Wajahnya sayu, pandangan mata yang kosong, bicaranya ngelantur, dan kadang mereka kebingungan tanpa sebab. Sejauh mata memandang teriakan dan beragam polah dilakukan oleh mereka yang hidup disini. Ada yang terdiam di sudut dinding sampai dan bertingkah bak pendekar silat. Ada pula terdengar samar nyanyian yang kurang terdengar jelas liriknya.
Itulah potret para penyandang disabilitas psikososial yang dirawat di Yayasan Galuh kepanjangan dari “gagasan leluhur”. Yayasan yang didirikan oleh Gendu Mulatip ini berada di daerah Rawa Lumbu, tepatnya di Kampung Sepatan Gg. Bambu Kuning, Sepanjang, Bekasi
379 pasien dirawat di Yayasan yang berdiri sejak tahun 1980an ini. hampir separuhnya sudah bisa dilepas di sekitar yayasan. Rata-rata pasien adalah orang yang terlantar dan terbuang. Hanya 25 persen yang ditengok secara rutin oleh keluarga serta mendapatkan dukungan material dan moral. Beberapa pasien diantara ada pelajar, mahasiswa, dan tokoh masyarakat. Permasalahan kejiwaan mereka biasanya bersumber dari tekanan hidup seperti putus cinta, depresi karena tidak lulus kuliah, serta narkoba.
Dahulu Yayasan Galuh memperlakukan pasien dengan cara dipasung. Sejak 2 tahun lalu sudah tidak ada pemasungan karena sudah ada ruang isolasi. Oleh yayasan, mereka ditempatkan pada bangsal bertingkat. Di bagian bawah khusus laki-laki, sedangkan atas perempuan. Tiap bangsal dibagi menjadi 8 petak masing-masing 5 meter x 6 meter.
Para pasien ini mendapatkan makan tiga kali sehari. jadwal makan pada jam 8 pagi, 12 siang, dan 5 sore. Sehari dibutuhkan 150 kg beras untuk kebutuhan makan pasien. Yayasan Galuh mengandalkan pemasukan dari donatur tetap. Ada pula sumbangan dari pemerintah kota Bekasi berupa sembako. Sayangnya, sumbangan ini paling banter hanya cukup untuk dua bulan. Pengurus Yayasan mengaku masih kewalahan memenuhi biaya operasional.
Keberadaan Panti rehabilitasi kejiwaan seperti Yayasan Galuh dibutuhkan masyarakat ketika negara masih belum sepenuhnya hadir menjamin kehidupan yang layak bagi mereka.
Foto & teks: Andrey Gromico
Itulah potret para penyandang disabilitas psikososial yang dirawat di Yayasan Galuh kepanjangan dari “gagasan leluhur”. Yayasan yang didirikan oleh Gendu Mulatip ini berada di daerah Rawa Lumbu, tepatnya di Kampung Sepatan Gg. Bambu Kuning, Sepanjang, Bekasi
379 pasien dirawat di Yayasan yang berdiri sejak tahun 1980an ini. hampir separuhnya sudah bisa dilepas di sekitar yayasan. Rata-rata pasien adalah orang yang terlantar dan terbuang. Hanya 25 persen yang ditengok secara rutin oleh keluarga serta mendapatkan dukungan material dan moral. Beberapa pasien diantara ada pelajar, mahasiswa, dan tokoh masyarakat. Permasalahan kejiwaan mereka biasanya bersumber dari tekanan hidup seperti putus cinta, depresi karena tidak lulus kuliah, serta narkoba.
Dahulu Yayasan Galuh memperlakukan pasien dengan cara dipasung. Sejak 2 tahun lalu sudah tidak ada pemasungan karena sudah ada ruang isolasi. Oleh yayasan, mereka ditempatkan pada bangsal bertingkat. Di bagian bawah khusus laki-laki, sedangkan atas perempuan. Tiap bangsal dibagi menjadi 8 petak masing-masing 5 meter x 6 meter.
Para pasien ini mendapatkan makan tiga kali sehari. jadwal makan pada jam 8 pagi, 12 siang, dan 5 sore. Sehari dibutuhkan 150 kg beras untuk kebutuhan makan pasien. Yayasan Galuh mengandalkan pemasukan dari donatur tetap. Ada pula sumbangan dari pemerintah kota Bekasi berupa sembako. Sayangnya, sumbangan ini paling banter hanya cukup untuk dua bulan. Pengurus Yayasan mengaku masih kewalahan memenuhi biaya operasional.
Keberadaan Panti rehabilitasi kejiwaan seperti Yayasan Galuh dibutuhkan masyarakat ketika negara masih belum sepenuhnya hadir menjamin kehidupan yang layak bagi mereka.
Foto & teks: Andrey Gromico