'Cepat jo, So mo hancur ini kapal!' teriak awak kapal berlogat khas Manado, disambut gelak tawa warga yang melakukan aktivitas bongkar muat barang ke atas kapal Perintis KM Meliku Nusa di dermaga Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Bintang-bintang masih menghiasi langit yang cerah di pagi dinihari itu.
Awak kapal dan warga bergotong royong, bekerja secepat mungkin menurunkan sembako, bahan bangunan dan menaikkan berkarung-karung kopra milik warga. Beberapa warga yang lain saling berpelukan menyambut kedatangan sanak keluarga, maupun mengucapkan perpisahan bagi keluarga yang akan pergi.
Tepat pukul 04.30 WITA, klakson kapal berbunyi memecah keheningan dibarengi keriuhan warga melepas kepergian kapal. Sebagian besar penumpang melanjutkan tidur di tempat seadanya, sebagian lagi berbincang ringan. Kapal produksi dalam negeri tahun 2006 silam tersebut, melaju perlahan membelah lautan di perbatasan Indonesia-Filipina menuju ke Pulau Marore, Pulau Kawio, Pulau Kawaluso dan Pulau Sangihe.
Kondisi kapal jauh dari mewah, sebagian besar badan kapal tertutup karat dan cat yang telah mengelupas. Tak jarang ratusan penumpang berdesakan di kapal yang idealnya hanya mampu menampung 258 orang saja. 'Tidak apa-apa tidur melantai, sudah biasa kok.' ujar Desi, salah seorang penumpang yang ingin mengunjungi kakaknya yang berkuliah di Tondano, Sulut. Bila mesin kapal tidak mengalami masalah, dalam tiga hari para penumpang asal Pulau Miangas bisa tiba di Bitung.
Saat musim angin barat tiba di penghujung tahun, ketinggian ombak bisa mencapai 3 hingga 5 meter, menghambat jalur pelayaran reguler ke sejumlah pulau terdepan. Pada musim tersebut warga di kepulauan terdepan menyimpan bahan pangan sejak beberapa bulan sebalumnya, mengantisipasi ketidakhadiran kapal karena faktor cuaca. 'Kami selalu mengupayakan tetap berlayar di musim apapun, mereka sangat membutuhkan kehadiran kami' ujar Heri Palilingan, Kapten KM Meliku Nusa dengan optimis.
Bagi masyarakat yang tinggal di beberapa Pulau terdepan di Sulawesi Utara, keberadaan kapal perintis bagai dewa penyelamat. Kehadirannya sangat dinantikan. Membawa beragam barang dagangan dan bahan bangunan dari Bitung ke sejumlah pulau terdepan dan mengangkut hasil bumi warga kepulauan kembali ke Bitung untuk dijual, menempuh jarak ribuan kilometer selama seminggu.
Foto dan Teks: Adwit B Pramono
Awak kapal dan warga bergotong royong, bekerja secepat mungkin menurunkan sembako, bahan bangunan dan menaikkan berkarung-karung kopra milik warga. Beberapa warga yang lain saling berpelukan menyambut kedatangan sanak keluarga, maupun mengucapkan perpisahan bagi keluarga yang akan pergi.
Tepat pukul 04.30 WITA, klakson kapal berbunyi memecah keheningan dibarengi keriuhan warga melepas kepergian kapal. Sebagian besar penumpang melanjutkan tidur di tempat seadanya, sebagian lagi berbincang ringan. Kapal produksi dalam negeri tahun 2006 silam tersebut, melaju perlahan membelah lautan di perbatasan Indonesia-Filipina menuju ke Pulau Marore, Pulau Kawio, Pulau Kawaluso dan Pulau Sangihe.
Kondisi kapal jauh dari mewah, sebagian besar badan kapal tertutup karat dan cat yang telah mengelupas. Tak jarang ratusan penumpang berdesakan di kapal yang idealnya hanya mampu menampung 258 orang saja. 'Tidak apa-apa tidur melantai, sudah biasa kok.' ujar Desi, salah seorang penumpang yang ingin mengunjungi kakaknya yang berkuliah di Tondano, Sulut. Bila mesin kapal tidak mengalami masalah, dalam tiga hari para penumpang asal Pulau Miangas bisa tiba di Bitung.
Saat musim angin barat tiba di penghujung tahun, ketinggian ombak bisa mencapai 3 hingga 5 meter, menghambat jalur pelayaran reguler ke sejumlah pulau terdepan. Pada musim tersebut warga di kepulauan terdepan menyimpan bahan pangan sejak beberapa bulan sebalumnya, mengantisipasi ketidakhadiran kapal karena faktor cuaca. 'Kami selalu mengupayakan tetap berlayar di musim apapun, mereka sangat membutuhkan kehadiran kami' ujar Heri Palilingan, Kapten KM Meliku Nusa dengan optimis.
Bagi masyarakat yang tinggal di beberapa Pulau terdepan di Sulawesi Utara, keberadaan kapal perintis bagai dewa penyelamat. Kehadirannya sangat dinantikan. Membawa beragam barang dagangan dan bahan bangunan dari Bitung ke sejumlah pulau terdepan dan mengangkut hasil bumi warga kepulauan kembali ke Bitung untuk dijual, menempuh jarak ribuan kilometer selama seminggu.
Foto dan Teks: Adwit B Pramono