Tempat & Tanggal Lahir
Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia, 27 November 1962
Karir
- Menteri Kementerian Luar Negeri (2014 - 2019)
- Menteri Kementerian Luar Negeri (2019 - 2024)
Pendidikan
- SMA Negeri 3 Semarang
- S1 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
- S2 Hukum Uni Eropa, Haagse Hogeschool, Belanda
Detail Tokoh
Menyandang sebagai menteri luar negeri wanita pertama Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi tentu bukan orang sembarangan. Sebelum menduduki posisi strategis sebagai menteri, Retno yang merupakan pejabat karir kementerian luar negeri punya pengalaman soal bagaimana hubungan antar negara bisa memanas.
Pada suatu hari di 1991, Retno berencana menjalani harinya seperti biasa. Di tengah-tengah kesibukannya ditugaskan Departemen Luar Negeri ke Canberra, Australia sebagai staf penerangan. Ia seperti orang lain yang menyempatkan diri untuk belanja kebutuhan sehari-hari.
Di era 1991, Australia termasuk negara yang reaktif terhadap persoalan dalam negeri Indonesia. Insiden Santa Cruz meletus. Indonesia dikecam negara-negara lain karena pasukan militernya dinilai telah melanggar pelanggaran HAM berat.
Dampak kejadian itu, Retno mengalami pengalaman yang tak menyenangkan. Saat ke lahan parkir di pusat perbelanjaan, mobilnya sudah kotor ternoda oleh siraman susu. Insiden berbau ancaman tersebut bukan pertama kalinya. Ia sempat mengalami kendaraannya sempat remuk karena aksi protes warga Australia.
Beruntung, Retno tak mengalami kejadian seperti pemukulan, penganiayaan, atau tindak menyakiti diri lainnya.Kasus yang menimpa mobilnya membuat keamanannya terancam. Gelombang protes pun muncul di Australia. Selama periode itu Retno dan teman-temannya sampai tidak bisa membuang sampah sebab kantornya diblokir oleh serikat pekerja. Surat-surat untuk dan dari kedutaan RI tertahan.
Kisah ini merupakan pengalaman hidup Retno Lestari Priansari Marsudi. Ia ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk masuk ke jajaran menteri Kabinet Kerjanya selama periode 2014-2019. Pengalaman pahitnya selama berada di Canberra barangkali salah satu pengalaman hidup yang malah semakin menguatkan tekadnya dalam menjalani karier dan mengabdi pada negeri.
Retno lahir di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 27 November 1962. Ia menjalani pendidikan menengah di SMA Negeri 3 Semarang. Setelah lulus, ia memberanikan diri untuk hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi. Ia mendaftarkan diri di Jurusan Hubungan Internasional (HI) di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada.
Cita-citanya sejak kelas 3 SMA memang ingin menjadi diplomat. Keputusan yang saat itu agak dipermasalahkan oleh anggota keluarga yang lain. Keluarga Retno sebenarnya tipe keluarga yang demokratis. Ibu Retno bertanya sedari Retno kecil jika sudah besar ia mau jadi apa. Ibunya selalu menghormati apa keinginan anak-anaknya. Baginya yang terpenting si anak bisa mempertanggung jawabkan pilihannya itu.
Dengan semangatnya yang tinggi, siklus hidup harian Retno menjadi sangat disiplin dan terjadwal. Di kampus ia terus memacu diri di tengah jadwal kuliah yang amat padat. Setiap semester ia mengambil 24 SKS penuh. Baginya Tak ada waktu lain untuk bermalas-malasan. Bemain dengan teman pun secukupnya saja.
Semangat belajar tingginya membuahkan hasil. Pada tahun terakhir kuliah ia mendapat beasiswa dari Deplu yang sedang melirik mahasiswa-mahasiswa berbakat di 10 kampus seluruh Indonesia. Retno termasuk yang mendapatkannya sebab IP yang tinggi dan berhasil lolos tes. Ia berhak atas donasi Rp 75.000 per bulan, yang Retno rasa waktu itu nominal yang besar sebab uang dari ibunya saja hanya Rp 50.000 per bulan.
Pada November 1985 ia adalah lulusan Fisipol termuda dengan waktu pendidikan 3 tahun 10 bulan.
Takdir membawanya ke Jakarta. Ia mengikuti pelatihan diplomat selama satu tahun sejak bulan April 1986. Pendidikan berjenjang dengan 3 tahapan yang mesti ia lalui sebelum menerima amanah bekerja di luar negeri.
Setelah training selesai, unit pertama yang Retno ampu adalah wilayah ASEAN dengan menjabat sebagai Staf Biro Analisa dan Evaluasi untuk kerjasama ASEAN. Pada masa itulah ia mendapatkan tugas yang menantang di Canberra, Australia.
Pada rentang waktu 1997-2001 Retno juga pernah menempati posisi sebagai sekretaris satu bidang ekonomi di Kedutaan Besar RI untuk Belanda di Den Haag. Tahun 2001 kariernya menanjak dengan menempati jabatan sebagai Direktur Eropa dan Amerika dan tahun 2003 sebagai Direktur Eropa Barat.
Pada 2005 ia menjadi Duta Besar RI untuk Norwegia dan Islandia. Sebelum ia kembali ke Belanda untuk menjadi Duta Besar untuk RI untuk Kerajaan Belanda, ia sempat menjabat sebagai Direktur Jenderal Eropa dan Amerika. Tanggung jawabnya tak main-main. Ia mesti mengawasi hubungan Indonesia dengan 82 negara di Eropa dan Amerika.
Pada 23 Oktober 2019, Presiden menujuk Retno sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Indonesia Maju untuk periode 2019-2024.