp600 ribu per bulan.

“Tahun 1990-an, uang enam ratus ribu itu besar sekali. Tapi apa boleh buat, kami tidak punya pilihan.”

Meski telah membayar, petugas kebersihan pemerintah tak bisa terlalu diandalkan. Selain masih banyak sampah yang tak terangkut, tak jarang kendaraan pun absen karena alasan keterbatasan armada dan personel. Apalagi jumlah santrinya telah melonjak menjadi 1.600 orang dengan produksi satu ton sampah per hari.

Sejak itu, ia bertekad ingin menyelesaikan sendiri masalah ini dengan konsep “sampah tak boleh keluar dari satu lokasi dan menimbulkan masalah di lokasi lain”. Prinsip ini ia terapkan pada para santri dengan doktrin, setiap orang harus mampu mengatasi masalah yang ia timbulkan sendiri.

Pesantren Nurul Haramain lalu merogoh kas hingga Rp100 juta untuk membeli lahan, membangun tungku pembakaran (insenerator), membeli kendaraan, hingga mesin cuci.

Semua usahanya tuntas pada tahun 2011. Tahun di mana ia memeroleh penghargaan Ramon Magsaysay atas usahanya yang lain, yakni selama sembilan tahun menggerakkan santri dan warga menghijaukan 33 hektare hutan yang semula tandus. Penghargaan yang disebut-sebut sebagai ‘hadiah Nobel-nya Asia’ ini juga ia terima karena konsistensinya mengajarkan toleransi antar-keyakinan dan kesetaraan jender.

“Seratus juta itu investasi yang ideal. Sebenarya kalau lahannya sudah ada, bisa lebih murah. Karena instalasi tungkunya saja sebenarnya hanya delapan juta, dan hanya perlu mengganti elemen besi beton setebal 21 mm di dalam tungku setahun sekali, seharga Rp1,5 juta,” kata Hasanain merinci.

Dalam menjalankan fasilitas ini, Pesantren Haramain masih perlu dana operasional Rp2 juta per bulan, untuk gaji seorang penjaga dan biaya listrik. Tapi biaya operasional itu dapat ditutup oleh sampah-sampah sendiri. Dari konsep 3R (reduce, reuse, recycle) ia bisa menjual kembali sampah botol, kertas, atau bahan logam hingga memeroleh Rp3 juta per bulan. Padahal, baru 15 persen sampah yang bisa dipilah.

Konsep Satu Locus

Tuan Guru Hasanaian mengambil kalkulator. Ia hendak menunjukkan bagaimana konsep pengelolaan sampah di satu lokasi bisa diterapkan di DKI Jakarta yang anggaran kebersihannya mencapai Rp400 miliar per tahun.

Apa yang dilakukan Jakarta dengan 6.000 ton sampah per hari, menurutnya adalah penangan yang mahal, tidak efisien, dan menabung masalah yang lebih besar.

Sampah yang dihasilkan 10 juta penduduk Jakarta dalam dua hari saja sudah setara dengan candi Borobudur. Akibatnya, TPST Bantar Gebang yang punya daya tampung 19 juta meter kubik, kini sudah terisi sembilan juta meter kubik.

“Sampah itu harus selesai di satu locus. Di setiap kampung atau kelurahan. Itu lebih mudah dijinakkan dibanding setelah bertumpuk jutaan ton seperti sekarang,” papar Hasanain yang pernah tinggal di Jakarta Utara dan menggerakkan para ulama agar selama dua bulan berturut-turut, hanya berkhotbah tentang kepedulian pada sampah.

Di mata alumni pesantren Gontor ini, mengangkut sampah dari satu lokasi ke lokasi lain adalah pemborosan energi bahan bakar, menurunkan daya dukung jalan, dan setelah tiba di lokasi, sampahnya masih menjadi masalah baru.

Ia pun mulai memainkan kalkulatornya:

Bila setiap ton sampah Jakarta diproses dengan teknologi plasma berbiaya Rp282 ribu per hari di setiap kampung atau kelurahan, maka untuk menjinakkan 6.000 ton sampah dibutuhkan dana Rp1,6 miliar per hari atau Rp48 miliar per bulan.

Bila biaya itu ditanggung 2,3 juta kepala keluarga di Jakarta, maka setiap rumah tangga hanya cukup membayar iuran kebersihan Rp21 ribu per bulan.

“Itu belum menghitungkan uang dari hasil sampah daur ulang seperti botol dan kertas,” rincinya.

Sistem ini juga menciptakan lapangan kerja dan memicu kreativitas di tingkat lokal dari jenis sampah yang ada. Menurutnya, setiap daerah memiliki karakter sampahnya masing-masing. Di pesantrennya, ada 60 jenis sampah. Sedangkan di pasar tradisional di Kecamatan Narmada, ia pernah menghitung ada 300 jenis dari bankai kucing hingga bekas stepless.

Di atas kertas, hitungan Tuan Guru bak bumi dan langit dengan biaya pengolahan sampah di Jakarta yang ongkos pembuangannya saja (tiping fee) mencapai Rp123 ribu per ton. Lalu masih ada ongkos angkut Rp167 ribu per ton karena memerlukan armada truk, tenaga kerja, dan bahan bakar.

Jadi hanya untuk memindahkan satu ton sampah dari satu tempat ke tempat lain sudah menelan biaya Rp290 ribu. Dibandingkan Rp282 ribu versi Hasanain untuk biaya pembakaran dengan teknik plasma.

Tak heran bila pemerintah DKI Jakarta awal 2014 silam telah memutus kontrak dengan PT Godang Tua Jaya selaku kontraktor swasta pengelolaan sampah.

Yang belum dicoba pemerintah DKI Jakarta adalah datang ke Lombok Barat dan melihat kalkulator Tuan Guru Hasanain, serta bagaimana menyelesaikan masalah sampah mereka sendiri.
***
Baca juga artikel terkait VIDEO - TIRTO atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah

Editor: Taufik Subarkah