The Flowers adalah perwujudan spirit umur adalah angka. Berdiri sejak era 1990-an yang dekaden, grup band ini sudah melewati banyak hal: pesta paling liar, konser dan tur yang berkabut di ingatan, album terjual habis, membuka konser band internasional, hingga personel sekaligus karib erat meninggal.
Melewati semuanya, mereka menolak tunduk dan bubar. Dengan segala daya dan upaya, duo yang tersisa, Boris Simanjuntak dan Njet Barmansyah menghidupkan lagi Flowers serupa Lazarus dalam Perjanjian Baru.
Sejak beberapa tahun terakhir, mereka tampil solid sebagai sextuplet. Boris menjadi satu-satunya pemain gitar, Njet masih kuat di departemen vokal, Dado Darmawan jaga gawang ritme bedug Inggris, Eugene Bounty memainkan saksofon, Vian Oktaviansyah menjadi pemain bass, dan Citra Alifia Warnerin menjadi vokal dua.
Dengan formasi ini, mereka berhasil menjala penggemar-penggemar baru yang usianya lebih muda. Kalau kamu menonton gigs The Flowers, akan terlihat banyak penonton yang mungkin belum lahir ketika album perdana mereka, 17 th Ke Atas (1997) dirilis. Dua album berikutnya, Still Alive and Well (2009) dan Roda-Roda Gila (2019) adalah album yang masih punya karakter kuat Flowers, sekaligus menunjukkan mereka masih bisa bikin karya yang mencengkram di kepala.
Hasilnya adalah anthem-anthem baru, “Rajawali” dari Still Alive and Well menjelma jadi lagu favorit para penonton, terutama bait oleng ke kiri dan aku oleng ke kanan, diikuti oleh gerakan sesuai lirik. Dari album ketiga mereka, “Roda-Roda Gila” juga menjadi pemanas panggung yang tak pernah gagal membuat penonton berteriak kencang, sedangkan “Biarkan Tuhan Ikut Bernyanyi” akan memancing koor massal.
Menurut saya, The Flowers adalah satu dari sedikit band era 90-an yang berhasil melarikan diri dari jebakan band nostalgia. Keputusan untuk tidak mencari gitaris pengganti setelah Andy “Cole” Sultan Saleh meninggal, adalah sebuah keputusan berani. Dan menambah pemain saksofon dalam line up band adalah keputusan brilian.
Saya sempat bertanya pada Boris, kenapa The Flowers tak memakai dua gitar lagi?“Karena kami ingin mencoba format baru, tak mau terjebak dengan yang sudah pernah kami lakukan,” katanya.
Ini dia spiritnya! Band yang terus menjelajah teritori baru, mencari bentuk musikal paling cocok sesuai kondisi dan zaman, dan mau mendobrak semua kemapanan. Tentu tak ada keajaiban di sini, yang ada hanyalah kerja keras dan ketangguhan melewati semua keruwetan dalam kehidupan anak band. Toh mereka adalah segerombolan orang yang punya motto, “kami berpesta walau hati berduka”.
Jadi, dengan senang dan bangga, Arisan Tirto mempersembahkan: The Flowers!
Melewati semuanya, mereka menolak tunduk dan bubar. Dengan segala daya dan upaya, duo yang tersisa, Boris Simanjuntak dan Njet Barmansyah menghidupkan lagi Flowers serupa Lazarus dalam Perjanjian Baru.
Sejak beberapa tahun terakhir, mereka tampil solid sebagai sextuplet. Boris menjadi satu-satunya pemain gitar, Njet masih kuat di departemen vokal, Dado Darmawan jaga gawang ritme bedug Inggris, Eugene Bounty memainkan saksofon, Vian Oktaviansyah menjadi pemain bass, dan Citra Alifia Warnerin menjadi vokal dua.
Dengan formasi ini, mereka berhasil menjala penggemar-penggemar baru yang usianya lebih muda. Kalau kamu menonton gigs The Flowers, akan terlihat banyak penonton yang mungkin belum lahir ketika album perdana mereka, 17 th Ke Atas (1997) dirilis. Dua album berikutnya, Still Alive and Well (2009) dan Roda-Roda Gila (2019) adalah album yang masih punya karakter kuat Flowers, sekaligus menunjukkan mereka masih bisa bikin karya yang mencengkram di kepala.
Hasilnya adalah anthem-anthem baru, “Rajawali” dari Still Alive and Well menjelma jadi lagu favorit para penonton, terutama bait oleng ke kiri dan aku oleng ke kanan, diikuti oleh gerakan sesuai lirik. Dari album ketiga mereka, “Roda-Roda Gila” juga menjadi pemanas panggung yang tak pernah gagal membuat penonton berteriak kencang, sedangkan “Biarkan Tuhan Ikut Bernyanyi” akan memancing koor massal.
Menurut saya, The Flowers adalah satu dari sedikit band era 90-an yang berhasil melarikan diri dari jebakan band nostalgia. Keputusan untuk tidak mencari gitaris pengganti setelah Andy “Cole” Sultan Saleh meninggal, adalah sebuah keputusan berani. Dan menambah pemain saksofon dalam line up band adalah keputusan brilian.
Saya sempat bertanya pada Boris, kenapa The Flowers tak memakai dua gitar lagi?“Karena kami ingin mencoba format baru, tak mau terjebak dengan yang sudah pernah kami lakukan,” katanya.
Ini dia spiritnya! Band yang terus menjelajah teritori baru, mencari bentuk musikal paling cocok sesuai kondisi dan zaman, dan mau mendobrak semua kemapanan. Tentu tak ada keajaiban di sini, yang ada hanyalah kerja keras dan ketangguhan melewati semua keruwetan dalam kehidupan anak band. Toh mereka adalah segerombolan orang yang punya motto, “kami berpesta walau hati berduka”.
Jadi, dengan senang dan bangga, Arisan Tirto mempersembahkan: The Flowers!