Yoyo Yogasmana (44) menyalakan lampu senter. Ia meninggalkan rumah dan mulai menapaki jalanan kampung berbatu. Malam itu ia punya tugas penting: memenuhi panggilan warga yang mengeluh pesawat televisinya tak dapat menangkap siaran CIGA TV.
“Ki, Aki.. Punten,” teriaknya sembari membuka pintu rumah seorang warga.
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung masuk dan mengotak-atik saluran televisi. Dari rumah itu ia melanjutkan perjalanan ke rumah lain. Kali ini milik seorang ibu dengan keluhan yang sama.
“Karena sudah memasang parabola, rata-rata warga mencopot antena terestrialnya. Sehingga siaran CIGA TV jadi hilang,” papar Yoyo.
Di tempat terpisah, malam itu Ugi Sugriana Rakasiwi, alias Abah Ugi tengah khusuk memanjatkan doa sembari duduk bersila di kursi kayu berukir. Di hadapannya, sejumlah warga tengah menghadap guna meminta bantuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Ada urusan pribadi, urusan dagang, sampai calon TKI yang meminta restu karena akan berangkat ke Timur Tengah mencari kerja.
“Abah, anak saya baru beli motor mau mulai usaha jualan roti. Mohon doanya,” ucap seorang tua sembari menyerahkan anak ayam sebagai perlambang harapan dalam kehidupan.
Setelah menyelesaikan tugas adatnya, Abah Ugi pindah ke beranda rumah yang suasananya jauh berbeda. Aneka perkakas dan barang elektronik serta permesinan berserakan di sana. Sebuah televisi ukuran 20 inchi tak henti memantau siaran CIGA TV.
CIGA TV adalah siaran televisi komunitas milik masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar di Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat yang bersiaran sejak 2008. Isinya program-program pertanian, aktivitas adat, dan aneka program hiburan, termasuk musik. Sesekali juga ada sinetron, film dokumenter, bahkan film Hollywood. Yoyo Yogasmana ditugaskan Abah Ugi mengelola televisi ini.
“Kapan kelanjutannya ditayangkan, Kang?” tanya seorang pemuda di rumah ketiga yang dikunjungi Yoyo.
Tayangan yang dimaksud adalah dokumentasi kegiatan pemetaan wilayah yang dilakukan sejumlah warga dengan mendatangi tempat-tempat terpencil untuk menentukan batas wilayah dan koordinat kasepuhan yang juga berada di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Yoyo dan krunya yang rata-rata remaja belasan tahun, agak kewalahan menyunting video karena materi yang berlimpah, sementara tayangannya sudah ditunggu-tunggu warga.
Tapi masalah terbesar CIGA TV dan para penontonnya relatif telah terpecahkan, yakni pasokan listrik. Komunitas masyarakat adat yang hidup terpencil di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut itu tak menunggu perusahaan setrum negara untuk memiliki stasiun TV sendiri.
Sejak 1988, pemimpin kasepuhan, almarhum Encup Sucipta alias Abah Anom, telah merintis pembangkit listrik tenaga air dengan menggunakan kincir kayu di kampung Ciptarasa untuk menerangi 55 rumah. Usianya saat itu baru 21 tahun. Ia menggantikan ayahnya, Abah Arjo yang wafat tahun 1982 sebagai pemimpin adat.
Sukses dengan pembangkit pertama, tiga tahun kemudian, Abah Anom mencoba membangun turbin yang lebih besar di kampung Cicemet. Kali ini targetnya agak ambisius: untuk menerangi 6.000 rumah warga kasepuhan dengan kapasitas 30.000 watt. Modalnya adalah debit air yang berlimpah dari berbagai sumber mata air dan sungai di kasepuhan yang hutannya masih terjaga.
Tapi proyek mikrohidro Cicemet hanya bertahan satu tahun karena rusak, akibat beban yang terlalu besar. Tak tinggal diam, memanfaatkan kharisma dan jejaring sosialnya di ibukota, tahun 1996 Abah Anom mendapat dukungan dari kedutaan Jepang untuk memperbaiki turbinnya.
Tahun 1997, dimulailah pembangunan infrastruktur energi listrik di kasepuhan Ciptagelar. Ribuan orang bergotong-royong membangun jaringan tiang dan kabel listrik. Sebuah rekaman video amatir yang masih disimpan CIGA TV menunjukkan barisan warga mengular sepanjang dua kilometer sambil membawa semen, batu, tiang besi, gulungan kabel, dan aneka peralatan. Tak ketinggalan barisan seniman angklung yang terus bernyanyi sepanjang jalan untuk menyemangati ribuan warga yang bekerja.
Mobilisasi umum seperti ini pernah dilakukan Daud Beureueh di Aceh sekitar tahun 1963 ketika membangun saluran irigasi Paya Raof di Pidie yang melibatkan 2.000 warga masyarakat, secara swadaya tanpa dana dari negara.
Tahun 1998, atau tepat 10 tahun sejak proyek mikrohidro mulai digagas Abah Anom, kasepuhan Ciptagelar sanggup memasok listrik hingga 60.000 watt bagi warganya. Sejak itu, pembangunan mikrohidro dilakukan dari kampung ke kampung dalam skala kecil hingga mencapai 10 turbin.
Meski demikian, tak semua warga kasepuhan teraliri listrik. Abah Anom sendiri mangkat pada tahun 2007 dan digantikan anaknya, Abah Ugi yang saat itu masih berusia 22 tahun dan tengah berkuliah di Bandung.
Mendapat tugas adat menggantikan almarhum ayahnya, Abah Ugi pulang kampung dan meninggalkan kuliah, termasuk hobinya bermain band. Tapi alih-alih mendirikan kelompok musik di kampungnya, anak band ini segera melanjutkan proyek energi mandiri di Ciptagelar.
Setahun setelah memimpin, Abah Ugi langsung mendirikan radio dan televisi komunitas bermodal listrik yang telah dirintis sang ayah. Lahirlah CIGA TV yang kini dikelola Yoyo Yogasmana, seniman pertunjukkan kelas dunia yang sejak 2007 memutuskan menetap di Ciptagelar.
Tahun 2011 Abah Ugi yang hobi elektronika dan mekanik ini, membuat turbin sendiri dengan kapasitas 9.750 watt untuk kampung Sukamulya, yang berjarak dua kilometer dari pusat kasepuhan. Adapun generator, panel instalasi, saluran air sepanjang 430 meter, dan pipa sepanjang 87 meter, dibantu sebuah perusahaan otomotif yang melakukan kegiatan sosial di Ciptagelar.
Ia memanfaatkan sungai Cibarengkok yang mampu menyediakan 200 liter per detik untuk menggerakkan turbin dan generator. Dari sana energi listrik dialirkan ke rumah-rumah warga.
“Total biaya untuk pembangunan ini sekitar 100 juta rupiah. Tapi bisa kami gunakan untuk jangka waktu yang lama. Jadi ini sumber energi yang murah,” terang Abah Ugi sembari menunjukkan saluran air proyek Sukamulya.
Hasilnya, sejak 2011, kasepuhan Ciptagelar punya tambahan pasokan 5.000 watt di musim kemarau, dan 8.000 watt di musim penghujan untuk warga di kampung Sukamulya. Daya listrik sebesar itu cukup untuk menerangi 66 rumah yang rata-rata memiliki tiga lampu jenis LED dan satu pesawat televisi.
“Setiap bulan kami hanya bayar iuran 28.000 ribu rupiah. Kalau ke PLN, mungkin lebih mahal, seperti warga di kampung lain,” tutur seorang ibu yang rumahnya didatangi Yoyo malam itu.
Biaya itu untuk pemeliharaan generator, rumah pembangkit, suku cadang dan turbin yang usianya ditaksir mampu bertahan hingga 20 tahun.
Kini, dari sekitar 6.000 kepala keluarga kasepuhan Ciptagelar, sudah 1.500 rumah atau sekitar 25 persen yang teraliri listrik mikrohidro.
“Kami ini jauh dari kota. Jadi harus punya listrik sendiri. Kami ingin membantu warga yang ada di kota yang penduduknya banyak. Kalau listriknya kami ambil, nanti mereka tidak kebagian,” kata Abah Ugi.
Dengan hadirnya mikrohidro, warga juga termotivasi menjaga hutan yang memasok air. Sebab hutan itulah yang membuat listrik di rumahnya tetap menyala dan dapat menikmati program favorit di CIGA TV.
Kini di sela-sela aktivitas adatnya melayani warga, Abah Ugi tengah mengembangkan budidaya kopi khas Ciptagelar yang proses pengeringannya menggunakan kipas yang digerakkan energi matahari.
“Ki, Aki.. Punten,” teriaknya sembari membuka pintu rumah seorang warga.
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung masuk dan mengotak-atik saluran televisi. Dari rumah itu ia melanjutkan perjalanan ke rumah lain. Kali ini milik seorang ibu dengan keluhan yang sama.
“Karena sudah memasang parabola, rata-rata warga mencopot antena terestrialnya. Sehingga siaran CIGA TV jadi hilang,” papar Yoyo.
Di tempat terpisah, malam itu Ugi Sugriana Rakasiwi, alias Abah Ugi tengah khusuk memanjatkan doa sembari duduk bersila di kursi kayu berukir. Di hadapannya, sejumlah warga tengah menghadap guna meminta bantuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Ada urusan pribadi, urusan dagang, sampai calon TKI yang meminta restu karena akan berangkat ke Timur Tengah mencari kerja.
“Abah, anak saya baru beli motor mau mulai usaha jualan roti. Mohon doanya,” ucap seorang tua sembari menyerahkan anak ayam sebagai perlambang harapan dalam kehidupan.
Setelah menyelesaikan tugas adatnya, Abah Ugi pindah ke beranda rumah yang suasananya jauh berbeda. Aneka perkakas dan barang elektronik serta permesinan berserakan di sana. Sebuah televisi ukuran 20 inchi tak henti memantau siaran CIGA TV.
CIGA TV adalah siaran televisi komunitas milik masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar di Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat yang bersiaran sejak 2008. Isinya program-program pertanian, aktivitas adat, dan aneka program hiburan, termasuk musik. Sesekali juga ada sinetron, film dokumenter, bahkan film Hollywood. Yoyo Yogasmana ditugaskan Abah Ugi mengelola televisi ini.
“Kapan kelanjutannya ditayangkan, Kang?” tanya seorang pemuda di rumah ketiga yang dikunjungi Yoyo.
Tayangan yang dimaksud adalah dokumentasi kegiatan pemetaan wilayah yang dilakukan sejumlah warga dengan mendatangi tempat-tempat terpencil untuk menentukan batas wilayah dan koordinat kasepuhan yang juga berada di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Yoyo dan krunya yang rata-rata remaja belasan tahun, agak kewalahan menyunting video karena materi yang berlimpah, sementara tayangannya sudah ditunggu-tunggu warga.
Tapi masalah terbesar CIGA TV dan para penontonnya relatif telah terpecahkan, yakni pasokan listrik. Komunitas masyarakat adat yang hidup terpencil di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut itu tak menunggu perusahaan setrum negara untuk memiliki stasiun TV sendiri.
Sejak 1988, pemimpin kasepuhan, almarhum Encup Sucipta alias Abah Anom, telah merintis pembangkit listrik tenaga air dengan menggunakan kincir kayu di kampung Ciptarasa untuk menerangi 55 rumah. Usianya saat itu baru 21 tahun. Ia menggantikan ayahnya, Abah Arjo yang wafat tahun 1982 sebagai pemimpin adat.
Sukses dengan pembangkit pertama, tiga tahun kemudian, Abah Anom mencoba membangun turbin yang lebih besar di kampung Cicemet. Kali ini targetnya agak ambisius: untuk menerangi 6.000 rumah warga kasepuhan dengan kapasitas 30.000 watt. Modalnya adalah debit air yang berlimpah dari berbagai sumber mata air dan sungai di kasepuhan yang hutannya masih terjaga.
Tapi proyek mikrohidro Cicemet hanya bertahan satu tahun karena rusak, akibat beban yang terlalu besar. Tak tinggal diam, memanfaatkan kharisma dan jejaring sosialnya di ibukota, tahun 1996 Abah Anom mendapat dukungan dari kedutaan Jepang untuk memperbaiki turbinnya.
Tahun 1997, dimulailah pembangunan infrastruktur energi listrik di kasepuhan Ciptagelar. Ribuan orang bergotong-royong membangun jaringan tiang dan kabel listrik. Sebuah rekaman video amatir yang masih disimpan CIGA TV menunjukkan barisan warga mengular sepanjang dua kilometer sambil membawa semen, batu, tiang besi, gulungan kabel, dan aneka peralatan. Tak ketinggalan barisan seniman angklung yang terus bernyanyi sepanjang jalan untuk menyemangati ribuan warga yang bekerja.
Mobilisasi umum seperti ini pernah dilakukan Daud Beureueh di Aceh sekitar tahun 1963 ketika membangun saluran irigasi Paya Raof di Pidie yang melibatkan 2.000 warga masyarakat, secara swadaya tanpa dana dari negara.
Tahun 1998, atau tepat 10 tahun sejak proyek mikrohidro mulai digagas Abah Anom, kasepuhan Ciptagelar sanggup memasok listrik hingga 60.000 watt bagi warganya. Sejak itu, pembangunan mikrohidro dilakukan dari kampung ke kampung dalam skala kecil hingga mencapai 10 turbin.
Meski demikian, tak semua warga kasepuhan teraliri listrik. Abah Anom sendiri mangkat pada tahun 2007 dan digantikan anaknya, Abah Ugi yang saat itu masih berusia 22 tahun dan tengah berkuliah di Bandung.
Mendapat tugas adat menggantikan almarhum ayahnya, Abah Ugi pulang kampung dan meninggalkan kuliah, termasuk hobinya bermain band. Tapi alih-alih mendirikan kelompok musik di kampungnya, anak band ini segera melanjutkan proyek energi mandiri di Ciptagelar.
Setahun setelah memimpin, Abah Ugi langsung mendirikan radio dan televisi komunitas bermodal listrik yang telah dirintis sang ayah. Lahirlah CIGA TV yang kini dikelola Yoyo Yogasmana, seniman pertunjukkan kelas dunia yang sejak 2007 memutuskan menetap di Ciptagelar.
Tahun 2011 Abah Ugi yang hobi elektronika dan mekanik ini, membuat turbin sendiri dengan kapasitas 9.750 watt untuk kampung Sukamulya, yang berjarak dua kilometer dari pusat kasepuhan. Adapun generator, panel instalasi, saluran air sepanjang 430 meter, dan pipa sepanjang 87 meter, dibantu sebuah perusahaan otomotif yang melakukan kegiatan sosial di Ciptagelar.
Ia memanfaatkan sungai Cibarengkok yang mampu menyediakan 200 liter per detik untuk menggerakkan turbin dan generator. Dari sana energi listrik dialirkan ke rumah-rumah warga.
“Total biaya untuk pembangunan ini sekitar 100 juta rupiah. Tapi bisa kami gunakan untuk jangka waktu yang lama. Jadi ini sumber energi yang murah,” terang Abah Ugi sembari menunjukkan saluran air proyek Sukamulya.
Hasilnya, sejak 2011, kasepuhan Ciptagelar punya tambahan pasokan 5.000 watt di musim kemarau, dan 8.000 watt di musim penghujan untuk warga di kampung Sukamulya. Daya listrik sebesar itu cukup untuk menerangi 66 rumah yang rata-rata memiliki tiga lampu jenis LED dan satu pesawat televisi.
“Setiap bulan kami hanya bayar iuran 28.000 ribu rupiah. Kalau ke PLN, mungkin lebih mahal, seperti warga di kampung lain,” tutur seorang ibu yang rumahnya didatangi Yoyo malam itu.
Biaya itu untuk pemeliharaan generator, rumah pembangkit, suku cadang dan turbin yang usianya ditaksir mampu bertahan hingga 20 tahun.
Kini, dari sekitar 6.000 kepala keluarga kasepuhan Ciptagelar, sudah 1.500 rumah atau sekitar 25 persen yang teraliri listrik mikrohidro.
“Kami ini jauh dari kota. Jadi harus punya listrik sendiri. Kami ingin membantu warga yang ada di kota yang penduduknya banyak. Kalau listriknya kami ambil, nanti mereka tidak kebagian,” kata Abah Ugi.
Dengan hadirnya mikrohidro, warga juga termotivasi menjaga hutan yang memasok air. Sebab hutan itulah yang membuat listrik di rumahnya tetap menyala dan dapat menikmati program favorit di CIGA TV.
Kini di sela-sela aktivitas adatnya melayani warga, Abah Ugi tengah mengembangkan budidaya kopi khas Ciptagelar yang proses pengeringannya menggunakan kipas yang digerakkan energi matahari.
***