Tempat & Tanggal Lahir
Jeneponto, Sulawesi Selatan, 23 November 1958
Karir
- Direktur Pelaksana Institut Sosial Jakarta (1989)
- Sekretaris Tim Relawan Penanganan Korban Kerusuhan Peristiwa 27 Juli 1996
Pendidikan
- Seminari Menengah Petrus Kanisius Mertoyudan, Magelang
- Seminari Tinggi Santo Paulus, Yogyakarta
Detail Tokoh
Pada 1989, seorang pastor Serikat Jesuit yang baru setahun ditahbiskan diangkat menjadi Direktur Pelaksana sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Institut Sosial Jakarta (ISJ). Ia adalah Ignatius Sandyawan Sumardi, SJ, rohaniwan muda yang dikenal memiliki catatan panjang dalam kegiatan sosial yang bersentuhan dengan kaum marginal di perkotaan. LSM yang didirikan pada tahun 1985 oleh beberapa rohaniawan dan biarawan Katolik itu semula bernama Biro Konsultasi Ketenagakerjaan. Kegiatannya, semula juga hanya terbatas pada pendampingan buruh-buruh pabrik yang menghadapi masalah-masalah dalam pekerjaannya.
Kaum pemulung dan anak-anak jalanan merupakan kelompok sasaran yang diutamakan oleh Romo Sandy, panggilan akrabnya, dan ISJ. Perhatian kepada kaum pemulung, terutama tampak dari pendidikan keterampilan dan dasar (menulis dan membaca) bagi para pemulung dan anak-anak jalanan yang diberikan secara rutin. Romo Sandy sudah aktif dalam berbagai kegiatan sosial sejak tinggal di Yogyakarta untuk menempuh studi Teologi di sebuah Seminari Tinggi.
Ketika berada di Yogyakarta, ia pun aktif membina para tukang becak serta membantu biarawan dan budayawan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. (Romo Mangun) dalam mendampingi masyarakat yang tergusur karena tanahnya dipergunakan untuk proyek pembangunan waduk Kedung Ombo. Di sela-sela masa perkuliahan jurusan Teologi pada Seminari Tinggi di Yogyakarta ini pula, Sandyawan pernah menjadi koordinator perkampungan sosial di Pingit, Yogyakarta. Di sini ia mendampingi para keluarga gelandangan yang biasa berkeliaran di kawasan Malioboro.
Romo Sandy lahir di Jeneponto, Sulawesi Selatan, 23 November 1958. Ia tumbuh besar di Makassar dan memiliki nama kecil Kuncoro. Ia merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara keluarga Andreas Sumardi, seorang pensiunan Letnan Satu Polisi dan isterinya, Suzana. Menjelang usia sekolah, ia mengikuti keluarganya pindah ke Banjarnegara, Jawa Tengah. Di kota inilah Romo Sandy menamatkan sekolah dasarnya. Ketika ia baru saja duduk di bangku SMP, ayahnya dipindahkan lagi ke Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Akhirnya, di sinilah ia menamatkan SMP-nya.
Selepas SMP, atas pilihannya sendiri, Sandyawan kemudian meneruskan pelajarannya ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang. Setelah lulus dari Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang, ia pun memutuskan untuk masuk kuliah ke Seminari Tinggi di Yogyakarta.
Pada setiap kali masa liburan perkuliahan datang, ia selalu minta izin kepada Pastor Provinsial Serikat/Ordo Yesuit, untuk mendapatkan tugas mendalami kehidupan kaum miskin, yang tersisih dari proses pembangunan di negeri ini. Caranya cukup unik, yaitu dengan menyamar dan berbaur sehingga kelompok sasarannya sama sekali tidak mengetahui statusnya sebagai seorang biarawan.
Penyamarannya yang pertama adalah sebagai buruh pabrik gula di Kendal, Jawa Tengah. Di sana, selama sebulan penuh, Romo Sandy bekerja sebagaimana layaknya seorang buruh pabrik gula: mengangkat tebu ke truk dan lori, lalu memisah-misahkan akar, batang, dan klaras tebu untuk kemidian diolah di pabrik. Pada musim liburan berikutnya, ia kembali menyamar dan berbaur namun kali ini sebagai petani di sebuah desa di Wonosari.
Ia juga pernah menyamar dan berbaur dengan para buruh pabrik di kawasan Jakarta Timur, seperti Cibubur, Ciracas, dan Cijantung. Penyamarannya yang paling lama yakni dua bulan lebih adalah bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik susu di kawasan Cijantung. Selama menyamar dan berbaur inilah ia banyak berbicara dan bertukar-pikiran dengan para buruh tentang masalah-masalah perburuhan yang mereka hadapi.
Atas kegiatannya menyertai mereka yang dimarjinalkan, Pastor Yesuit yang ditahbiskan pada tahun 1988 ini, sering berhadapan dengan aparat keamanan. Salah satunya saat maraknya pembersihan becak di akhir era 1980-an. Bahkan, ia sempat ditahan beberapa hari di Kodim Jakarta Timur, karena dituduh mengkoordinasi aksi perlawanan para tukang becak di Jakarta. Selama dua hari dua malam ia dimintai keterangan di hadapan penyidik mengenai persoalan aksi perlawanan tersebut. Memang, ketika itu Sandyawan sempat mengumpulkan ratusan tukang becak untuk mengadukan masalah mereka ke DPR. Sebuah pertemuan para tukang becak yang dipimpinnya sempat dikepung oleh aparat keamanan.
Pendampingan dan pembelaan terhadap kaum pinggiran itu kerap kali mengundang risiko. Ia dan para aktivis ISJ lainnya sering berurusan dengan aparat keamanan, akibat 'ulah' kaum pinggiran yang pernah dibantunya. Misalnya, ketika ada pemogokan buruh besar-besaran di PT Gajah Tunggal pada tahun 1991, lagi-lagi Romo Sandy disantroni oleh petugas keamanan, karena beberapa di antara pemimpin buruh yang memimpin aksi mogok massal itu adalah alumni program pendidikan kesadaran hukum yang dilakukan ISJ.
Pada tahun 1996 Romo Sandy bersama kakaknya Benny Sumardi, juga pernah ditangkap dan disidang dengan tuduhan membantu gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pada 10 Desember 1996, Romo Sandy dianugerahi Yap Thiam Hien Award 1996.
Keterlibatan Romo Sandy dalam pembelaan dan penegakan hak asasi manusia berlanjut melalui perannya sebagai Sekretaris Tim Relawan Penanganan Korban Kerusuhan Peristiwa 27 Juli 1996. Dia adalah salah seorang pemprakarsa pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (TGPF).
Tim ini bertugas untuk mengkoordinasi pemberian advokasi dan pencarian informasi mengenai korban kerusuhan massal yang berawal dari penyerbuan markas DPP PDI tersebut. Selain itu, secara informal, Tim Relawan berfungsi sebagai supporting dari Tim Pencari Fakta (TPF) Komnas HAM. Tim Relawan ini merupakan cikal bakal dari organisasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang resmi berdiri tahun 1998 setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998. Setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998, bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan, aktif mendata korban dan mengungkap fakta-fakta dibalik kerusuhan tersebut.