Seiring maraknya pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan dan pertambangan di wilayah hutan Aceh, meningkat pula permasalahan antara manusia dengan gajah yang habitatnya semakin menyempit dan terdesak.
Sebut saja misalnya seringnya kelompok gajah liar yang masuk kawasan manusia yang merusak tanaman di perkebunan milik warga. Selama ini gajah liar selalu dianggap hewan yang merusak padahal dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, gajah selalu melewati jalur yang pernah mereka lewati berpuluh-puluh tahun silam, artinya kebun atau pemukiman yang baru dibuka sebelumnya merupakan daerah lintasan gajah.
Menurut data dari World Wildlife Fund (WWF), jumlah gajah Sumatera kini tercatat hanya tersisa sekitar 2.400 hingga 2.800 ekor saja, dari 5.000 ekor pada 1985. Jumlah tersebut terus menurun akibat pemburuan gading, diracun dan maraknya pembukaan lahan baru yang menyebabkan habitat gajah terancam.
Salah satu upaya untuk menghindari konflik antara gajah dengan manusia ialah dengan menempatkan gajah-gajah jinak untuk menggiring gajah-gajah liar saat akan memasuki kawasan perkebunan atau pemukiman. Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh misalnya telah mengerahkan gajah-gajah jinaknya yang selama ini berada di Saree, Aceh Besar, ke Conservation Response Unit (CRU) Serbajadi, Aceh Timur untuk membantu mengatasi gangguan gajah liar dengan berpatroli di titik-titik rawan gangguan gajah liar.
Menurut BKSDA konflik satwa dengan manusia di wilayah itu terjadi karena gajah telah kehilangan hutan untuk mendapatkan pangan. BKSDA dan instansi terkait akan menyediakan lahan sekitar 150 ribu hektare untuk kawasan pangan gajah liar di wilayah Aceh Jaya. Diperkirakan ada puluhan kawanan gajah liar di Aceh Jaya, gajah-gajah ini harus dilindungi serta konflik gajah dengan manusia harus diatasi, salah satunya dengan menyediakan kawasan pangannya.
Foto dan Teks: Syifa Yulinnas
Sebut saja misalnya seringnya kelompok gajah liar yang masuk kawasan manusia yang merusak tanaman di perkebunan milik warga. Selama ini gajah liar selalu dianggap hewan yang merusak padahal dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, gajah selalu melewati jalur yang pernah mereka lewati berpuluh-puluh tahun silam, artinya kebun atau pemukiman yang baru dibuka sebelumnya merupakan daerah lintasan gajah.
Menurut data dari World Wildlife Fund (WWF), jumlah gajah Sumatera kini tercatat hanya tersisa sekitar 2.400 hingga 2.800 ekor saja, dari 5.000 ekor pada 1985. Jumlah tersebut terus menurun akibat pemburuan gading, diracun dan maraknya pembukaan lahan baru yang menyebabkan habitat gajah terancam.
Salah satu upaya untuk menghindari konflik antara gajah dengan manusia ialah dengan menempatkan gajah-gajah jinak untuk menggiring gajah-gajah liar saat akan memasuki kawasan perkebunan atau pemukiman. Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh misalnya telah mengerahkan gajah-gajah jinaknya yang selama ini berada di Saree, Aceh Besar, ke Conservation Response Unit (CRU) Serbajadi, Aceh Timur untuk membantu mengatasi gangguan gajah liar dengan berpatroli di titik-titik rawan gangguan gajah liar.
Menurut BKSDA konflik satwa dengan manusia di wilayah itu terjadi karena gajah telah kehilangan hutan untuk mendapatkan pangan. BKSDA dan instansi terkait akan menyediakan lahan sekitar 150 ribu hektare untuk kawasan pangan gajah liar di wilayah Aceh Jaya. Diperkirakan ada puluhan kawanan gajah liar di Aceh Jaya, gajah-gajah ini harus dilindungi serta konflik gajah dengan manusia harus diatasi, salah satunya dengan menyediakan kawasan pangannya.
Foto dan Teks: Syifa Yulinnas