Tempat & Tanggal Lahir
Malang, Kota Malang, Jawa Timur, Indonesia, 10 Oktober 1968
Karir
- Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (2008)
- Gereja Katolik Situbondo Pastor pembantu
Pendidikan
- Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang (1996)
Detail Tokoh
Aktivisme adalah jalan yang selalu ditempuh oleh Romo Antonius Benny Susetyo Pr, atau yang akrab disapa Romo Benny. Ia adalah seorang pastor dan aktivis penggerak kesadaran manusia, dengan berbasiskan pada kemerdekaan dan kesetaraan. Kiprahnya dalam dialog lintas agama dan pembangunan demokrasi membawanya menjadi Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia, serta mendirikan Setara Institute (Institute for Democracy and Peace). Ia juga dikenal aktif di Forum Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Indonesia (FKDHI), Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) serta, bersama Romo Sandyawan, di Forum Kemanusiaan, dan Gerakan Moral Nasional.
Dilahirkan di kota Apel Malang pada 10 Oktober 1968, Alumni Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang tahun 1996, ini seorang pastor muda pengusung gerakan moral bangsa. Rommo Benny tak kenal lelah mengadvokasi masyarakat lemah, korban bencana dan korban kekerasan, ini juga ikut memajukan Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPèK) Averroes.
Ia adalah Pendiri Pergerakan Manusia Merdeka. Pergerakan ini, tampaknya menjadi bibit berdirinya Setara Institute, yang didirikannya bersama sejumlah tokoh dan aktivis, di antaranya KH. Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001) Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Guru Besar dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah (1998-2006) Azyumardi Azra, Hendardi, Rocky Gerung, M. Chatib Basri dan Zumrotin KS. Dalam kepengurusannya, Romo Benny sendiri aktif sebagai Sekretaris Dewan Nasional, yang diketuai Guru Besar dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah (1998-2006)
Azyumardi Azra. Sementara Badan Pengurus diketuai Hendardi, Wakil Ketua Bonar Tigor Naipospos dan Sekretaris R. Dwiyanto Prihartono.
Setara Institute adalah perkumpulan individual/perorangan yang didedikasikan bagi pencapaian cita-cita di mana setiap orang diperlakukan setara dengan menghormati keberagaman, mengutamakan solidaritas dan bertujuan memuliakan manusia. Didirikan oleh orang-orang yang peduli pada penghapuskan atau pengurangan diskriminasi dan intoleransi atas dasar agama, etnis, suku, warna kulit, gender, dan strata sosial lainnya serta peningkatan solidaritas atas mereka yang lemah dan dirugikan.
Aktivisme Romo Benny dimulai saat ia ditempatkan di paroki Situbondo. Penempatan Benny di Paroki Situbondo hanya berselang sepekan setelah terjadinya kerusuhan hebat di kota santri di kawasan tapal kuda ini. Sedikitnya selusin gereja dibakar habis, termasuk Gereja Katolik Situbondo. Benny, yang baru beberapa hari ditahbiskan menjadi pastor, diamanatkan oleh Uskup Malang Mgr HJS Pandoyoputro, OCarm untuk 'membangun persaudaraan sejati' dengan para tokoh dan kaum muslim di Situbondo dan Bondowoso. Penugasan ini membuatnya punya banyak pengalaman baru bertemu dengan para kiai, dan berkunjung ke beberapa pesantren. Dia pun menggelar sejumlah acara bersama KH Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001) Abdurrahman Wahid (Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001)
Gus Dur), tokoh masyarakat sipil, pelopor dialog antariman, yang sulit dicari tandingannya.
Selain itu, dia pun aktif sebagai pembina kaum muda Katolik di Keuskupan Malang dan sebagai pembina Frater-frater Praja di Malang. Selain itu, dia aktif sebagai Penggiat Dialog Antaragama di Malang. Di Surabaya dia aktif dalam berbagai kegiatan, di antaranya mengisi pekan suci, pelatihan, dialog,dan seminar.
Kala itu, sebelum reformasi 1998, Romo Benny dengan berbagai aktivitas kemanusiaanya telah diundang ke mana-mana. Dia membina hubungan akrab dengan para tokoh lintas agama, khususnya aktivis muslim dan pemuka Islam. Ketua Pengurus Besar Nahdaltul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid (Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001)
Gus Dur) pun menjadi sahabat dekatnya. Begitu juga KH Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (1999-2010)
Hasyim Muzadi, KH Ali Maschan Moesa, KH Said Aqil Siradj hingga Ulil Abshar-Abdalla. Ketika itu, Gus Dur sering mengajak Benny untuk diskusi atau ceramah di pesantren atau komunitas Islam. Sebaliknya, Gus Dur pun mampir, makan siang atau makan malam, di Pastoran Situbondo. Setiap Lebaran pun, Romo Benny bersama sejumlah rohaniawan Katolik, Protestan, serta Konghuchu bersilaturahmi ke rumah-rumah para tokoh Islam.
Kemudian, pada akhir 1990-an, Konferensi Waligereja (KWI) mengembangkan gerakan 'membangunan persaudaraan sejati' di Indonesia. Forum persaudaraan sejati dan sejenisnya pun tumbuh di mana-mana. Apalagi, setelah Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Pak Harto lengser pada 21 Mei 1998, para aktivis civil society itu banyak terserap masuk ke ranah politik. Partai-partai baru muncul. Termasuk Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa, bahkan terpilih sebagai presiden keempat, 2001.
Aktivitas kemanusiaannya semakin meluas setelah dia ditugaskan sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Penugasan ini semakin memungkinkannya lebih leluasa bergerak ke mana-mana, menembus sekat-sekat agama, kepercayaan, serta latar belakang lainnya. Sebagai pastor kategorial, Benny Susetyo tidak punya paroki. Tidak secara langsung 'menggembalakan domba-domba' layaknya pastor biasa. Dia bisa ke mana-mana, kapan saja, bergerak di seluruh Indonesia. ''Yah, saya mendapat penugasan sebagai pastor kategorial. Saya berusaha melaksanakan itu dengan sebaik-baiknya,'' ujarnya saat ditemui di Gereja Katedral Surabaya, Kamis (21/3/2008).
Berbagai pengalamannya juga dia tuangkan dalam bentuk tulisan. Kebiasaan menulis memang sudah diminatinya sejak masih mahasiswa STFT Widya Sasana di Malang. Tiap hari, kalau ada ide, Benny menulis apa saja. Merespons isu-isu yang berkembang saat itu.Menurutnya, menulis itu kan pergumulan. Dia sangat mengidolakan Romo YB Mangunwiajaya, pastor budayawan, sastrawan, arsitek, aktivis sosial. Terlihat dari hampir di semua artikelnya, mengutip pandangan-pandangan Romo Mangunwijaya.
Romo Benny aktif menulis di beberapa koran nasional. Walaupun tidak semua artikel yang dikirimnya ke koran dimuat, dia terus aktif menulis. Sejumlah rekan aktivisnya meminta artikel-artikel tersebut dibukukan. Jadilah buku 'Orde Para Bandit' (Averroes Press dan LKiS, 2001) menjadi buku pertama Benny Susetyo. Selain itu, sebelumnya memang dia sudah ikut menulis dua buku sebagai kontributor yakni dalam buku 'Melangkah dari Reruntuhan, Tragedi Sitobondo' (Grasindo, 1998) dan 'Indonesia di Persimpangan Jalan' (1999).
Kemudian dia menulis nuku 'Membuka Mata Hati Indonesia' (Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2002), 'Gerakan Moral sebagai Gerakan Pencerahan, Merefleksi Kemunduran Etika Elit Politik Pasca Reformasi' (Proses terbit, 2003), 'Kasih itu Pembebasan' (Proses terbit, 2003) dan 'Bimbingan Rohani Calon Pemimpin, Panduan bagi Pembimbing Rohani dalam pembinaan Kaderisasi' (2003).