Sejumlah penambang mulai mempersiapkan perlengkapannya untuk memasuki lubang tambang tradisional yang dibuat oleh warga sejak tahun 1996 di Desa Anggai, Kecamatan Obi, Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Satu persatu para penambang mulai memasuki lubang dengan menggunakan alat seadanya. Mereka berusaha menembus lorong-lorong bawah tanah untuk menghancurkan dinding batuan yang mengandung emas dengan bermodalkan alat-alat sederhana seperti senter, palu, betel, serta blower untuk bernapas di dalam lubang.
"Tidak seperti aktivitas penambangan modern pada umumnya, penambang tradisional di Anggai hanya bermodalkan alat-alat sederhana dan yang paling penting modal utamanya hanyalah nyali dan tenaga," ungkap Bilal salah seorang penambang tradisional di daerah itu.
Para penambang mulai memasuki lubang yang luasnya sekitar 3-5 meter dan berkedalaman hingga 50 meter. Mereka memasuki lubang sambil memegang tali yang dijadikan penunjuk jalur. Bukan hanya kegelapan yang menghantui perjalanan mereka menyusuri lubang, tapi tanah yang setiap saat dapat longsong menjadi ketakutan tersendiri. Namun untuk memenuhi kebutuhan hidup, hal-hal yang membahayakan nyawa pun kadang mereka tidak dihiraukan.
Kadangkala para penambang berada di dalam lubang tersebut selama dua hari untuk memahat dinding tanah yang mengandung emas dan mereka mampu mengumpulkan 170 karung hingga 500 karung material batu.
Bukan hal mudah mengeluarkan bongkahan yang begitu banyak dari lubang yang kecil. Namun dengan kegigikan dan kerjasama, bongkahan yang telah dikarungi tersebut mampu dikeluarkan satu persatu yang selanjutnya diangkut menggunakan ojek tambang atau biasa disebut “kijang”. Tugas mereka membawa hasil kumpulan batu ke tempat pengusaha tromol yang nantinya dihancurkan oleh pekerja buruh tambang sampai seukuran kerikil hingga bebatuan halus. Kemudian bebatuan tersebut dicampur air perak atau merkuri dan dihaluskan lagi selama kurang lebih empat jam dengan menggunakan tromol.
Setelah melalui proses pengolahan, emas-emas mentah yang telah dibentuk tersebut dijual kepada para pengepul dengan harga Rp 700 ribu per gram. Mereka mampu menghasilkan 10-12 gram emas per satu kali proses penambangan yang memakan waktu 3-4 hari.
Tambang rakyat Anggai masih terus berproduksi sampai sekarang. Ribuan warga menggantungkan hidupnya dari tambang tradisional tersebut. Tidak ada pengelolahan khusus dari negara maupun perusahaan tertentu, namun telah memiliki izin Wilayah Pertambangan Rakyat sejak tahun 2015.
Satu persatu para penambang mulai memasuki lubang dengan menggunakan alat seadanya. Mereka berusaha menembus lorong-lorong bawah tanah untuk menghancurkan dinding batuan yang mengandung emas dengan bermodalkan alat-alat sederhana seperti senter, palu, betel, serta blower untuk bernapas di dalam lubang.
"Tidak seperti aktivitas penambangan modern pada umumnya, penambang tradisional di Anggai hanya bermodalkan alat-alat sederhana dan yang paling penting modal utamanya hanyalah nyali dan tenaga," ungkap Bilal salah seorang penambang tradisional di daerah itu.
Para penambang mulai memasuki lubang yang luasnya sekitar 3-5 meter dan berkedalaman hingga 50 meter. Mereka memasuki lubang sambil memegang tali yang dijadikan penunjuk jalur. Bukan hanya kegelapan yang menghantui perjalanan mereka menyusuri lubang, tapi tanah yang setiap saat dapat longsong menjadi ketakutan tersendiri. Namun untuk memenuhi kebutuhan hidup, hal-hal yang membahayakan nyawa pun kadang mereka tidak dihiraukan.
Kadangkala para penambang berada di dalam lubang tersebut selama dua hari untuk memahat dinding tanah yang mengandung emas dan mereka mampu mengumpulkan 170 karung hingga 500 karung material batu.
Bukan hal mudah mengeluarkan bongkahan yang begitu banyak dari lubang yang kecil. Namun dengan kegigikan dan kerjasama, bongkahan yang telah dikarungi tersebut mampu dikeluarkan satu persatu yang selanjutnya diangkut menggunakan ojek tambang atau biasa disebut “kijang”. Tugas mereka membawa hasil kumpulan batu ke tempat pengusaha tromol yang nantinya dihancurkan oleh pekerja buruh tambang sampai seukuran kerikil hingga bebatuan halus. Kemudian bebatuan tersebut dicampur air perak atau merkuri dan dihaluskan lagi selama kurang lebih empat jam dengan menggunakan tromol.
Setelah melalui proses pengolahan, emas-emas mentah yang telah dibentuk tersebut dijual kepada para pengepul dengan harga Rp 700 ribu per gram. Mereka mampu menghasilkan 10-12 gram emas per satu kali proses penambangan yang memakan waktu 3-4 hari.
Tambang rakyat Anggai masih terus berproduksi sampai sekarang. Ribuan warga menggantungkan hidupnya dari tambang tradisional tersebut. Tidak ada pengelolahan khusus dari negara maupun perusahaan tertentu, namun telah memiliki izin Wilayah Pertambangan Rakyat sejak tahun 2015.