Tempat & Tanggal Lahir
Blora, Jawa Tengah, Indonesia, 1 Januari 1970
Karir
- Penasihat Editorial Poetri Hindia (1908)
- Redaktur Kepala Pembrita Betawi (1901)
- Pemimpin Redaksi Pemberita Betawi (1902)
- Pemilik Soenda Berita (1903)
- Pemilik Medan Prijaji (1907)
- Pemilik Soeloeh Keadilan (1907) (1907)
- Jurnalis/Wartawan, Pahlawan Nasional
Pendidikan
- Sekolah Menengah Hogere Burger School (HBS)
- School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (STOVIA)
Detail Tokoh
Tirto Adhi Soerjo adalah perintis pers bumiputra yang telah membidani penerbitan sejumlah surat kabar di abad ke-20. Berkat sepak-terjang, pengaruh, dan sumbangsih Tirto, pemerintah RI mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional pada 1963, berlanjut dengan penetapan gelar Pahlawan Nasional pada 2006.
Dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, pada 1880, Tirto Adhi Soerjo memiliki nama asli Djokomono dan bergelar raden mas. Ayahnya, Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero, bekerja sebagai pegawai kantor pajak.
Kakeknya yang bernama R.M.T. Tirtonoto menjabat Bupati Bojonegoro dan pernah menerima Ridder Nederlandsche Leeuw, bintang tertinggi sipil dari Kerajaan Belanda. Dari neneknya mengalir darah Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa, pendiri sekaligus pemimpin pertama Kadipaten Mangkunegaran yang merupakan pecahan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Tirto Adhi Soerjo menuntaskan sekolah dasar di Rembang, Jawa Tengah. Saat itu, ia tinggal di kediaman kakak kandungnya, Raden Mas Tirto Adhi Koesoemo, yang menjabat sebagai jaksa kepala di Rembang.
Lulus sekolah dasar, Tirto Adhi Soerjo merantau ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan studi ke sekolah menengah Hogere Burger School (HBS). Setelah itu, ia diterima di sekolah dokter bumiputra, School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (STOVIA) di Batavia. Sekolah ini nantinya melahirkan banyak tokoh pergerakan.
Namun, pendidikan Tirto di STOVIA tak sempat tamat karena ia terlanjur menyukai tulis-menulis. Tirto a kerap mengirimkan tulisan ke berbagai surat kabar terkemuka saat itu, sebut saja Bintang Betawi, Chabar Hindia Olanda, Pewarta Priangan, Bromartani, juga Pembrita Betawi.
Karier jurnalistik Tirto mulai menjulang saat ia bekerja di Pembrita Betawi sebagai redaktur. Pada 1901, ia sudah menjadi redaktur kepala, dan setahun berselang, Tirto menjabat sebagai pemimpin redaksi. Selanjutnya, atas masukan dan bimbingan jurnalis senior bernama Karel Wijbrands, Tirto menerbitkan surat kabar sendiri.
Tahun 1903, Tirto meluncurkan Soenda Berita. Ini adalah salah satu media pertama di Indonesia yang dimodali serta diisi oleh tenaga-tenaga pribumi, tidak lagi menjadi bawahan bangsa asing. Penerbitan Soenda Berita juga menjadi tonggak penting dalam sejarah pers nasional.
Sedangkan Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan yang sama-sama terbit perdana pada 1907 digunakan oleh Tirto sebagai media untuk membela kaum tertindas. Dalam konteks ini, Tirto memperkenalkan apa yang sekarang disebut sebagai jurnalisme advokasi.
Poetri Hindia yang meluncur perdana pada 1908 menjadi bukti bahwa Tirto juga sangat memperhatikan emansipasi wanita. Ini merupakan surat kabar pertama di Indonesia yang dikelola oleh kaum hawa. Pengasuh keredaksiannya hampir seluruhnya terdiri dari perempuan.
Selain berkiprah di ranah pers, Tirto juga beraksi di kancah pergerakan nasional. Bahkan, ia merupakan salah satu orang Indonesia yang merintis pembentukan organisasi di awal abad ke-20. Pada 1907, Tirto mencetuskan Sarekat Prijaji (SP) sebagai wadah untuk memajukan anak negeri. Sayangnya, perhimpunan ini tidak bertahan lama.
Tanggal 20 Mei 1908, para siswa STOVIA mendeklarasikan berdirinya Boedi Oetomo (BO) yang kemudian diakui sebagai organisasi pergerakan pertama di Indonesia, meskipun sebenarnya Sarekat Prijaji sudah ada setahun sebelumnya. Tirto yang saat itu sedang menetap di Bandung tercatat sebagai anggota BO.
Namun, Tirto rupanya mulai tidak sepaham dengan beberapa petinggi BO. Kemudian, tahun 1909, ia menggagas lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) di Buitenzorg (Bogor) dan Batavia (Jakarta).
Tahun 1912, atas permintaan Haji Samanhoedi, seorang saudagar batik di Solo, Tirto merumuskan AD/ART sebuah laskar keamanan bernama Rekso Roemekso. Selanjutnya, laskar keamanan milik Samanhoedi itu menjadi SDI cabang Surakarta agar tidak dicekal oleh pemerintah kolonial.
SDI cabang Surakarta merekrut Oemar Said Tjokroaminoto pada 1913. Tjokroaminoto mengusulkan agar nama SDI diganti menjadi Sarekat Islam (SI) supaya pengaruhnya semakin meluas. Nantinya, Tjokroaminoto mengambil-alih kepemimpinan SI hingga akhir hayatnya.
Tirto Adhi Soerjo sendiri sedang terlibat banyak masalah ketika Tjokroaminoto bergabung dengan SDI. Ia terjerat perkara delik pers lantaran tulisan-tulisannya yang mengkritik para pejabat, baik dari rezim kolonial maupun pejabat daerah.
Pengadilan kolonial yang digelar pada Desember 1937 memutuskan bahwa Tirto harus menjalani pengasingan di Maluku. Sepulang dari pembuangan, Tirto mengalami depresi berat karena pengaruhnya sudah meluruh. Harta dan asetnya disita negara, Tirto juga mulai dijauhi oleh rekan-rekannya karena ia selalu dalam pengawasan aparat kolonial.
Tirto Adhi Soerjo menghabiskan tahun-tahun terakhirnya dalam keterpurukan. Hingga akhirnya, pada 7 Desember 1918 ia meninggal dunia dan dimakamkan di Mangga Dua, kini termasuk wilayah administratif Jakarta Utara.
Pemerintah RI mengukuhkan Tirto Adhi Soerjo dengan gelar Bapak Pers Nasional pada 1973. Dan, tahun 2006, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas nama pemerintah RI.