Setelah batal ke Taman Nasional Ujung Kulon, kami putuskan langsung ke Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi. Salah satu pintu masuknya dari Pelabuhan Ratu.
“Kalau mau ke Pelabuhan Ratu, jangan lewat Malingping. Jalannya parah. Sedang ada perbaikan, dan macet. Lewat Sampay saja,” kata seorang distributor rokok, tetangga kamar satu losmen di Pandeglang.
Informasinya tentang jalanan tentu tak diragukan, karena setiap hari ia hidup di jalan. Kami mengangguk dan berterima kasih. Tapi kami tetap mengambil rute Malingping karena memang ingin mengetahui kondisi infrastruktur di Banten, setelah berpisah dengan Jawa Barat sejak tahun 2000. Juga karena gubernur dan handai taulannya dijebloskan ke penjara.
Inilah provinsi pertama di Indonesia hasil ‘pemekaran’. Istilah birokrasi yang sulit dipahami.
Sebab, faktanya, sama sekali tak ada wilayah yang mekar. Jawa Barat menjadi lebih kecil, sedangkan Banten hanya seluas bekas Jawa Barat. Satu-satunya yang mekar adalah jumlah kursi gubernur, bupati, walikota, DPRD, kapolda, kapolres, atau dandim.
Melihat Banten secara umum dari atas motor dan sambil lalu, adalah gambaran bahwa ‘pemekaran’ tak serta-merta segaris lurus dengan perbaikan infrastruktur. Banyak ruas jalan yang terlihat baru dan mulus, tapi lebih banyak yang tak bersahabat, meski menghubungkan antar-kabupaten. Tapi sejak 2012, pemerintah Banten telah bertekad menggenjot pembangunan infrastruktur dengan mengalokasikan dana hingga Rp1,1 triliun untuk tujuh ruas jalan.
Jalan menuju Kecamatan Malingping (Kabupaten Lebak) memang sedang diperbaiki. Antrean kendaraan memanjang karena bergantian melintasi satu sisi ruas yang dibuka. Sisi ruas yang lain sedang dibeton. Ini adalah jalan provinsi sepanjang 45 kilometer yang menghubungkan Kecamatan Saketi (Pandeglang) dan Malingping (Lebak) dengan dana APBD sebesar Rp305 miliar.
Di tempat lain, dalam perjalanan kami kelak, dana sebesar itu hanya menjadi sebuah monumen yang mencontek Arc de Triomphe di Paris.
MPE3I
Karena menghubungkan wilayah padat penduduk, perbaikan infrastruktur jalan dengan beton setebal 27 centimeter ini akan berdampak signifikan pada aktivitas ekonomi di wilayah Banten selatan. Inilah bentuk dukungan Banten pada gagasan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) warisan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Konsepnya, pusat pertumbuhan harus dibangun di sebanyak mungkin titik agar merembes ke daerah-daerah di sekitarnya yang menjadi penyangga. Pusat pertumbuhan itu tak lain adalah investasi dalam kegiatan produksi skala industri.
Bila pantai utara (pantura) Jawa ditetapkan sebagai koridor MP3EI, maka semua sektor harus terintegrasi. Jika ada pabrik semen hendak dibangun, maka Perhutani perlu mendukung dengan tukar guling lahan, bank plat merah membantu kredit, pertanian masyarakat harus mengalah, polisi dan tentara harus berjaga. Bahkan bendungan yang 30 tahun lalu dibangun dengan menggusur kampung demi mengairi sawah, tak lagi relevan karena sawahnya akan menjadi areal industri semen.
Gambaran utuh tentang situasi ini akan kami temukan kelak dalam perjalanan mengunjungi komunitas Sedulur Sikep atau pengikut Samin di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Lalu mengapa di utara dan bukan di selatan Jawa yang relatif belum terbangun?
Jawabannya mudah: sebab di utara Jawa segalanya sudah ada. Seperti jalan raya dan suplai batu bara langsung dari Kalimantan. Batu bara berarti jaminan bahan baku dan pasokan listrik. Jalan raya berarti mobilitas distribusi barang dan pemasaran yang lebih mudah dan murah. Lebih dekat dengan konsumen dan pasar.
Maka realitas bahwa pantura Jawa juga lumbung beras seperti jargon Kabupaten Pati: Bumi Mina Tani, bisa diabaikan.
Inilah konsep pusat pertumbuhan berbasis investasi dan industri. Sedangkan sisi selatan Jawa akan menyediakan tenaga kerja dan logistik. Dengan begitu, akan terdampak rembesan MP3EI.
Paradigma ini bukan barang baru. Sejak Orde Baru, asumsi pembangunan ‘menetes ke bawah’ (trickle-down effect) telah dilakukan dan berujung pada berkembangnya konglomerasi, pengkerdilan ekonomi berbasis masyarakat atau koperasi, hutang luar negeri, konversi lahan pertanian produktif, deforestasi, bencana alam, malpraktik perbankan, dan akhirnya krisis ekonomi 1997-1998.
Menjelang sore, kami sampai di Kecamatan Bayah, masih wilayah Kabupaten Lebak, di mana sedang bergemuruh pembangunan pabrik semen Merah Putih berkapasitas empat juta ton per tahun yang dikendalikan PT Cemindo Gemilang. Cemindo adalah bagian dari Ganda Group, milik pengusaha Ganda Sitorus. Ganda adalah saudara Martua Sitorus, salah satu pendiri Wilmar International, produsen minyak goreng (kelapa sawit) yang disebut-sebut terbesar di dunia dan tercatat di bursa saham Singapura.
Benang merah antara pembangunan ruas jalan Saketi-Malingping berbiaya Rp305 miliar (publik) dan kehadiran pabrik semen (privat) mulai terasa. Inilah bentuk dukungan pada MP3EI. Bahwa masyarakat akan ikut menikmati ruas jalan baru dan mulus, memang tak terhindarkan.
Sama seperti kita menikmati hadirnya jalan raya Daendels sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer ke Panarukan, dari Banten ke Jawa Timur, meski semula dimaksudkan sebagai infrastruktur militer. Atau menikmati rel kereta api di Jawa bekas jalur pengangkutan gula dan tebu di masa Hindia Belanda. Juga rel di Sumatra Barat bekas memboyong batu bara dari Sawahlunto ke Teluk Bayur atau Pekanbaru.
Bila di sisi barat ada jalan Saketi-Malingping yang akan menjadi salah satu jalur distribusi semen (privat), di sisi timur ada batu bara yang dibakar di tungku PLTU Pelabuhan Ratu (publik) yang akan memasok listriknya.
Pabrik (privat) yang dibangun di atas lahan 500 hektar itu menelan biaya sekitar Rp6 triliun yang 70 persennya dibiayai oleh sindikasi kredit BNI bersama BRI (publik).
Relasi investasi publik dalam bentuk infrastruktur dan pembiayaan, serta sektor privat, tergambar dalam perjalanan sekitar delapan jam dari Pandeglang menuju Pelabuhan Ratu. Inilah pola umum konsep pembangunan yang akan banyak kami temui nanti. Situasi yang tak membuat antusias ketika pemerintah dengan heroik mengumumkan pengalihan subsidi BBM untuk membangun infrastruktur.
Tentu ada efek domino seperti terciptanya lapangan kerja yang juga menjadi tugas negara. Tapi konsep ‘ketersediaan lapangan kerja’ yang terlalu bias sektor industri manufaktur dibanding, misalnya, pertanian lahan produktif, juga menimbulkan persoalan baru. Persoalan keberpihakan dan visi yang lebih berjangka panjang.
Hari telah merambat petang saat kami tiba di perbatasan provinsi Banten dan Jawa Barat. Perbatasan antara Kabupaten Lebak dan Kabupaten Sukabumi. Perbatasan antara Kecamatan Cilograng dan Cisolok. Di titik batas itu, kualitas aspalnya bak bumi dan langit. Bopeng dan bergelombang di sisi Banten, lalu mulus dan rapi di sisi Jawa Barat.
Melihat ini, kami punya dua dugaan: Jawa Barat menghaluskan jalan untuk mengirim pesan: “siapa suruh jadi provinsi sendiri”. Atau Banten membiarkan kodisi jalannya dengan pesan: “seperti inilah dulu kami pernah di-anaktiri-kan”.
Adzan maghrib berkumandang di kejauhan. Kami duduk di ketinggian menghadap PLTU Pelabuhan Ratu sembari menikmati mi instan dan kopi. Besok, kami akan naik di ketinggian 1.100 meter menuju negeri para leluhur: Kasepuhan Ciptagelar. (bersambung)
“Kalau mau ke Pelabuhan Ratu, jangan lewat Malingping. Jalannya parah. Sedang ada perbaikan, dan macet. Lewat Sampay saja,” kata seorang distributor rokok, tetangga kamar satu losmen di Pandeglang.
Informasinya tentang jalanan tentu tak diragukan, karena setiap hari ia hidup di jalan. Kami mengangguk dan berterima kasih. Tapi kami tetap mengambil rute Malingping karena memang ingin mengetahui kondisi infrastruktur di Banten, setelah berpisah dengan Jawa Barat sejak tahun 2000. Juga karena gubernur dan handai taulannya dijebloskan ke penjara.
Inilah provinsi pertama di Indonesia hasil ‘pemekaran’. Istilah birokrasi yang sulit dipahami.
Sebab, faktanya, sama sekali tak ada wilayah yang mekar. Jawa Barat menjadi lebih kecil, sedangkan Banten hanya seluas bekas Jawa Barat. Satu-satunya yang mekar adalah jumlah kursi gubernur, bupati, walikota, DPRD, kapolda, kapolres, atau dandim.
Melihat Banten secara umum dari atas motor dan sambil lalu, adalah gambaran bahwa ‘pemekaran’ tak serta-merta segaris lurus dengan perbaikan infrastruktur. Banyak ruas jalan yang terlihat baru dan mulus, tapi lebih banyak yang tak bersahabat, meski menghubungkan antar-kabupaten. Tapi sejak 2012, pemerintah Banten telah bertekad menggenjot pembangunan infrastruktur dengan mengalokasikan dana hingga Rp1,1 triliun untuk tujuh ruas jalan.
Jalan menuju Kecamatan Malingping (Kabupaten Lebak) memang sedang diperbaiki. Antrean kendaraan memanjang karena bergantian melintasi satu sisi ruas yang dibuka. Sisi ruas yang lain sedang dibeton. Ini adalah jalan provinsi sepanjang 45 kilometer yang menghubungkan Kecamatan Saketi (Pandeglang) dan Malingping (Lebak) dengan dana APBD sebesar Rp305 miliar.
Di tempat lain, dalam perjalanan kami kelak, dana sebesar itu hanya menjadi sebuah monumen yang mencontek Arc de Triomphe di Paris.
MPE3I
Karena menghubungkan wilayah padat penduduk, perbaikan infrastruktur jalan dengan beton setebal 27 centimeter ini akan berdampak signifikan pada aktivitas ekonomi di wilayah Banten selatan. Inilah bentuk dukungan Banten pada gagasan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) warisan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Konsepnya, pusat pertumbuhan harus dibangun di sebanyak mungkin titik agar merembes ke daerah-daerah di sekitarnya yang menjadi penyangga. Pusat pertumbuhan itu tak lain adalah investasi dalam kegiatan produksi skala industri.
Bila pantai utara (pantura) Jawa ditetapkan sebagai koridor MP3EI, maka semua sektor harus terintegrasi. Jika ada pabrik semen hendak dibangun, maka Perhutani perlu mendukung dengan tukar guling lahan, bank plat merah membantu kredit, pertanian masyarakat harus mengalah, polisi dan tentara harus berjaga. Bahkan bendungan yang 30 tahun lalu dibangun dengan menggusur kampung demi mengairi sawah, tak lagi relevan karena sawahnya akan menjadi areal industri semen.
Gambaran utuh tentang situasi ini akan kami temukan kelak dalam perjalanan mengunjungi komunitas Sedulur Sikep atau pengikut Samin di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Lalu mengapa di utara dan bukan di selatan Jawa yang relatif belum terbangun?
Jawabannya mudah: sebab di utara Jawa segalanya sudah ada. Seperti jalan raya dan suplai batu bara langsung dari Kalimantan. Batu bara berarti jaminan bahan baku dan pasokan listrik. Jalan raya berarti mobilitas distribusi barang dan pemasaran yang lebih mudah dan murah. Lebih dekat dengan konsumen dan pasar.
Maka realitas bahwa pantura Jawa juga lumbung beras seperti jargon Kabupaten Pati: Bumi Mina Tani, bisa diabaikan.
Inilah konsep pusat pertumbuhan berbasis investasi dan industri. Sedangkan sisi selatan Jawa akan menyediakan tenaga kerja dan logistik. Dengan begitu, akan terdampak rembesan MP3EI.
Paradigma ini bukan barang baru. Sejak Orde Baru, asumsi pembangunan ‘menetes ke bawah’ (trickle-down effect) telah dilakukan dan berujung pada berkembangnya konglomerasi, pengkerdilan ekonomi berbasis masyarakat atau koperasi, hutang luar negeri, konversi lahan pertanian produktif, deforestasi, bencana alam, malpraktik perbankan, dan akhirnya krisis ekonomi 1997-1998.
Menjelang sore, kami sampai di Kecamatan Bayah, masih wilayah Kabupaten Lebak, di mana sedang bergemuruh pembangunan pabrik semen Merah Putih berkapasitas empat juta ton per tahun yang dikendalikan PT Cemindo Gemilang. Cemindo adalah bagian dari Ganda Group, milik pengusaha Ganda Sitorus. Ganda adalah saudara Martua Sitorus, salah satu pendiri Wilmar International, produsen minyak goreng (kelapa sawit) yang disebut-sebut terbesar di dunia dan tercatat di bursa saham Singapura.
Benang merah antara pembangunan ruas jalan Saketi-Malingping berbiaya Rp305 miliar (publik) dan kehadiran pabrik semen (privat) mulai terasa. Inilah bentuk dukungan pada MP3EI. Bahwa masyarakat akan ikut menikmati ruas jalan baru dan mulus, memang tak terhindarkan.
Sama seperti kita menikmati hadirnya jalan raya Daendels sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer ke Panarukan, dari Banten ke Jawa Timur, meski semula dimaksudkan sebagai infrastruktur militer. Atau menikmati rel kereta api di Jawa bekas jalur pengangkutan gula dan tebu di masa Hindia Belanda. Juga rel di Sumatra Barat bekas memboyong batu bara dari Sawahlunto ke Teluk Bayur atau Pekanbaru.
Bila di sisi barat ada jalan Saketi-Malingping yang akan menjadi salah satu jalur distribusi semen (privat), di sisi timur ada batu bara yang dibakar di tungku PLTU Pelabuhan Ratu (publik) yang akan memasok listriknya.
Pabrik (privat) yang dibangun di atas lahan 500 hektar itu menelan biaya sekitar Rp6 triliun yang 70 persennya dibiayai oleh sindikasi kredit BNI bersama BRI (publik).
Relasi investasi publik dalam bentuk infrastruktur dan pembiayaan, serta sektor privat, tergambar dalam perjalanan sekitar delapan jam dari Pandeglang menuju Pelabuhan Ratu. Inilah pola umum konsep pembangunan yang akan banyak kami temui nanti. Situasi yang tak membuat antusias ketika pemerintah dengan heroik mengumumkan pengalihan subsidi BBM untuk membangun infrastruktur.
Tentu ada efek domino seperti terciptanya lapangan kerja yang juga menjadi tugas negara. Tapi konsep ‘ketersediaan lapangan kerja’ yang terlalu bias sektor industri manufaktur dibanding, misalnya, pertanian lahan produktif, juga menimbulkan persoalan baru. Persoalan keberpihakan dan visi yang lebih berjangka panjang.
Hari telah merambat petang saat kami tiba di perbatasan provinsi Banten dan Jawa Barat. Perbatasan antara Kabupaten Lebak dan Kabupaten Sukabumi. Perbatasan antara Kecamatan Cilograng dan Cisolok. Di titik batas itu, kualitas aspalnya bak bumi dan langit. Bopeng dan bergelombang di sisi Banten, lalu mulus dan rapi di sisi Jawa Barat.
Melihat ini, kami punya dua dugaan: Jawa Barat menghaluskan jalan untuk mengirim pesan: “siapa suruh jadi provinsi sendiri”. Atau Banten membiarkan kodisi jalannya dengan pesan: “seperti inilah dulu kami pernah di-anaktiri-kan”.
Adzan maghrib berkumandang di kejauhan. Kami duduk di ketinggian menghadap PLTU Pelabuhan Ratu sembari menikmati mi instan dan kopi. Besok, kami akan naik di ketinggian 1.100 meter menuju negeri para leluhur: Kasepuhan Ciptagelar. (bersambung)
Baca juga artikel terkait VIDEO - ARTA atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah
Editor: Taufik Subarkah