Menuju konten utama

Saat Pelbagai Media Barat Tutup Mata atas Pembantaian Pasca G30S

Ditekan kekuatan Barat (Amerika Serikat), media-media seperti BBC, VOA, dan ABC memilih menutup mata atas tragedi kemanusiaan pasca-G30S.

Saat Pelbagai Media Barat Tutup Mata atas Pembantaian Pasca G30S
Penangkapan terhadap warga keturunan Tionghoa yang dituding terlibat PKI. FOTO/Istimewa

tirto.id - Hingga hari ini, 56 tahun usai kejadian, belum diketahui pasti siapa dalang atau aktor intelektual di balik Gerakan 30 September. Meski negara melalui buku-buku sejarah yang didistribusikan ke sekolah-sekolah menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) paling bertanggung jawab, namun tindakan Letkol Untung memimpin penculikan dan pembunuhan para elite tentara yang disebut "Dewan Jenderal" atas perintah PKI sukar dicerna tujuannya.

Sebagaimana dipaparkan Peter Dale Scott dalam artikel jurnal berjudul "The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967" (Pasific Affairs Vol. 58 1985), untuk apa Untung melakukan kudeta terhadap pemerintah--sebagaimana narasi resmi dari negara--dan menculik jenderal atas perintah PKI jika kenyataan saat itu PKI memiliki hubungan yang manis dengan Presiden Sukarno. Selain itu, Untung adalah Komandan Tjakrabirawa--yang kini menjadi Paspampres--dan ia terang-terangan mengaku bahwa tindakannya dilakukan untuk "melindungi Sukarno."

Keanehan lain dalam narasi resmi adalah soal target dan lokasi. Ketujuh jenderal yang dieksekusi merupakan jenderal-jenderal pro-Yani (Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat) alias pro-Sukarno dan tempat eksekusi, Lubang Buaya, merupakan lokasi di mana pemuda-pemuda PKI pernah menimba ilmu kemiliteran.

Keanehan berikutnya dari pemberontakan yang oleh Orde Baru disebut Gestapu ini, menurut Scott, timbul atas fakta bahwa terlalu sedikit pasukan yang diterjunkan jika dimaksudkan sebagai pengambilalihan kekuasaan. Bahkan, pasukan yang dikerahkan Untung berasal dari batalion-batalion yang umumnya pendukung Soeharto (saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat/Pangkostrad) dan pernah menerima pelatihan Amerika Serikat, misalnya Batalion 545 dan 530. Bahkan, ketika Gestapu berlangsung, pasukan yang diketuai Untung mengecualikan markas Kostrad ketika menjaga seantero Jalan Medan Merdeka.

Batalion-batalion penyumbang pasukan Untung ini kelak dikerahkan Soeharto untuk menumpas PKI.

Atas berbagai keanehan ini, Scott percaya bahwa G30S merupakan konspirasi Soeharto untuk menjatuhkan Sukarno dengan bantuan dari AS.

Namun, menurut David Easter dalam artikel berjudul "Keep the Indonesian Pot Boiling: Western Covert Intervention in Indonesia, October 1965-March 1966" (Journal of Cold War History Vol. 5 2005), tidak ada cukup bukti yang mengaitkan Soeharto dengan kenekatan Untung ini, apalagi dengan AS dan negara-negara Barat lain. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Wakil Direktur CIA Richard Helms mengaku kepada George Ball, seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, "tidak tahu menahu" tindakan Untung ini.

Agen intelijen ini pun mengaku "tidak percaya bahwa PKI berada di balik Gestapu" meski CIA faktanya suka sekali berada di balik penjatuhan pemerintahan yang sah tapi tidak disukai Barat di berbagai negara. Easter juga menyatakan Inggris dan Australia pun tak percaya PKI merupakan aktor di balik aksi Untung.

Beberapa bulan sebelum G30S Ketua D. N. Aidit berkunjung ke Cina. Fakta ini kemudian dimanfaatkan AS untuk menuduh Cina sebagai biang keladi Gestapu. Tuduhan yang tentu saja ditentang Cina karena Indonesia di bawah Sukarno tengah menikmati hubungan manis dengan mereka. Tak ketinggalan, ketidakpercayaan AS dan kawan-kawannya ini bahwa PKI merupakan biang keladi Gestapu didasari atas fakta sederhana: Gestapu adalah tragedi tentara versus tentara.

Peran Media

Di luar siapa sesungguhnya aktor intelektual Gestapu, yang paling mengerikan dari tragedi ini adalah respons setelahnya. Menganggap PKI (dan komunis) sebagai penyakit yang berbahaya, negara, yang sudah dikuasai jenderal Soeharto, melakukan serangan balik. Mereka--militer dan paramiliter--menyiksa dan membunuh siapa pun yang dianggap terlibat/berafiliasi dengan PKI.

Meski tidak diketahui berapa jumlah korban jiwa, peneliti/ilmuwan sosial meyakini jumlahnya setidaknya 100 ribu sehingga menjadi tragedi kemanusiaan terbesar di abad ke-20 setelah Holocaust.

Selain negara yang terlibat secara langsung, ada pula yang berperan tak langsung. Ross Tapsell dalam "Australian Reporting of the Indonesian Killings of 1965-66: The Media as the 'First Rough Draft History'" (Australian Journal of Politics and History Vol. 54 2008) menyebut media berperan membiarkan terjadinya tragedi kemanusiaan ini. Alih-alih melaporkan, membuka mata dunia bahwa telah terjadi pembantaian, media, khususnya media-media Barat, memilih menutup mata.

Sydney Morning Herald, media yang bermarkas pusat di Sydney, misalnya, hanya memublikasikan sebelas berita tentang tragedi ini antara Januari 1965 hingga Desember 1966. Frasa redaksional yang digunakan pun "konflik" atau "perang sipil", bukan yang terkait pembantaian atau kesewenang-wenangan.

Sementara Melbourne Herald dan Sun malah memilih menyalahkan PKI, menyebut bahwa Gestapu merupakan "rencana yang dilakukan komunis untuk melakukan aksi kudeta" dan respons yang dilakukan militer di bawah kendali Soeharto adalah "jalan satu-satunya yang harus ditempuh."

Mengapa media-media tersebut tutup mata dan bahkan dalam derajat tertentu membenarkan tragedi kemanusiaan ini? Jawabannya sederhana: Karena saat itu sedang Perang Dingin. AS tengah berperang dengan Uni Soviet dan mereka menganggap apa pun yang berbau komunis adalah musuh. Kepercayaan ini menjangkiti beberapa media.

Alasan lain, media-media Barat ditekan oleh AS untuk diam saja. Atau, andai pun mereka ingin memublikasikan berita tentang Indonesia kala itu, AS dan sekutunya siap-sedia menjadi "narasumber"--yang tentu saja bias.

Dilaporkan Paul Lashmar, pengajar Sussex University sekaligus jurnalis investigasi, British Broadcast Company (BBC) menjadi salah satu media yang menyebarkan berita tentang Indonesia yang telah "disensor" ini. Mereka mendapatkan informasi dari Information Research Department (IRD)--cabang MI6, lembaga khusus Pemerintah Inggris yang bertugas melakukan propaganda anti-komunis.

Selain memberikan informasi tipu daya terhadap BBC dan pelbagai media, IRD pun menciptakan media mereka sendiri bernama Kenjataan2. Mereka memanas-manasi situasi Indonesia. Dalam sebuah artikel mereka menyatakan PKI saat itu adalah ular yang terluka, dan karenanya "sekarang saatnya untuk membunuhi PKI sebelum ia memiliki kesempatan untuk pulih." Mereka mengaku "tidak menyerukan kekerasan," meski jelas-jelas demikian, "tetapi kami menuntut atas nama semua orang patriotik agar kanker komunis ini disingkirkan dari tubuh negara."

Propaganda mengerikan seperti ini juga disebarkan Jerman Barat melalui West German Federal Intelligence Service (BND).

Infografik HL Penangkapan Massal Pasca G30S

Infografik HL Penangkapan Massal Pasca G30S. tirto.id/Lugas

Bagaimana dengan AS sendiri? Kembali merujuk artikel Easter, Voice of America (VOA) menjadi salah satu media yang dimanfaatkan AS untuk menyebarkan ketidakbenaran keadaan Indonesia. Mereka memerintahkan VOA memublikasikan berita yang mengaitkan Gestapu dengan PKI. Perintah ini dituruti dan pemerintah menganggap "VOA telah melakukan pekerjaan yang bagus."

Australia pun melakukan langkah serupa, menyuruh Radio Australia (Australian Broadcast Company atau ABC) memberitakan kejadian di Indonesia sesuai kehendak para pejabat, demikian dipaparkan artikel berjudul "The Department of External Affairs, the ABC and Reporting of the Indonesian Crisis 1965-1969" (Australian Journal of Politics & History, 2003).

Berkat media ciptaan CIA, MI6, dan agen-agen lain yang beroperasi di Indonesia serta langkah tutup mata (atau memberitakan sesuai perintah negara) berbagai media Barat, tragedi kemanusiaan yang dimulai pada 1965 dan baru berakhir beberapa tahun kemudian akhirnya tertutup dari dunia internasional. Membuat pembantaian yang terjadi di negeri ini semakin leluasa terjadi.

Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Politik
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Rio Apinino