Sudah 16 tahun, setiap hari minggu pertama setelah titik balik matahari di utara menuju ke selatan (bulan Juni dalam kalender masehi), upacara Ngertakeun Bumi Lamba dilaksanakan. Pada 2024 ini, waktu yang dimaksud bertepatan dengan hari Minggu, 23 Juni. Lokasi yang ditentukan menurut catatan dalam Prasasti Kabantenan, merupakan tempat khalis yang harus terus dijaga kesuciannya, yaitu wilayah Jayagiri di kaki Gunung Tangkuban Parahu, Jawa Barat.
Upacara Ngertakeun Bumi Lamba diinisiasi pada 2008, berawal dari perjalanan masyarakat adat Sunda ke Suku Baduy untuk bertemu dengan sesepuh dan menyampaikan bahwa ada tiga gunung di wilayah Jawa Barat yang diamanatkan, yaitu Gunung Gede Pangrango, Gunung Tangkuban Parahu, dan Gunung Wayang.
Ngertakeun Bumi Lamba merupakan tradisi yang dianut masyarakat Sunda berupa ritual upacara adat yang dilakukan untuk menyucikan gunung, serta memberikan ucapan terima kasih secara khusus kepada alam. Selain itu, Ngertakeun Bumi Lamba juga merupakan cita-cita dan jalan hidup leluhur yang tertuang dalam salah satu bagian Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1440 Saka/1518 Masehi), naskah yang ditulis pada masa pemerintahan Prabu Jayadewata atau Sri Baduga yang berisi petunjuk dalam kehidupan masyarakat.
Sebelum Ngertakeun Bumi Lamba, upacara pertama yang dilakukan di Gunung Tangkuban Parahu dikenal dengan nama Kuwera Bakti Dharma Wisundarah. Di masa lalu, Kuwera Bakti merupakan upacara besar delapan tahunan yang diselenggarakan oleh Kerajaan Pakuan Pajajaran. Sedangkan istilah Wisundarah diambil dari kata Wi (puncak), Sunda (ajaran/Gunung Sunda), dan Rah (ruhani) yang menyiratkan harapan untuk menuju puncak keruhanian Sunda.
Upacara Ngertakeun Bumi Lamba di masa ini digelar setiap tahun dan mengangkat tema berbeda-beda. Setiap tema mengacu pada fenomena penanda tahun tersebut. Pada 2024 ini, Ngertakeun Bumi Lamba mengusung tema "Kuwera Bakti Jala SuTrah Nusantara".
Upacara ini merupakan momentum perjumpaan antarsuku, ras, budaya, dan agama untuk bersama-sama mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena telah menjadikan alam semesta sebagai menopang kehidupan. Rasa syukur tersebut diekspresikan dalam simbol, tata upacara, lantunan mantra, musik sakral, gerak tubuh, maupun kesenian yang terinspirasi dari ragam pesan tentang tatanan, pencerahan, ajaran, pengetahuan, kebijakan, keterampilan, dan kekayaan, yang diwariskan leluhur bangsa ini. Perayaan akan keragaman budaya ini menjadi ruang membangun sikap toleransi dan harmoni.
Jaro Canoli upacara Ngertakeun Bumi Lamba, Wenda Hermawan, mengatakan, upacara ini bukan untuk menghamburkan makanan dan bukan juga untuk menyekutukan Tuhan. Upacara ini merupakan simbol masyarakat Sunda di bagian pegunungan untuk memberikan penghomatan dan rasa terima kasih kepada alam berupa apa yang dimakan dan apa yang diminum. Oleh karena itu, masyarakat menggelar prosesi "Ngalung" makanan dan minuman ke dasar Kawah Ratu di Gunung Tangkuban Parahu agar tetap diberikan keselamatan dan kesejahteraan melalui alam semesta.
Foto dan teks : Raisan Al Farisi
Editor : Fanny Octavianus
Upacara Ngertakeun Bumi Lamba diinisiasi pada 2008, berawal dari perjalanan masyarakat adat Sunda ke Suku Baduy untuk bertemu dengan sesepuh dan menyampaikan bahwa ada tiga gunung di wilayah Jawa Barat yang diamanatkan, yaitu Gunung Gede Pangrango, Gunung Tangkuban Parahu, dan Gunung Wayang.
Ngertakeun Bumi Lamba merupakan tradisi yang dianut masyarakat Sunda berupa ritual upacara adat yang dilakukan untuk menyucikan gunung, serta memberikan ucapan terima kasih secara khusus kepada alam. Selain itu, Ngertakeun Bumi Lamba juga merupakan cita-cita dan jalan hidup leluhur yang tertuang dalam salah satu bagian Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1440 Saka/1518 Masehi), naskah yang ditulis pada masa pemerintahan Prabu Jayadewata atau Sri Baduga yang berisi petunjuk dalam kehidupan masyarakat.
Sebelum Ngertakeun Bumi Lamba, upacara pertama yang dilakukan di Gunung Tangkuban Parahu dikenal dengan nama Kuwera Bakti Dharma Wisundarah. Di masa lalu, Kuwera Bakti merupakan upacara besar delapan tahunan yang diselenggarakan oleh Kerajaan Pakuan Pajajaran. Sedangkan istilah Wisundarah diambil dari kata Wi (puncak), Sunda (ajaran/Gunung Sunda), dan Rah (ruhani) yang menyiratkan harapan untuk menuju puncak keruhanian Sunda.
Upacara Ngertakeun Bumi Lamba di masa ini digelar setiap tahun dan mengangkat tema berbeda-beda. Setiap tema mengacu pada fenomena penanda tahun tersebut. Pada 2024 ini, Ngertakeun Bumi Lamba mengusung tema "Kuwera Bakti Jala SuTrah Nusantara".
Upacara ini merupakan momentum perjumpaan antarsuku, ras, budaya, dan agama untuk bersama-sama mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena telah menjadikan alam semesta sebagai menopang kehidupan. Rasa syukur tersebut diekspresikan dalam simbol, tata upacara, lantunan mantra, musik sakral, gerak tubuh, maupun kesenian yang terinspirasi dari ragam pesan tentang tatanan, pencerahan, ajaran, pengetahuan, kebijakan, keterampilan, dan kekayaan, yang diwariskan leluhur bangsa ini. Perayaan akan keragaman budaya ini menjadi ruang membangun sikap toleransi dan harmoni.
Jaro Canoli upacara Ngertakeun Bumi Lamba, Wenda Hermawan, mengatakan, upacara ini bukan untuk menghamburkan makanan dan bukan juga untuk menyekutukan Tuhan. Upacara ini merupakan simbol masyarakat Sunda di bagian pegunungan untuk memberikan penghomatan dan rasa terima kasih kepada alam berupa apa yang dimakan dan apa yang diminum. Oleh karena itu, masyarakat menggelar prosesi "Ngalung" makanan dan minuman ke dasar Kawah Ratu di Gunung Tangkuban Parahu agar tetap diberikan keselamatan dan kesejahteraan melalui alam semesta.
Foto dan teks : Raisan Al Farisi
Editor : Fanny Octavianus