Menuju konten utama
Misbar

Love, Death & Robots, Kian Gelap dan Solid dalam Volume III

Volume Love, Death, and Robots terbaru menghadirkan sembilan cerita yang lebih solid. Kebanyakan, masih berkutat di dunia pascakiamat.

Love, Death & Robots, Kian Gelap dan Solid dalam Volume III
Poster Love, Death + Robots Volume 3. FOTO/IMDB/Netflix

tirto.id - ❤️❌🤖

Tiga simbol itu selalu muncul pada setiap awal episode. Tiga simbol yang bikin bertanya-tanya dan mengantisipasi apa yang bakal disajikan tiap episode Love, Death & Robots.

Serial TV orisinal Netflix ini memang berformat antologi—menampilkan animasi pendek dalam berbagai gaya dan jenis yang ditujukan untuk penonton dewasa. Dikembangkan dan dijalankan oleh sutradara Tim Miller (Deadpool) dan turut diproduseri oleh David Fincher (Seven, Zodiac, dll.), Love, Death & Robots kini telah memasuki volume ketiganya.

Cerita-cerita sci-fi digali untuk diadaptasi dan sisanya ditulis khusus untuk serial ini. Berbagai studio animasi ditunjuk untuk menampilkan cerita dengan gaya mereka sendiri. Selain Blur Studio yang memproduksi bersama Netflix, sejumlah studio lainnya pun dilibatkan—di antaranya Sony Pictures Imageworks, Pinkman. TV, dan Blow Studios yang terus berpartisipasi setiap volume. Dalam volume III ini, Love, Death & Robots ketambahan studio-studio baru, seperti Polygon Pictures, BUCK, and Titmouse, Inc.

Aktor-aktor ternama seperti Mary Elizabeth Winstead, Michael B. Jordan, dan John DiMaggio hadir dalam volume-volume terdahulu. Di volume III ini, kita juga disuguhi nama-nama terkenal yang ambil bagian dalam wujud suara atau kemiripan mereka,seperti Joe Manganiello dan Rosario Dawson.

Para penulis sci-fi, seperti John Scalzi dan Philip Gelatt, telah jadi penulis naskah langganan. Dari bangku sutradara, selain David Fincher yang kini turut menyutradarai salah satu episode, juga kembali hadir Jerome Chen, Alberto Mielgo, dan Tim Miller.

Serial ini kerap disandingkan dengan serial fiksi spekulatif seperti Black Mirror berkat lazimnya dihadirkan tema manusia melawan teknologi. Kendati demikian, ia tak selamanya soal cinta, kematian, dan robot. Bagaimana dengan volume III ini?

1. THREE ROBOTS: EXIT STRATEGIES

Volume III dibuka dengan episode dan karakter yang familier bagi para penonton Love, Death & Robots berkat kehadiran trio robot yang sama dalam volume I.

Ketiga robot ini masih berpelesir di dunia pascaapokalip, menjadi komentator atas pemberontakan robot, kejatuhan peradaban manusia, dan tentunya, kekuasaan kucing. Mereka menyusuri tempat-tempat persembunyian terakhir manusia seperti negara di kilang minyak—yang bisa jadi terinspirasi dari Principality of Sealand, negara mikro yang berdiri di atas kilang minyak di Laut Utara.

Mereka melemparkan kritik pada milyuner teknologi dan manusia pada umumnya, menyoroti 0,01% persen di antaranya yang hijrah ke Mars dan meninggalkan sebagian besarnya untuk binasa di bumi. Ketika salah satu dari mereka mulai terdengar menggurui, maka yang lain akan menegasikan, mengingatkan bahwa kehadiran para robot ini semata untuk mentertawai spesies kita.

2. BAD TRAVELLING

Ada pengkhianatan dua arah (atau pembalasan atas pengkhianatan) dalam kisah Neal Asher yang disutradarai oleh Fincher. Ini adalah drama horor mencekam yang melibatkan kru kapal pemburu jable shark dengan ketam raksasa Thanapod yang berkomunikasi menggunakan jasad manusia yang dibunuhnya.

Tokoh utamanya terlibat dilema, antara memberi tumpangan Thanapod dan terus memberinya makan, menjaga kapal dari pemberontakan para awak, dan melindungi penduduk Phaiden Island yang bakal jadi santapan pesta Thanapod dan anak-anaknya.

Animasi muram, tapi menawan mengiringi tensi di antara para awak yang meningkat seiring pelayaran menuju maut. Tanpa banyak pesan moral yang bisa dipetik, ia menjadi salah satu kisah paling memikat di volume ini.

3. THE VERY PULSE OF THE MACHINE

Kisah survival di planet atau benda langit tak berpenghuni sudah cukup sering diadaptasi ke berbagai medium. Adapun kisah yang diangkat dari cerpen Michael Swanwick ini tampaknya lebih fokus mengeksplorasi soal kesendirian, spirit hidup manusia, dan kematian.

Astronot Martha Kivelson terdampar di Io (salah satu bulan Jupiter) yang berlangit psikadelik dalam animasi 2D indah yang mengingatkan pada karya-karya Moebius. Bantuan tak kunjung datang dan rekannya yang tewas kini berbicara padanya, entah mengeluarkan kutipan atau berpuisi via koneksi radio. Dari radio pula, Kivelson berkomunasi dengan Io yang menggunakan suara rekannya yang tewas.

Segala perenungan kosmik itu barangkali hanyalah halusinasi Kivelson usai mengonsumsi morfin. Namun, ajakan Io terdengar begitu lembut dan tulus. Di saat tiada seorangpun manusia, muncul sosok yang membutuhkan sang astronot sebatang kara. Bukan untuk sekadar menyuruhnya mati, tapi juga berasimilasi dengan sang bulan. Sebuah kisah yang barangkali bisa diinterpretasi ataudirenungkan lebih mendalam.

4. NIGHT OF THE MINI DEAD

Di antara kisah-kisah perenungan dan drama memikat, saya cukup senang mendapati kisah yang lebih sederhana dalam serial ini. Sebagai pelesetan dari Night of the Living Dead, episode ini menampilkan miniatur dunia yang justru memungkinkan kita melihat dari bird view—kalau bukan sudut pandang tuhan.

Dua sejoli bersanggama di pekuburan dan membangkitkan zombie yang kemudian menyulut kiamat zombie. Mereka menyerbu perkotaan hingga kuil shaolin di pegunungan. Bumi di ujung tanduk. Presiden negara adidaya memutuskan untuk melepaskan nuklir. Keputusan itu lantas diikuti pemimpin negara-negara lainnya dan bumi pun hancur. Dan bagai video-video Bill Wurtz, segala malapetaka dahsyat itu hanyalah setara kentut barang sebentar di alam semesta yang luas.

5. KILL TEAM KILL

Simbol tiga tengkorak dengan ciri berbeda pada awal episode memberi petunjuk bahwa hanya akan ada tiga orang yang tersisa (atau mati terakhir) kali ini. Suatu pleton terpisah-pisah dalam sebuah operasi di pegunungan. Mereka digambarkan dalam klise ala Amerika nan badass seperti dalam film-film perang plus humor. Para serdadu mesti menghadapi beruang grizzly hasil rekayasa genetika dalam aksi yang ditampilkan dengan gore di mana darah bermuncratan dan tubuh terpotong-potong.

Tak banyak yang disajikan di samping (lagi-lagi) soal robot atau AI yang kebablasan, kisah manusia melawan ciptaannya sendiri. Kill Team Kill rasanya akan jadi episode yang mudah terlupakan.

6. SWARM

Warna pudar dan gelap mendominasi. Satu-satunya warna cerah berpendar dari tubuh swarm, makhluk nonsentient yang hidup damai di habitatnya di suatu pojok antariksa. Episode ini berbagi gaya animasi (dan studio produksi) yang sama dengan Sonnie's Edge, episode paling pertama Love, Death & Robots.

Sepintas, ia menghadirkan ketenangan dengan membawa kita mengikuti tokoh-tokohnya yang mengambang dan berenang di udara bersama para swarm. Namun, tentu bukan manusia namanya kalau tak hendak mempelajari soal makhluk ini dan kelak mengeksploitasinya.

Episode ini bakal terdengar seperti dokumenter atau ceramah atas arogansi manusia. Lalu, episode ini menampilkan salah satu adegan seks yang esensial demi menampilkan kemiripan manusia dengan makhluk-makhluk lain yang mereka anggap lebih rendah. Ia juga berbagi kesamaan dengan episode Bad Travelling, ketika manusia justru menjadi alat layaknya dalam kisah Alien.

Swarm berakhir dengan ending yang ambigu. Ia barangkali terbuka untuk pembahasan lebih lanjut, atau lebih baik lagi, bersambung ke volume berikutnya serial ini.

7. MASON'S RATS

Skotlandia, suatu waktu pasca-Perang Dunia III. Tikus berevolusi menjadi pengguna senjata yang andal dan berjuangmempertahankan habitat dan sumber daya mereka. Sementara itu, manusia tampaknya belum berkembang terlalu jauh. Salah satunya berkat motif dibangunnya teknologi terbaru sebagai siasat agar kita terus meng-upgrade dan menggunakan versi terkininya—masih seputar bisnis.

Jika itu terdengar terlalu skeptis, di sisi lain, Mason's Rats justru menampilkan manusia dengan nuraninya. Mason sang petani merasakan hari-hari tenteram tatkala sang robot yang dibelinya membasmi para tikus, sampai ia melongok langsung ke dalam lumbungnya yang telah menjadi medan perang.

Kau bisa melihatnya sebagai kerja sama antarmakhluk hidup organik melawan kekuatan artifisial. Kau juga bisa melihatnya sebagai kisah antiperang. Di dunia tempat perang meletus di banyak titik, kita tak pernah benar-benar bisa berempati sampai menyaksikannya langsung kebrutalan dan korban-korban tak berdaya.

Infografik Misbar love death and robots vol III

Infografik Misbar love death and robots vol III. tirto.id/Sabit

8. IN VAULTED HALLS ENTOMBED

Apa benar para serdadu ini tak punya senjata yang lebih efektif untuk membasmi musuh kecil keroyokan? Mengapa mereka tetap terus maju kendati misi menyelamatkan tawanan telah berakhir? Atau, apa sih targetnya? Mengapa mereka tak segera kabur menuju pintu keluar ketika menemukannya?

Lalu, ada jejak-jejak semacam lichen di dinding gua, oh, betapa sering hal ini ditampilkan. Dan barangkali sesuai tebakanmu, sersan dan seorang serdadu perempuan akan terus hidup atau mati terakhir, yang berarti kematian bagi para karakter kurang esensial.

Kisahnya disampaikan dengan penuh klise horor demi kaidah-kaidah sinematik pemantik ketegangan. Setidaknya, apa yang ditemukan pasukan khusus ini cukup mencengangkan, sebuah kuil kuno berukuran masif berisi gergasi berwujud eldritch god(Cthulhu?) menyeramkan tengah terbelenggu rantai-rantai raksasa nun jauh di dalam gua, barangkali akibat kesalahannya di masa lalu.

Ending-nya pun menyisakan serbaneka pertanyaan. Apakah sang serdadu dirasuki? Apakah dia mencongkel matanya sendiri akibat menyaksikan wujud Cthulhu? Entahlah, tampaknya kisah ini akan jauh lebih baik disajikan dalam durasi yang lebih panjang.

9. JIBARO

Sedari mula, Jibaro sudah menampilkan visual menawan. Melihat Jibaro bahkan terasa seperti menyaksikan video klip musik-musik techno, kalau bukan arthouse. Ketika karakternya mulai hadir dan gambar-gambarnya melaju cepat, mudah saja untuk teringat akan episode The Witness pada volume I yang sama-sama diproduksi Pinkman TV dan ditulis serta disutradarai Alberto Mielgo.

Suasana realistis dengan estetika warna vivid berhamburan masih menjadi andalan. Berkat ketiadaan dialog dan bebunyian yang timbul-tenggelam seiring pergerakan perspektif, Jibaro sungguh memberikan pengalaman sinematik yang sangat berkesan. Namun, Jibaro mungkin saja menjadi metafora untuk toxic relationship seperti halnya The Witness berkat pergumulan kisah sang ksatria dengan makhluk air serupa siren. Yang satu tuli, yang lainnya memikat orang-orang untuk menggila dan menebas satu sama lain hingga tewas, dan keduanya tertarik dengan satu sama lain untuk alasan yang keliru.

Dari sisi lain, Jibaro pun bisa dipandang sebagai kritik terhadap kolonialisme di Puerto Rico masa lampau, setting cerita ini. Sosok siren telah tampak sedari mula, tapi ia tak beraksi sampai salah seorang conquistador mendekati telaganya dan mengambil koin emas dari dasarnya.

Ada rasa tak nyaman yang tinggal di balik gemerlap perhiasan, tarian-tarian enerjik siren. Sebuah episode yang jitu untuk menutup volume ini dengan gemilang sekaligus mempertegas Mielgo sebagai sosok yang selalu dinanti karya-karya animasinya.

Volume Paling Solid

Pada akhirnya, tak sampai setengah dari Love, Death & Robots Volume III menyoal robot, apalagi soal cinta. Namun, kematian memang ada dalam seluruh episodenya. Jika pun robot absen, makhluk lain atau bahkan benda langit bisa menggantikannya.

Beberapa di antaranya masih berkisar soal dunia apokalips yang sedang atau telah terjadi, atau memuat kritik terhadap manusia sendiri, dan bagaimana teknologi yang kita bangun akan menyerang balik kelak.

Berkat kemunculan lagi trio robot dalam kelanjutan Three Robots, ia juga menyiratkan bahwa ke depannya bukan tak mungkin akan ada cerita terkait lainnya entah sebagai prekuel atau sekuel.

Ada penceritaan yang kuat juga penggambaran yang teramat impresif. Volume III terasa lebih gelap dan lebih solid berkat keragaman teknik dan gaya animasi ketimbang volume sebelumnya. Ia bahkan bisa dianggap sebagai musim terkuat serial ini—melampaui volume I yang kendati diperkuat sejumlah episode yang berkesan, tapi juga terasa kebanyakan (18 episode) dan tak begitu imbang.

Lumrah saja untuk berekspektasi di volume Love, Death & Robots berikutnya, kita bakal disuguhi cerita-cerita sci-fi dengan penggalian lebih dalam dan spesifik, dengan teknik-teknik animasi terbaru atau pun usang.

Baca juga artikel terkait SERIAL atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi