Di desa Pasir Nangka, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, terdapat sebuah pesantren rehabilitasi narkoba dan gangguan kejiwaan bernama Hikmah Syahadah yang didirikan oleh KH sejak delapan belas tahun yang lalu
Terdapat 55 pasien di tempat itu, 50 pasien lelaki dan 5 pasien wanita. Rata-rata berusia 15-50 tahun. Mayoritas dari mereka menderita disabilitas psikososial akibat mengonsumsi narkoba.
Para pasien tersebut berasal dari banyak wilayah di Indonesia. Meskipun, menurut KH Romdin, mayoritas berasal dari sekitar Jakarta, Banten dan Bekasi. Namun, ada pula yang berasal dari Medan, Jambi, dan daerah lainnya.
Terdapat enam blok ruang isolasi di Hikmah Syahadah dengan 27 kamar. Masing-masing kamar dihuni 2-3 orang tergantung dengan luas kamar. Setiap blok dibagi berdasarkan klasifikasi penderita. Ada blok untuk penderita berat, sedang, dan yang akan sembuh. Semuanya dilengkapi dengan pintu besi yang berfungsi untuk menjaga mereka agar tidak kabur.
“Itu fungsinya hanya biar mereka tidak kabur saja. Biasanya penderita narkoba suka kabur kalau dalam masa penyembuhan,” kata KH Romdin.
Di Hikmah Syahadah pun tidak ada alat pasung. Bahkan, di tempat itu tidak ada rantai. Menurut KH Romdin, pasien di tempat itu hampir tidak pernah dipasung atau dirantai. Menurutnya, cara semacam itu tidak manusiawi. Bila mereka mengamuk, cukup dikurung di ruang isolasi saja.
Santri yang mengidap candu narkoba jarang mengamuk apa lagi saling bertengkar satu sama lain layaknya di tempat rehabilitasi lainnya. Para santri selalu menjalani terapi ‘Telunjuk Petir’ yang dilakukannya dua kali dalam seminggu untuk meredakan emosi, amarah, dan menjaga stabilitas tubuh.
Terapi tersebut menggunakan ilmu hikmah. Pasien akan diberi minum air yang telah diberi doa, kemudian dipijit titik-titik syaraf di tubuhnya menggunakan telunjuk.
Selain itu, pasien di tempat itu juga diajarkan ilmu agama. Mereka diajarkan cara berwudhu, salat, dan mengaji. Bahkan, mereka juga diajarkan untuk dapat menghafal beberapa bacaan doa. “Mereka yang keluar dari sini setelah sembuh, setidaknya bisa memimpin tahlil,” kata KH Romdin.
Selama bulan Ramadan seperti sekarang, mereka juga diajarkan untuk berpuasa dan salat tarawih. Meskipun, banyak dari mereka yang masih susah untuk berpuasa sehari penuh. Potret rehabilitas narkoba di pesantren tersebut telah menggugurkan stigma bahwa pelayanan pada penyandang disabilitas psikososial di pesantren jauh dari kemanusiaan.
FOTO: Andrey Gromico
Terdapat 55 pasien di tempat itu, 50 pasien lelaki dan 5 pasien wanita. Rata-rata berusia 15-50 tahun. Mayoritas dari mereka menderita disabilitas psikososial akibat mengonsumsi narkoba.
Para pasien tersebut berasal dari banyak wilayah di Indonesia. Meskipun, menurut KH Romdin, mayoritas berasal dari sekitar Jakarta, Banten dan Bekasi. Namun, ada pula yang berasal dari Medan, Jambi, dan daerah lainnya.
Terdapat enam blok ruang isolasi di Hikmah Syahadah dengan 27 kamar. Masing-masing kamar dihuni 2-3 orang tergantung dengan luas kamar. Setiap blok dibagi berdasarkan klasifikasi penderita. Ada blok untuk penderita berat, sedang, dan yang akan sembuh. Semuanya dilengkapi dengan pintu besi yang berfungsi untuk menjaga mereka agar tidak kabur.
“Itu fungsinya hanya biar mereka tidak kabur saja. Biasanya penderita narkoba suka kabur kalau dalam masa penyembuhan,” kata KH Romdin.
Di Hikmah Syahadah pun tidak ada alat pasung. Bahkan, di tempat itu tidak ada rantai. Menurut KH Romdin, pasien di tempat itu hampir tidak pernah dipasung atau dirantai. Menurutnya, cara semacam itu tidak manusiawi. Bila mereka mengamuk, cukup dikurung di ruang isolasi saja.
Santri yang mengidap candu narkoba jarang mengamuk apa lagi saling bertengkar satu sama lain layaknya di tempat rehabilitasi lainnya. Para santri selalu menjalani terapi ‘Telunjuk Petir’ yang dilakukannya dua kali dalam seminggu untuk meredakan emosi, amarah, dan menjaga stabilitas tubuh.
Terapi tersebut menggunakan ilmu hikmah. Pasien akan diberi minum air yang telah diberi doa, kemudian dipijit titik-titik syaraf di tubuhnya menggunakan telunjuk.
Selain itu, pasien di tempat itu juga diajarkan ilmu agama. Mereka diajarkan cara berwudhu, salat, dan mengaji. Bahkan, mereka juga diajarkan untuk dapat menghafal beberapa bacaan doa. “Mereka yang keluar dari sini setelah sembuh, setidaknya bisa memimpin tahlil,” kata KH Romdin.
Selama bulan Ramadan seperti sekarang, mereka juga diajarkan untuk berpuasa dan salat tarawih. Meskipun, banyak dari mereka yang masih susah untuk berpuasa sehari penuh. Potret rehabilitas narkoba di pesantren tersebut telah menggugurkan stigma bahwa pelayanan pada penyandang disabilitas psikososial di pesantren jauh dari kemanusiaan.
FOTO: Andrey Gromico