Di sebuah gang sempit di Petukangan Utara, Jakarta Selatan, terlihat pemandangan yang cerah dengan hiruk pikuk warga pagi itu. Sejumlah warga tampak membawa tumpukan sampah yang telah dipilah sesuai jenisnya untuk disetorkan ke Bank Sampah Budi Luhur.
Bank Sampah Budi Luhur itu didirikan tahun 2014 yang berawal dari tekad tulus dalam menjaga alam. Di bawah sentuhan tangan dan bimbingan dari pendirinya Umi Tutik Asmawi tempat ini menjadi lebih dari sekadar bank sampah melainkan menjelma menjadi pelita harapan bagi lingkungan di tengah maraknya pencemaran sampah.
Bermula dari warga yang merupakan nasabah setia mengumpulkan sampah-sampah kering nonorganik seperti botol plastik, tutup botol, galon dan kardus, lalu membawanya ke bank sampah tersebut. Setiap bagian limbah yang telah dipilah itu ditimbang dengan teliti dan dihargai Rp1.000 hingga Rp11.000 per kilogramnya sesuai jenis sampahnya. Hasilnya kemudian dicatat dalam buku tabungan sederhana dan dikonversikan menjadi rupiah oleh para petugas bank sampah.
Hingga saat ini bank sampah tersebut telah memiliki nasabah mencapai 4.000 orang. Setidaknya para nasabah bisa mengumpulkan tabungan antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per bulan. Namun, uang bukanlah satu-satunya rezeki yang bisa mereka petik dari jerih payah memilah dan menabung sampah di tempat tersebut. Di balik angka-angka itu, Umi Tutik juga membuat program menarik yaitu menabung sampah menjadi emas, dimana saldo tabungan tersebut akan ditukarkan dengan emas yang disediakan oleh Pegadaian.
Selain memberikan keuntungan dari sisi ekonomi, bank sampah itu juga menularkan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya mengelola sampah. Semuanya itu merupakan pelajaran berharga tentang cinta pada lingkungan. Secara bertahap mereka yang datang ke sana mulai menyadari bahwa setiap sampah plastik, botol kaca, kertas dan sebagainya adalah sebuah tanggung jawab demi lingkungan.
Dalam sebulan, bank sampah itu berhasil mengumpulkan 50-60 ton sampah dari 39 lokasi di Jakarta. Residu yang terkumpul pun tidak dibiarkan sia-sia. Berkat tangan-tangan terampil residu itu mampu diolah menjadi barang kerajinan bernilai tinggi dan bermanfaat, misalnya menjadi jam dinding dan gantungan kunci.
Untuk menjalankan bank sampah itu Umi Tutik dibantu tiga relawan muda dari kalangan mahasiswa yang menjalani tugas mereka dengan penuh semangat dan seorang sopir yang tak hanya mengemudi tetapi juga bekerja serabutan.
Dengan program yang dijalankan melalui bank sampah tersebut ditargetkan mampu meningkatkan minat dan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sampah nonorganik sebagai salah satu sumber pendapatan sekaligus menjaga lingkungan tetap lestari.
Foto dan teks : Rivan Awal Lingga
Editor : Nyoman Budhiana
Bank Sampah Budi Luhur itu didirikan tahun 2014 yang berawal dari tekad tulus dalam menjaga alam. Di bawah sentuhan tangan dan bimbingan dari pendirinya Umi Tutik Asmawi tempat ini menjadi lebih dari sekadar bank sampah melainkan menjelma menjadi pelita harapan bagi lingkungan di tengah maraknya pencemaran sampah.
Bermula dari warga yang merupakan nasabah setia mengumpulkan sampah-sampah kering nonorganik seperti botol plastik, tutup botol, galon dan kardus, lalu membawanya ke bank sampah tersebut. Setiap bagian limbah yang telah dipilah itu ditimbang dengan teliti dan dihargai Rp1.000 hingga Rp11.000 per kilogramnya sesuai jenis sampahnya. Hasilnya kemudian dicatat dalam buku tabungan sederhana dan dikonversikan menjadi rupiah oleh para petugas bank sampah.
Hingga saat ini bank sampah tersebut telah memiliki nasabah mencapai 4.000 orang. Setidaknya para nasabah bisa mengumpulkan tabungan antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per bulan. Namun, uang bukanlah satu-satunya rezeki yang bisa mereka petik dari jerih payah memilah dan menabung sampah di tempat tersebut. Di balik angka-angka itu, Umi Tutik juga membuat program menarik yaitu menabung sampah menjadi emas, dimana saldo tabungan tersebut akan ditukarkan dengan emas yang disediakan oleh Pegadaian.
Selain memberikan keuntungan dari sisi ekonomi, bank sampah itu juga menularkan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya mengelola sampah. Semuanya itu merupakan pelajaran berharga tentang cinta pada lingkungan. Secara bertahap mereka yang datang ke sana mulai menyadari bahwa setiap sampah plastik, botol kaca, kertas dan sebagainya adalah sebuah tanggung jawab demi lingkungan.
Dalam sebulan, bank sampah itu berhasil mengumpulkan 50-60 ton sampah dari 39 lokasi di Jakarta. Residu yang terkumpul pun tidak dibiarkan sia-sia. Berkat tangan-tangan terampil residu itu mampu diolah menjadi barang kerajinan bernilai tinggi dan bermanfaat, misalnya menjadi jam dinding dan gantungan kunci.
Untuk menjalankan bank sampah itu Umi Tutik dibantu tiga relawan muda dari kalangan mahasiswa yang menjalani tugas mereka dengan penuh semangat dan seorang sopir yang tak hanya mengemudi tetapi juga bekerja serabutan.
Dengan program yang dijalankan melalui bank sampah tersebut ditargetkan mampu meningkatkan minat dan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sampah nonorganik sebagai salah satu sumber pendapatan sekaligus menjaga lingkungan tetap lestari.
Foto dan teks : Rivan Awal Lingga
Editor : Nyoman Budhiana