Menuju konten utama

Urang Kanekes

Urang Kanekes dibedakan secara garis besar menjadi Urang Tangtu (Baduy Dalam) dan Urang Panamping (Baduy Luar). Mereka dapat dikenali dari warna pakaian atau ikat kepala.

Urang Kanekes
Keluarga Sapri (49) memiliki delapan anak. Aldi yang tertua berusia 25 tahun, dan Maang, si bungsu yang baru berusia tiga tahun. Namun yang paling kerap terekam kamera Ekspedisi Indonesia Biru adalah Komong (8), anak keenam.

Keluarga ini berusaha hidup dengan mempertahankan adat dan apa yang mereka yakini. Salah satunya ihwal larangan penggunaan sabun, pasta gigi, dan sampo buatan pabrik. Mereka mempertahankan pengetahuan pemanfaatan tanaman-tanaman lokal seperti daun cicaang atau honje (Etlingera elatior) untuk sabun dan sampo, serta sabut kelapa untuk gosok gigi. Pantangan ini terutama berlaku di dalam kampung Baduy Dalam seperti Cibeo. Namun di sekitar ladang mereka, misalnya, tim ekspedisi melihat pasta gigi dan sampo ukuran saset diselipkan di sela-sela bambu, dekat pancuran air.

Tapi secara umum, Komong yang baru berusia delapan tahun, tampak tak canggung menumbuk cicaang dan honje untuk membersihkan badan. Tanda bahwa ia masih terbiasa menggunakannya, dan kearifan yang tidak mencemari sumber mata air dan sungai ini diturunkan dari generasi ke generasi.

Wilayah adat Baduy mencapai 5.100 hektare yang sebagian besar berupa hutan dan ladang. Secara historis, sejatinya mereka lebih tepat disebut Urang Kanekes yang diperkirakan telah mendiami kawasan ini sejak abad ke-5 atau seratus tahun sebelum Muhammad. Karena itu desa di mana mereka hidup, secara administrasi disebut Desa Kanekes, di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Penyebutan Baduy mulai muncul di masa Hindia Belanda karena para peneliti menyamakannya dengan kelompok badui di arab yang hidup berpindah dan terpencil. Namun sumber lain mengaitkan kata Baduy dengan nama sebuah bukit di wilayah Kanekes, atau sungai dengan nama yang sama: Cibaduy.

Urang Kanekes dibedakan secara garis besar menjadi Urang Tangtu (Baduy Dalam) dan Urang Panamping (Baduy Luar). Mereka dapat dikenali dari warna pakaian atau ikat kepala.

Urang Tangtu mengenakan pakaian atau ikat kepala warna putih, menandakan kemurian, sementara Urang Panamping memakai pakaian atau ikat kepala warna hitam atau biru tua.

Menurut Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah warga Baduy tercatat 11.183 orang. Pertambahan penduduk sendiri berarti bertambahnya kebutuhan lahan yang tak beranjak dari 5.100 hektare. Namun adat Kanekes telah mengaturnya melalui sistem kepemilikan tanah adat yang tak dapat diperjualbelikan.

“Adat melarang kami menjual tanah. Sejak zaman nenek moyang. Kalau keluar dari Baduy Dalam, tidak boleh membawa tanah. Kalau Baduy Luar, boleh menggarap tanah di luar wilayah Baduy. Tapi kalau tanah di Baduy Dalam, hanya untuk orang Baduy Dalam saja,” ujar Sapri yang memiliki tanah ladang (huma) setengah hektar.

Tanaman padi ladang itu juga dibudidayakan tanpa menggunakan pupuk dan pestisida buatan pabrik, alias bertani secara organik.

“Pemerintah pernah mendorong agar kami menggunakan pupuk kimia dan obat-obatan agar bisa panen setahun dua kali. Tapi adat melarang, dan nanti kami bisa kelelahan bila sepanjang tahun bekerja,” imbuh Sapri.

Konsep menanam yang hanya setahun sekali sejatinya justru meningkatkan kualitas tanah agar tetap kaya unsur hara. Sistem ini juga dijumpai tim ekspedisi di Ciptagelar (Sukabumi), Tobelo Dalam (Halmahera Utara), hingga pedalaman Kalimantan di mana masyarakat Dayak tradisional mengembangkan sistem rotasi lahan. Mereka berpindah dari satu lahan ke lahan lain, untuk memberi kesempatan tanah memulihkan kembali nutrisi untuk tanaman.

Dengan lahan setengah hektare yang status kepemilikannya secar adat, Sapri menghasilkan 500-800 ikat padi setiap tahun (panen). Namun karena anggota keluarganya 10 orang, ia defisit rata-rata 300 ikat per tahun.

Untuk menutupnya, ada hasil hutan seperti durian atau kadu yang mencapai puncak musimnya di bulan Desember.

Harga dasar durian di ladang antara tiga ribu hingga 15 ribu rupiah, tergantung ukuran. Namun di pasar terdekat yang berjarak 12 kilometer, harganya bisa mencapai 20 ribu bahkan 40 ribu rupiah. Durian-durian itu diangkut dari pedalaman dengan ongkos antara seribu hingga dua ribu rupiah per butir.

Di puncak musim, keluarga Sapri yang mewarisi 40 pohon, bahkan sarapan dengan durian tanpa masalah apapun dengan pencernaan.Satu pohon durian sendiri rata-rata menghasilkan 200 buah setiap tahun. “Bahkan ada yang pernah 500 buah per pohon. Tapi ada juga kalanya pohon tidak berbuah atau jarang berbuah,” terang Aldi. Dengan 40 pohon dan asumsi harga rata-rata tujuh rupiah, keluarga Sapri bisa mendapatkan 56 juta rupiah per tahun atau sekitar 4,6 juta per bulan.

Inilah konsep kesejahteraan bagi warga Baduy, meski dalam ukuran Badan Pusat Statistik, mereka tetap dianggap miskin hanya memenuhi sembilan dari 14 kategori miskin versi negara.

Kategori-kategori itu di antaranya, rumah belum berlantai semen atau masih berbahan bambu dan kayu murahan, dinding rumah bukan tembok, tidak ada listrik, tidak ada toilet, atau kepala keluarganya tidak lulus Sekolah Dasar.

Dengan kriteria seperti ini, semua warga Baduy Dalam akan dikategorikan miskin oleh negara, sebab adat mereka memang melarang sekolah formal, listrik, dan menyemen lantai rumah.

Bila musim panen telah usai, Sapri dan warga Baduy Dalam lainnya akan berjalan kaki sejauh 135 kilometer selama tiga sampai empat hari untuk menjual madu hutan ke Jakarta. (bersambung)

Baca juga artikel terkait VIDEO - TIRTO atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah

Editor: Taufik Subarkah