Menuju konten utama

Pergolakan di Kendeng Utara

Di Pati dan Rembang, Jawa Tengah, para petani mempertahankan lahan pertanian mereka dari pabrik semen. Mereka menolak penambangan karena dianggap akan merusak sumber mata air di pegunungan kars atau batu gamping. Padahal sumber air itulah yang menghidupi pertanian dan rumah tangga mereka.

Pergolakan di Kendeng Utara
Joko Prianto alias Prin (32) memutuskan tak pulang ke rumah. Ia mengamankan diri ke kampung-kampung tetangga dan terus berpindah-pindah. Hari itu, 16 Juni 2014, ia merasa sedang dicari-cari polisi dan tentara, meski mengaku tak melakukan tindak pidana.

Enam pemuda lainnya, dan seorang perempuan, telah ditangkap karena membawa kamera saat terjadi aksi unjuk rasa menolak pabrik semen. Dengan dalih menjadi wartawan palsu, polisi pun mencokok mereka meski beberapa jam kemudian dilepaskan.

Unjuk rasa 16 Juni itu dilakukan seratusan perempuan dengan cara memblokade jalan dengan berbagai alat pertanian dan rumah tangga, termasuk lesung untuk menumbuk gabah. Polisi lalu membubarkan paksa aksi para ibu itu. Yang dibubarkan pun bergeming dengan mendirikan tenda di pintu masuk tapak pabrik, hingga kini (Januari 2015).

Menurut Prin, ketujuh warga yang ditangkap memang bukan dan tidak mengaku wartawan. Mereka adalah bagian dari tim dokumentasi warga yang menolak kehadiran pabrik semen di Desa Tegaldowo dan Timbrangan, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang (Jawa Tengah).


Tapi tuduhan pada Prin lebih berat: ia dianggap telah memprovokasi warga untuk menganggu seremoni peletakan batu pertama (ground breaking).

“Saya lahir di sini. Saya asli orang sini. Sawah saya ada di sini. Bagaimana mungkin saya dituduh provokator. Kalau saya ikut menolak semen, memang iya. Tapi aneh kalau dibilang provokator,” kata Prin, pertengahan Januari lalu.


Pabrik yang sedang dibangun itu milik PT Semen Indonesia, perusahaan pelat merah hasil kongsi sejak 2012 antara PT Semen Gresik, PT Semen Padang, dan dan PT Semen Tonasa. Tapak pabrik itu berdiri di atas lahan 55 hektar milik Perum Perhutani KPH Mantingan yang disebut-sebut telah ditukar-guling. Ini adalah bagian dari rencana penambangan karst (batu gamping) seluas 900 hektar yang akan berlangsung selama 130 tahun di sepanjang pegunungan Kendeng.

Di luar lahan Perhutani, ada sawah-sawah produktif milik warga yang ditanami padi dan jagung, yang mengandalkan sumber pengairan dari kawasan karst atau yang secara geologis dikenal sebagai Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. CAT artinya tempat masuk dan meresapnya air, sekaligus cadangan air dan munculnya mata air di dalam sistem geologi atau kawasan yang sama.

Menurut kajian Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), CAT Watuputih mampu menyuplai air sebanyak 51 juta liter per hari dari 109 mata air. Dari debit sebesar itu, 10 persennya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan warga di 14 kecamatan, dan sisanya untuk pengairan sawah. Tak heran bila pada tahun 2011, lahir Keputusan Presiden tentang penetapan Cekungan Air Tanah di mana CAT Watuputih termasuk kategori B yang wajib dilindungi.

Merasa di atas angin, didampingi para pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), warga Tegaldowo dan Timbrangan kini tengah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, agar membatalkan izin penambangan semen yang dikeluarkan pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Rembang.

Kebutuhan Semen vs Pertanian

Pemerintah dan industri semen yang digugat juga punya argumen. Menurut presentasi Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah, Teguh Dwi Paryono, izin penambangan semen di Rembang tidak akan mengganggu suplai air tanah bagi pertanian warga, karena dilakukan di zona kering.

Zona kering adalah lapisan teratas dari kawasan karst yang tebalnya 270-300 meter. Kendati begitu, izin hanya diberikan untuk penambangan hingga kedalaman maksimal 79 meter sesuai Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Di bawah itu, ada zona peralihan atau zona penyangga, sebelum akhirnya zona basah yang berisi cadangan air.

“Teknik penambangan tersebut tidak akan mengurangi fungsi imbuhan air tanah, tapi malah dapat meningkatkan fungsi daerah tersebut sebagai kawasan imbuhan,” papar Teguh dalam presentasinya.

Tak heran bila pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberi lampu hijau kepada investasi semen di wilayahnya. Sebagian besar memanfaatkan barisan pegunungan Kendeng yang menyimpan deposit batu gamping dan membentang di enam kabupaten: Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Blora, dan Grobogan.

Industri semen yang kini tengah melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi di Jawa Tengah antara lain PT Semen Indonesia, PT Holcim Indonesia, PT Vanda Prima Listri, PT Semen Grobogan, PT Semen Gombong, dan PT Sahabat Mulia Sakti, yang tak lain adalah anak usaha PT Indocement Tunggal Prakarsa.

Menurut pemerintah Provinsi Jawa Tengah, kebutuhan semen tahun 2014 mencapai 64 juta ton dan akan terus meroket hingga menembus lebih dari 70 juta ton pada tahun 2016. Dari permintaan sebesar itu, 58 persen berasal dari Jawa dan 21 persen dari Sumatera.

Di sisi lain, lahan pertanian produktif yang sedang dipertahankan sebagian warga di kaki pegunungan Kendeng juga signifikan. Menurut data JMPPK, terdapat lebih dari 10.000 haktar lahan pertanian yang dipertaruhakan. Padahal, setiap hektar sawah dapat menghidupi 146 orang, termasuk tenaga kerja. Itu belum termasuk 4,7 juta jiwa yang hidup di lima kabupaten yang menggantungkan sumber air tanah dari pegunungan Kendeng.

“Satu pabrik semen hanya sanggup menampung 2.000 orang di masa konstruksi, dan 1.000 orang di saat produksi. Dibandingkan dengan pertanian yang menghidupi puluhan ribu orang, jelas tidak ada apa-apanya,” kata Prin yang kini mengelola lahan setengah hektar warisan almarhum ayahnya.

Dalih peningkatan kesejahteraan juga sulit diterimanya.

“Kami ini tidak miskin. Kami ini sejahtera dari pertanian. Saya menanam jagung tiga bulan saja dapat 7,3 juta rupiah. Itu pas harga jagung 1.900 per kilogram,” sambungnya bersemangat.

Setiap tahun, lahan setengah hektarnya ditanami bergiliran antara padi, jagung, dan tembakau. Bila sedang musim tembakau dan kondisinya bagus, ia mengaku pernah untung bersih 30 juta rupiah hanya dengan modal produksi 10 juta untuk empat bulan masa tanam hingga panen.

“Kalau jadi buruh di pabrik semen apa bisa punya pendapatan seperti itu? Sudah tanah hilang, juga risiko dipecat atau pabriknya tutup,” pungkasnya.

Tapi sejak 2012, sawahnya telantar. Prin lebih sering pulang pergi Rembang-Semarang untuk menghadiri sidang-sidang PTUN. Ia juga kerap berkunjung ke Kabupaten Pati untuk menimba pengalaman dari komunitas Sedulur Sikep (Samin) yang pernah memenangi gugatan PTUN melawan PT Semen Indonesia tahun 2009.
Baca juga artikel terkait VIDEO - ARTA atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah

Editor: Taufik Subarkah