Menuju konten utama

Menguruk Benoa

Proyek ekspansi properti senilai Rp30 triliun yang memicu kontroversi di Bali.

Menguruk Benoa
Dua perahu kayu yang panjangnya tak lebih dari tiga meter, mengapung di perairan teluk Benoa. Di setiap perahu itu, ada pria yang menunggui tiga buah pancing sekaligus. Jarak keduanya sekitar 100-an meter. Caping dan sebo menutup kepala dan wajah, untuk meredam panas matahari yang mulai meninggi.

“Kalau di sini namanya ikan ‘bangkikan’,” kata pria di perahu yang dicat hijau sembari menunjukkan dua ekor contoh hasil tangkapan.

Ia memperkenalkan diri sebagai Nyoman. Usianya di atas 60 tahun. Bila sampai sore ia tak beranjak dari teluk, Nyoman bisa mengail hingga 50 ekor ikan bangkikan. Wujudnya seperti nila tapi berwarna putih, berekor kuning.

Ikan-ikan itu memang tak dijualnya. Sebab ia hanya nelayan paruh waktu. Separuh waktu lainnya ia gunakan untuk membuat atap dari ijuk. Dari sana lah ia memeroleh uang.

“Ikan ini untuk lauk keluarga saja. Tinggal membeli beras dan kebutuhan lainnya,” terangnya.

Dari tempat perahu Nyoman mengapung, di satu sisi ada jajaran hutan bakau (mangrove) seluas 1.373 hektare, sedangkan di sisi lain melintang jalan tol Bali Mandara sepanjang 12,7 kilometer yang menghubungkan Nusa Dua, bandara Ngurah Rai, dan Benoa. Beberapa perahu motor wisata hilir mudik mengantar turis. Mereka punya lintasan sendiri, dan tidak menganggu nelayan seperti Nyoman.

Teluk Benoa pagi itu memang berbeda dari gambaran teluk Benoa yang disajikan di brosur atau situs PT Tirta Wahana Bali Internasional (grup Artha Graha). Investor proyek reklamasi itu memasang foto kondisi teluk seluas 1.400 hektare yang dari udara tampak seperti padang lumpur yang disebut akibat sedimentasi atau pendangkalan.

“Melihat kondisi saat ini, tak diragukan lagi bahwa tidak ada ikan yang bisa ditangkap saat air surut,” tulis brosur PT TWBI yang dibagikan di acara Konsultasi Publik, 11 Maret 2015 lalu di kantor gubernur, di Denpasar.

Klaim itu tak sepenuhnya keliru. Hanya saja, teluk Benoa juga mengalami masa pasang di mana Nyoman dan nelayan lainnya mencari ikan.

“Bahkan bila bulan-bulan pasang, air dari teluk Benoa naik sampai sini,” terang I Nyoman Sugita sambil menunjukkan kolam renangnya yang berjarak 70 meter dari pantai. Ia pemilik tempat usaha wisata air yang memiliki 50 karyawan dan lokasinya persis menghadap teluk Benoa. Ia bahkan baru saja membuat tanggul setinggi 25 sentimeter.

“Jadi bayangkan bila teluk ini diuruk. Ke mana larinya air laut kalau tidak ke pinggir-pinggir seperti tempat kami,” tandasnya.

Menurutnya, PT TWBI hanya memotret kondisi teluk Benoa saat air surut untuk membenarkan proyek reklamasi senilai Rp30 triliun itu. Di atas urukan itulah kelak akan dibangun proyek properti seperti apartemen, hotel, mal, dan aneka tempat hiburan dan rekreasi.

Dalam rencana yang dipaparkan kepada perwakilan masyarakat, PT TWBI akan membangun setidaknya 16 pulau dari urukan pasir sebanyak 25 juta meter kubik yang diambil dari Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Di antara pulau-pulau buatan itu, ada kanal-kanal air yang akan dikeruk sehingga perairan teluk Benoa tidak mati. Sekaligus menepis kekhawatiran banyak orang tentang ancaman banjir akibat air pasang (rob).

Mereka juga berjanji, dari 700 hektare yang direklamasi, lebih dari separuhnya justru akan digunakan sebagai ruang terbuka hijau, atau hanya sekitar 300 hektare yang akan didirikan bangunan.

Merasa justru hendak menyelamatkan lingkungan, PT TWBI menyebut proyek pengurukan itu sebagai “revitalisasi teluk Benoa” atau mengembalikan fungsi vital teluk Benoa yang merupakan muara dari lima daerah aliran sungai (DAS) di Bali selatan.

“Endapan akibat pendangkalan sudah mengancam tanaman bakau. Belum lagi sampah yang masuk ke teluk Benoa. Reklamasi yang berbasis revitalisasi harus dilakukan,” kata Made Mangku dari Sekretariat Kerja Pelestari dan Penyelamat Lingkungan Hidup, yang hadir saat Konsultasi Publik dan kata-katanya dikutip dalam brosur PT TWBI.

Namun argumen itu ditolak sejumlah pihak. Brosur dibalas brosur. Dalam aneka poster, stiker, atau bahan kampanye digital di media sosial, sekelompok masyarakat yang menamakan diri Forum Rakyat Bali (For Bali) menggunakan istilah “reklamasi berkedok revitalisasi”.

Menurut For Bali yang mendasarkan argumennya pada hasil kajian lembaga Conservation International Indonesia, setiap pengurukan 20 persen kawasan teluk Benoa, akan menambah ketinggian air laut hingga setengah meter di Tanjung Benoa, Nusa Dua, Tuban, dan Sanur. Padahal, rencana reklamasi mencakup wilayah 700 hektare atau 50 persen dari luas teluk Benoa.

“Kalau lingkungan memang sudah rusak karena sampah dan sedimentasi, ya diperbaiki, dikeruk, dan ditanami terumbu karang. Bukan malah diuruk. Ini kan tidak nyambung logikanya,” tukas Kadek Duarsa, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Teluk Benoa yang telah 40 tahun menetap di sana.

Riwayat Proyek

Perang urat saraf ini dimulai sejak akhir 2012, ketika Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, pada 26 Desember menerbitkan Surat Keputusan tentang Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa (SK 2138/2012).

Padahal, saat itu masih berlaku Peraturan Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) yang menyebut teluk Benoa sebagai kawasan konservasi (Perpres 45/2011).

Sebelum keluar keputusan gubernur, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana telah diminta PT TWBI untuk mengkaji kelayakan sebuah proyek di teluk Benoa.

“Semua ini dilakukan diam-diam dan tanpa publikasi. Untung ada berita tanggal 1 Januari 2013 yang judulnya ‘Konsorsium Multinasional akan Bangun Sirkuit Formula 1 di Teluk Benoa Bali’,” papar Wayan ‘Gendo’ Suardana dari For Bali.

“Kami kaget. Di mana bisa dibangun sirkuit 100 hektare di teluk Benoa. Ini kan kawasan konservasi. Wah, ini dia nih, pasti reklamasi,” tandasnya saat ditemui Maret 2015.

Enam bulan setelah berita tentang sirkuit balap itu, 3 Juli 2013, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mengeluarkan Peraturan Menteri yang mengizinkan reklamasi di zona konservasi non-inti (Permen 17/2013).

Kontroversi mulai terbuka ketika sebulan kemudian, Agustus 2013, ada dialog terbuka di kantor gubernur, di mana hasil kajian tim LPPM Universitas Udayana dibahas. Kajian yang didanai PT TWBI senilai Rp1,09 miliar itu semula menyatakan “layak bersyarat”. Namun setelah dilakukan kaji ulang, Universitas Udayana menyatakan “tidak layak diteruskan”.

DPRD Bali sendiri sempat meminta gubernur meninjau ulang atau mencabut SK tentang teluk Benoa. Namun rekomendasi ini dijawab gubernur dengan menerbitkan SK baru tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa (SK 1727/2013).

Atas sikap ini, For Bali lalu mengadukan Gubernur dan DPRD Bali ke lembaga Ombudsman Nasional atas dugaan mal-administrasi.

Namun di tingkat nasional, situasinya justru tidak menguntungkan bagi warga Tanjung Benoa yang menolak reklamasi. Alih-alih mengukuhkan teluk Benoa sebagai kawasan konservasi, pada 30 Mei 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru menerbitkan Peraturan Presiden nomor 51 tahun 2014 yang mengubah status teluk Benoa menjadi zona pemanfaatan atau budi daya, alias mengizinkan reklamasi.

Artinya, dalam tempo tiga tahun, Presiden telah membuat dua keputusan yang berbeda tentang status teluk Benoa.

Ini seirama dengan dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang secara eksplisit menyebut “Meninjau kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali, NTB, dan NTT untuk mendukung rencana pengembangan pariwisata Bali”.

Bahkan dalam Laporan Perkembangan Pelaksanaan MP3EI yang dimuat di situs KP3EI.go.id, dicantumkan spesifik nama investor PT TWBI.

“Percepatan penerbitan Perda RTRW Kabupaten Badung untuk mengakomodasi investasi PT Tirta Wahana Bali Internasional,” tulis laporan tersebut.
***

Nyoman Karya sedang membersihkan perahunya yang diparkir di tepi teluk Benoa. Air laut setinggi dada membasahi pakaiannya. Ia masih aktif menjadi nelayan meski generasi di bawahya telah bekerja di sektor pariwisata. Ada yang menjadi karyawan hotel, atau jasa wisata bahari.

“Kalau teluk ini diuruk, di mana saya dan kawan-kawan memarkir perahu saya,” tukasnya.

Sementara Made Raram yang duduk di pos jaga tak jauh dari Nyoman, menimpali: “Iya kalau kami diterima bekerja di sana (teluk Benoa pasca-reklamasi). Kalau tidak? Mau kerja apa? Sudah pasti kami akan terusir seperti warga (pulau) Serangan.”

Apa yang pernah terjadi dengan pulau Serangan dan bagaimana sikap warga Lombok Timur mendengar 25 juta meter kubik pasirnya akan diangkut ke teluk Benoa? (bersambung)
Baca juga artikel terkait VIDEO - ARTA atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah

Editor: Taufik Subarkah