Merujuk laporan yang dirilis International Humanist and Ethical Union (IHEU), Reuters menyebutkan Bangladesh, Mesir, Indonesia, Kuwait, Malaysia, dan Yordania (beberapa di antara negara yang mewajibkan warganya mendaftarkan status keyakinannya) sebagai negara yang tak ramah ateis. Di Yunani dan Rusia, terdapat larangan untuk mengkritik Gereja Ortodox. Gereja Ortodox pun memiliki privelese untuk menduduki kursi khusus di parlemen.
Di Indonesia, diskriminasi terhadap ateis mendapat pembenarannya dalam pengidentifikasian ateis dengan komunis—yang dikokohkan melalui kebijakan negara mewajibkan pencantuman identitas agama ke dalam KTP sejak 1967. Tak hanya itu, pasal penistaan agama dalam KUHP masih digunakan untuk menjerat ateis, demikian pula UU ITE.
Di negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, Bangladesh, tercatat tiga orang blogger ateis ditusuk sampai tewas pada 2015. Di Mesir pada tahun yang sama, seorang mahasiswa dijatuhi hukuman penjara tiga tahun. Setelah memproklamirkan diri sebagai ateis, ia diseret dengan pasal penghinaan terhadap Islam. Dikutip dari Guardian, setelah kasus tersebut, polisi menutup sebuah tempat yang disebut-sebut sebagai “kafe ateis” yang, menurut otoritas lokal, dituduh sebagai “tempat penyembahan, ritual, dan tari-tarian satanis”. Selain ateis, yang rawan diadili di Mesir adalah siapapun yang mendeklarasikan dukungan kepada Ikhwanul Muslimin, organisasi Islamis yang dicap teroris oleh pemerintah setelah kudeta Al-Sisi pada 2013.
Dalam sejumlah kasus, kekerasan digunakan oleh kelompok-kelompok berbasis agama sebagai alat menakut-nakuti pihak yang dianggap lawan, sekaligus menjadi alat ampuh merekrut anggota baru. Di sisi lain, kekerasan pun berpotensi mengasingkan rekan seagama.
Di Indonesia, diskriminasi terhadap ateis mendapat pembenarannya dalam pengidentifikasian ateis dengan komunis—yang dikokohkan melalui kebijakan negara mewajibkan pencantuman identitas agama ke dalam KTP sejak 1967. Tak hanya itu, pasal penistaan agama dalam KUHP masih digunakan untuk menjerat ateis, demikian pula UU ITE.
Di negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, Bangladesh, tercatat tiga orang blogger ateis ditusuk sampai tewas pada 2015. Di Mesir pada tahun yang sama, seorang mahasiswa dijatuhi hukuman penjara tiga tahun. Setelah memproklamirkan diri sebagai ateis, ia diseret dengan pasal penghinaan terhadap Islam. Dikutip dari Guardian, setelah kasus tersebut, polisi menutup sebuah tempat yang disebut-sebut sebagai “kafe ateis” yang, menurut otoritas lokal, dituduh sebagai “tempat penyembahan, ritual, dan tari-tarian satanis”. Selain ateis, yang rawan diadili di Mesir adalah siapapun yang mendeklarasikan dukungan kepada Ikhwanul Muslimin, organisasi Islamis yang dicap teroris oleh pemerintah setelah kudeta Al-Sisi pada 2013.
Dalam sejumlah kasus, kekerasan digunakan oleh kelompok-kelompok berbasis agama sebagai alat menakut-nakuti pihak yang dianggap lawan, sekaligus menjadi alat ampuh merekrut anggota baru. Di sisi lain, kekerasan pun berpotensi mengasingkan rekan seagama.