Pulau Flores di Provinsi NTT selain diberkahi alam yang memikat mata, juga menyimpan peninggalan peradaban zaman batu yang masih dilestarikan masyarakat, tepatnya di kaki gunung Inerie, Ngada, kampung Megalitikum Bena masih berdiri kokoh yang hingga kini.
Kampung Bena yang memanjang dan berbentuk perahu besar jika dipandang dari atas merupakan salah satu kampung adat yang diperkirakan telah ada sejak 1200 tahun yang lalu.
Berdasarkan cerita turun temurun, kampung tersebut terbentuk karena kapal besar pernah terdampar di atas lereng gunung dan tidak bisa berlayar lagi hingga air surut kemudian berubah menjadi batu hingga sekarang.
Sebanyak sembilan suku yakni suku Dizi, Dizi Asi, Bena, Wahto, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Ngada, Khipa dan Ago yang mendiami 45 rumah atau "sao". Rumah dari garis keturunan laki-laki dinamakan sakabalo yang memiliki ciri terdapat boneka kecil di atapnya, sedangkan dari garis perempuan dinamakan sakapu'u ditandai dengan miniatur rumah di atapnya.
Hingga kini warga Bena yang mayoritas beragama Katolik itu masih menjalankan tradisi turun temurun seperti prosesi Bui Loka yakni membersihkan batu-batu megalitikum dengan cara menyembelih hewan, Kobe Dheke untuk sesaji para leluhur, Kobe Reba merupakan pertunjukan tarian sedo uwi yang memiliki makna membangun rasa solidaritas dan kekerabatan dan Kobe Dhoro berupa nasehat dari tetua suku kepada generasi muda agar tetap merawat dan menjaga budaya.
Bagi wisatawan yang mengunjungi pulau Flores, tidak lengkap rasanya jika tidak singgah ke kampung Bena. Kita seakan terbawa kembali ke masa lalu, menjejakkan kaki ke zaman megalitikum serta menyaksikan keramahan warga. Selain itu kita juga dapat membawa kain tenun yang dibuat masyarakat Bena sebagai buah tangan.
Foto dan Teks: Wahyu Putro A
Kampung Bena yang memanjang dan berbentuk perahu besar jika dipandang dari atas merupakan salah satu kampung adat yang diperkirakan telah ada sejak 1200 tahun yang lalu.
Berdasarkan cerita turun temurun, kampung tersebut terbentuk karena kapal besar pernah terdampar di atas lereng gunung dan tidak bisa berlayar lagi hingga air surut kemudian berubah menjadi batu hingga sekarang.
Sebanyak sembilan suku yakni suku Dizi, Dizi Asi, Bena, Wahto, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Ngada, Khipa dan Ago yang mendiami 45 rumah atau "sao". Rumah dari garis keturunan laki-laki dinamakan sakabalo yang memiliki ciri terdapat boneka kecil di atapnya, sedangkan dari garis perempuan dinamakan sakapu'u ditandai dengan miniatur rumah di atapnya.
Hingga kini warga Bena yang mayoritas beragama Katolik itu masih menjalankan tradisi turun temurun seperti prosesi Bui Loka yakni membersihkan batu-batu megalitikum dengan cara menyembelih hewan, Kobe Dheke untuk sesaji para leluhur, Kobe Reba merupakan pertunjukan tarian sedo uwi yang memiliki makna membangun rasa solidaritas dan kekerabatan dan Kobe Dhoro berupa nasehat dari tetua suku kepada generasi muda agar tetap merawat dan menjaga budaya.
Bagi wisatawan yang mengunjungi pulau Flores, tidak lengkap rasanya jika tidak singgah ke kampung Bena. Kita seakan terbawa kembali ke masa lalu, menjejakkan kaki ke zaman megalitikum serta menyaksikan keramahan warga. Selain itu kita juga dapat membawa kain tenun yang dibuat masyarakat Bena sebagai buah tangan.
Foto dan Teks: Wahyu Putro A