Tempat & Tanggal Lahir
Singaraja, Bali, 10 Mei 1923
Karir
- Kepala Staf Kostrad TNI AD (1966 - 1967)
- Panglima Kostrad TNI AD (1967)
- Pangkowilhan TNI AD
Detail Tokoh
Pada Mei 1998, suara penolakan terhadap Soeharto tidak hanya bergaung di dunia kampus dan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat. Lima belas orang jenderal yang tergolong senior dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pun turut menyatakan penolakannya. Mereka mendatangi gedung DPR/MPR-RI dan meminta DPR untuk mendesak Soeharto mengundurkan diri atau mengundang Majelis ke sidang istimewa.
Letjen Kemal Idris menjadi salah satu prajurit ABRI yang mendesak Soeharto. Ia berpendapat Soeharto tidak bisa meneruskan tugas seabgai presiden karena rakyat tidak menaruh kepercayaan lagi terhadapnya.
Hal itu menurut Kemal bisa dibuktikan dengan maraknya aksi penolakan dan permintaan agar Soeharto turun. Kerusuhan yang terjadi juga membuktikan bahwa dari segi keamanan Presiden RI Kedua ini tidak bisa berbuat banyak.
Kerusuhan, menurut Kemal, bisa berdampak pada ketidakpercayaan internasional terhadap iklim investasi di Indonesia. Dalam bidang politik, kepercayaan masyarakat semakin merosot.
Kemal mengakui pada awal massa kepemimpinan Soeharto, kebijakan dan gaya kepemimpinannya cukup baik dan Kemal menjadi salah satu perwira yang sangat mendukungnya. Hal itu berlangsung sampai sekitar pertengahan tahun 1980-an. Kemal memang dikenal cukup dekat dengan Soeharto saat masih aktif di militer, khususnya pada prahara Oktober 1965. Soeharto pun akhirnya mundur dari jabatan sebagai presiden.
Kemal yang dilahirkan pada 10 Februari 1923 di Singaraja, Bali, adalah tentara yang dibesarkan oleh satuan militer Jawa Barat, Siliwangi. Sedari kecil, Kemal dididik oleh ibunya, Siti Maimunah, dan ayahnya, Muhammad Idris, untuk bersikap jujur dan pantang berputus asa. Dengan prinsip seperti itulah Kemal meniti karirnya di kemiliteran Indonesia sejak awal sampai masa purnanya. Karier militernya dimulai dengan menjadi Seinendan pada zaman Jepang. Kemudian, ia bergabung dalam satuan militer Jawa Barat, Divisi Siliwangi.
Pada tahun 1966 Kemal menjadi Kepala Staf Kostrad dan berperan sebagai pencipta momentum dalam peristiwa ‘pasukan tak dikenal’ yang mengepung Istana pada 11 Maret 1966. Berita kehadiran ‘pasukan tak dikenal’ telah membuat panik Presiden Soekarno dan sejumlah menterinya dan menjadi awal dari ‘drama’ politik lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, saat kelompok perwira Angkatan Darat berbeda pendapat dan berkonfrontasi dengan Presiden Soekarno, sebagai perwira muda yang kala itu berusia 29 tahun, Kemal Idris ada di belakang meriam yang moncongnya dihadapkan ke istana. Empat tahun sebelumnya, Kemal Idris dengan pasukannya dari Divisi Siliwangi ikut dalam operasi penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.
Sepanjang karier militernya, posisinya yang paling penting adalah ketika pada 1967 dipercaya menjadi Panglima Komando Srategi Angkatan Darat (Pangkostrad). Di situlah dia berperan besar dalam mendukung gerakan mahasiswa yang menentang Orde Lama. Kemal juga sering diminta untuk berbicara di depan pertemuan mahasiswa.
Karier terakhir Kemal di militer adalah sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) dengan pangkat letnan jenderal. Sebelumnya, dia menjabat panglima Komando Antardaerah untuk Kawasan Indonesia Timur. Jabatan ini membuat Kemal menjadi cukup populer di kalangan masyarakat di sana. Pada September 1972, dia ditunjuk menjadi duta besar di Yugoslavia merangkap Yunani. Kemal adalah Dubes pertama di negara tersebut pada era Orde Baru. Pulang bertugas, keadaan sudah berubah dan tak menduduki jabatan apapun di pemerintahan.
Kemal kemudian mendirikan PT Sarana Organtama Resik (SOR), yang mempekerjakan 700 karyawan dalam bidang kebersihan kota. Karena itu, ia juga digelari Jenderal Sampah. Ie pernah menolak menjadi pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun sebagai anggota MPR/DPR.
Di kalangan perhotelan dan pariwisata, nama Kemal Idris dikenal luas. Ia pernah memimpin PT Griyawisata Hotel Corporation. Meskipun begitu, dia menolak menjadi Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Kemal meninggal pada 28 Juli 2010 akibat komplikasi penyakit dan infeksi paru-paru. Ia dimakamkan secara militer di Taman Makam Majelis Taklim Raudatus Salihin, Citapen, Bogor, Jawa Barat.