Kabut putih berarak menuruni lembah. Pekatnya seketika menelan perbukitan di kaki Semeru dari pandangan mata. Di dasar lembah, 22 pria sedang berpacu mendahului turunnya hujan untuk memanen kentang.
Mereka baru menyelesaikan seperempat dari 2.500 meter persegi tanah yang harus dibongkar. Padahal ini sudah tengah hari. Bila hujan yang menang, pedagang kentang seperti Yonathan (44) harus memperpanjang hari kerja buruh taninya.
Hari itu, 9 Februari 2015, dua mobil bak terbuka diparkir di pinggir ladang. Salah satunya telah terisi selusinan karung kentang.
“Ini akan langsung kami setor ke Pasar Porong. Saya perkirakan satu petak ini dapat lima ton,” terang Yonathan.
Sudah 14 tahun ia menjadi pedagang kentang yang memborong hasil panen petani di Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Desa yang dihuni masyarakat Tengger di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut. Di desa ini, tahun lalu ada 45 ribu pendaki Semeru yang melintas. Desa terakhir sebelum puncak Mahameru.
Secara administrasi, desa seluas 500 hektar ini berada di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Inilah desa yang berada di dalam kantong (enclave) sebuah kawasan konservasi seluas 50.200 hektar yang beririsan dengan empat kabupaten: Malang, Lumajang, Probolinggo, dan Pasuruan.
Untuk seperempat hektar yang dipanen hari itu, Yonathan dan petani pemilik tanah sepakat di harga 25 juta rupiah, dengan asumsi panen akan menghasilkan 5 ton kentang. Itu berarti satu kilo kentang di dalam tanah dihargai 5.000 rupiah per kilo. Bila hasil panen lebih besar dari angka asumsi, Yon lebih untung.
“Ke pengepul nanti saya oper dengan harga 6.500 per kilo.”
Bila matematika Yon tepat, ia akan mengantongi margin 7,5 juta rupiah sebelum dipotong transpor dan ongkos buruh tani.
“Kadang kalau petani kesulitan pupuk atau pestisida, saya memberikan pinjaman dan dibayar saat panen,” katanya enteng, seolah tak risau dengan julukan tengkulak atau ijon.
Ia memang sudah dekat dengan masyarakat Tengger di Ranu Pani. Selama enam tahun antara 1989-1995, Yonathan pernah menetap dan bertani di Ranu Pani. Seperti petani lainnya, di masa itu, ia menanam bawang putih.
“Setelah bawang putih hancur, saya kembali ke Tosari (Pasuruan).”
Peristiwa yang dimaksudnya terjadi antara 1995-1996, saat pemerintah Orde Baru mulai memasuki pasar bebas dunia. Setahun sebelumnya, Indonesia menjadi tuan rumah pakta perdagangan bebas Asia-Pasifik, APEC.
Tahun 1995, luas lahan bawang putih nasional mencapai 22 ribu hektar dengan total produksi lebih dari 279 ribu ton. Dengan volume sebesar itu, bawang putih lokal mampu memenuhi 95 persen kebutuhan dalam negeri.
Para petani di Ranu Pani seperti Yonathan menikmati harga 6.000 rupiah/kg. Tak terpikir untuk menanam kentang yang kala itu harganya hanya 350 rupiah.
“Setelah bawang impor dari Tiongkok masuk, harga di konsumen sudah 2.250. Padahal di lahan saja harganya masih 6.000 rupiah. Bagaimana konsumen tidak berpindah ke bawang impor,” kenangnya.
Sejak saat itu, petani Ranu Pani beralih ke kentang, kubis, atau bawang daun. Bawang putih sendiri tak pernah kembali. Volume impornya telah menembus setengah juta ton per tahun dan menghapus bawang lokal dari sejarah dengan menyisakan lima persen saja pangsa pasar domestik.
Tapi tak semua petani sependapat dengan Yonathan ihwal penyebab tunggal runtuhnya kejayaan bawang putih di desa Ranu Pani.
Joko (62), petani yang lebih senior, mengenang peristiwa itu akibat datangnya hama tanaman yang tak ada obatnya.
“Tanaman yang harusnya sudah berbuah, tiba-tiba layu dan busuk dari batang sampai daun. Tim dari Universitas Brawijaya sampai naik ke sini tapi tidak bisa menyembuhkan,” kenang Joko sembari duduk di depan tungku perapian.
Satu meter di atasnya, masih terpasang rak bambu yang gosong menghitam, bekas menjemur bawang putih. Saksi kejayaan ekonomi era 1990-an.
Di masa itu, seperempat hektar lahan mampu menghasilkan dua ton bawang. Dengan harga 6.000 rupiah per kilo, Joko mengalami masa keemasan dan menikmati hidup sebagai petani.
“Padahal saat itu uang 100 ribu saja sudah bisa untuk modal satu kali masa tanam. Jadi bayangkan kalau sekali panen bisa 12 juta rupiah. Sekarang uang 100 ribu tidak ada harganya.”
Mereka baru menyelesaikan seperempat dari 2.500 meter persegi tanah yang harus dibongkar. Padahal ini sudah tengah hari. Bila hujan yang menang, pedagang kentang seperti Yonathan (44) harus memperpanjang hari kerja buruh taninya.
Hari itu, 9 Februari 2015, dua mobil bak terbuka diparkir di pinggir ladang. Salah satunya telah terisi selusinan karung kentang.
“Ini akan langsung kami setor ke Pasar Porong. Saya perkirakan satu petak ini dapat lima ton,” terang Yonathan.
Sudah 14 tahun ia menjadi pedagang kentang yang memborong hasil panen petani di Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Desa yang dihuni masyarakat Tengger di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut. Di desa ini, tahun lalu ada 45 ribu pendaki Semeru yang melintas. Desa terakhir sebelum puncak Mahameru.
Secara administrasi, desa seluas 500 hektar ini berada di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Inilah desa yang berada di dalam kantong (enclave) sebuah kawasan konservasi seluas 50.200 hektar yang beririsan dengan empat kabupaten: Malang, Lumajang, Probolinggo, dan Pasuruan.
Untuk seperempat hektar yang dipanen hari itu, Yonathan dan petani pemilik tanah sepakat di harga 25 juta rupiah, dengan asumsi panen akan menghasilkan 5 ton kentang. Itu berarti satu kilo kentang di dalam tanah dihargai 5.000 rupiah per kilo. Bila hasil panen lebih besar dari angka asumsi, Yon lebih untung.
“Ke pengepul nanti saya oper dengan harga 6.500 per kilo.”
Bila matematika Yon tepat, ia akan mengantongi margin 7,5 juta rupiah sebelum dipotong transpor dan ongkos buruh tani.
“Kadang kalau petani kesulitan pupuk atau pestisida, saya memberikan pinjaman dan dibayar saat panen,” katanya enteng, seolah tak risau dengan julukan tengkulak atau ijon.
Ia memang sudah dekat dengan masyarakat Tengger di Ranu Pani. Selama enam tahun antara 1989-1995, Yonathan pernah menetap dan bertani di Ranu Pani. Seperti petani lainnya, di masa itu, ia menanam bawang putih.
“Setelah bawang putih hancur, saya kembali ke Tosari (Pasuruan).”
Peristiwa yang dimaksudnya terjadi antara 1995-1996, saat pemerintah Orde Baru mulai memasuki pasar bebas dunia. Setahun sebelumnya, Indonesia menjadi tuan rumah pakta perdagangan bebas Asia-Pasifik, APEC.
Tahun 1995, luas lahan bawang putih nasional mencapai 22 ribu hektar dengan total produksi lebih dari 279 ribu ton. Dengan volume sebesar itu, bawang putih lokal mampu memenuhi 95 persen kebutuhan dalam negeri.
Para petani di Ranu Pani seperti Yonathan menikmati harga 6.000 rupiah/kg. Tak terpikir untuk menanam kentang yang kala itu harganya hanya 350 rupiah.
“Setelah bawang impor dari Tiongkok masuk, harga di konsumen sudah 2.250. Padahal di lahan saja harganya masih 6.000 rupiah. Bagaimana konsumen tidak berpindah ke bawang impor,” kenangnya.
Sejak saat itu, petani Ranu Pani beralih ke kentang, kubis, atau bawang daun. Bawang putih sendiri tak pernah kembali. Volume impornya telah menembus setengah juta ton per tahun dan menghapus bawang lokal dari sejarah dengan menyisakan lima persen saja pangsa pasar domestik.
Tapi tak semua petani sependapat dengan Yonathan ihwal penyebab tunggal runtuhnya kejayaan bawang putih di desa Ranu Pani.
Joko (62), petani yang lebih senior, mengenang peristiwa itu akibat datangnya hama tanaman yang tak ada obatnya.
“Tanaman yang harusnya sudah berbuah, tiba-tiba layu dan busuk dari batang sampai daun. Tim dari Universitas Brawijaya sampai naik ke sini tapi tidak bisa menyembuhkan,” kenang Joko sembari duduk di depan tungku perapian.
Satu meter di atasnya, masih terpasang rak bambu yang gosong menghitam, bekas menjemur bawang putih. Saksi kejayaan ekonomi era 1990-an.
Di masa itu, seperempat hektar lahan mampu menghasilkan dua ton bawang. Dengan harga 6.000 rupiah per kilo, Joko mengalami masa keemasan dan menikmati hidup sebagai petani.
“Padahal saat itu uang 100 ribu saja sudah bisa untuk modal satu kali masa tanam. Jadi bayangkan kalau sekali panen bisa 12 juta rupiah. Sekarang uang 100 ribu tidak ada harganya.”
Baca juga artikel terkait VIDEO - ARTA atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah
Editor: Taufik Subarkah