Menuju konten utama
Adnan Buyung Nasution

Adnan Buyung Nasution

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum (2007 - 2009)

Tempat & Tanggal Lahir

Jakarta Raya, Indonesia, 20 Juli 1934

Karir

  • Jaksa/Kepala Humas Kejaksaan Agung (1957 - 1968)
  • Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (1966)
  • Anggota DPRS/MPRS (1966 - 1968)
  • Advokat Advokat/Konsultan Hukum Adnan Buyung & Associates
  • Direktur Dewan Pengurus LBH (1970 - 1986)
  • Ketua DPP Peradin (1977)
  • Ketua Umum YLBHI (1981 - 1983)
  • Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum (2007 - 2009)

Pendidikan

  • Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung
  • SMA Negeri 1 Jakarta
  • Fakultas Gabung Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada
  • Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Indonesia
  • Studi Hukum Internasional, Universitas Melbourne, Australia
  • Universitas Utrecht, Belanda

Detail Tokoh

Adnan Buyung lahir di Jakarta, 20 Juli 1934. Sejak kecil, umur dua belas tahun, Buyung bersama adik satu-satunya Samsi Nasution sudah harus menjadi pedagang kali lima menjual barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta. Di pasar itu pula, ibunya, Ramlah Dougur Lubis berjualan cendol. Sementara itu, ayahnya, R. Rachmat Nasution, bergerilya melawan Belanda dalam Clash II pada 1947-1948.


Dalam sebuah cerita dikisahkan pada 13 Juni 1967, dalam satu pertemuan di Istana Negara, Jakarta, seorang lelaki kurus berkulit legam membuat suasana menjadi tegang. Ia melontarkan kalimat yang waktu itu haram bahkan untuk sekadar disusun di dalam pikiran: ABRI rakus.

Waktu itu, era Orde Baru sedang dalam "masa bulan madu". Soeharto memerintah dengan gaya yang 180 derajat berbeda dari Soekarno. Geliat politik ditekan. Di pos-pos penting, termasuk yang terkaitpaut dengan ekonomi dan pembangunan, Soeharto meletakkan petinggi-petinggi ABRI. Satu mekanisme kerja yang kemudian disebut dengan istilah Dwi Fungsi.


Bersama sejumlah rekannya yang "sama gilanya", Adnan Buyung Nasution, lelaki kurus berkulit legam itu, menentang kebijakan Soeharto. Ia menyebut dwi fungsi ABRI sebagai celah bagi para petinggi militer untuk melakukan korupsi, juga kolusi dan nepotisme, sehingga harus ada rambu-rambu untuk mencegahnya.


Buyung tak lelah menyampaikan pemikiran ini. Ia berbicara di mimbar-mimbar terbuka maupun bawah tanah. Ia menulis di koran, menulis di pamplet, menyebarkan selebaran. Ia berdemonstrasi. Dan dua rangkai kata itu menjadi puncaknya. Bersama Harjono Tjitrosoebeno, Erie Sudewo, Fuad Hassan, dan Reen Moeliono, ia datang membawa sejumlah dokumen tertulis.


"Saya bilang, ABRI rakus dan makin dalam terlibat kasus korupsi. Saya membawa dokumen- dokumennya dan meminta pada Pak Harto untuk membersihkan para koruptor ini, menyeret mereka ke pengadilan. Sesudah saya mengatakannya, Pak Harto menatap saya tajam-tajam.

Wajahnya memerah. Sejenak, dadanya naik turun cepat pertanda nafasnya memburu. Saya tahu dia marah sekali. Tapi kemudian, Pak Harto, bisa menguasai diri. Dia pergi meninggalkan kami begitu saja. Besoknya, di koran-koran, muncul berita yang antara lain berisi kalimat, 'kalau bukan saudara Buyung yang mengatakan, pasti sudah saya tempeleng'. Mungkin kalau kesempatannya berbeda, Pak Harto benar-benar akan menempeleng saya," kata Buyung seperti dipapar dalam bukunya, "Pergulatan Tiada Henti: Dirumahkan Soekarno Dipecat Soeharto."


Adnan Buyung memang pembangkang kelas satu di panggung kekuasaan Soaharto yang begitu absolut. Dia tidak cuma berani berbicara. Dia berteriak lantang saat bahkan orang berpikir seribu kali untuk sekadar membantah. Ia tegak menantang Soeharto dan orang-orang kepercayaannya, tak terkecuali empat jenderal penegak panji-panji Orde Baru: Leonardus Benjamin Moerdani, Soedomo, Ali Moertopo, dan Yoga Soegama (plus orang dekat sekaligus penasihat spiritual, Soedjono Hoemardani).


Apakah Buyung tidak takut? "Saya masih manusia. Saya takut. Kadang malah takut sekali. Tapi saya tidak bisa diam ketika banyak orang menjadi korban ketidakadilan." Akibat kenekatannya, tak sekali dua kali Adnan Buyung Nasution dijebloskan ke balik jeruji. Ancaman kekerasan tentu lebih sering. Beberapa kali ke kantornya, juga ke kediamannya, dialamatkan paket atau pesan berisi teror. Desakan penerintah Orde Baru sempat pula membuatnya hengkang dari Indonesia. Diasingkan dengan alasan klasik "disekolahkan". Buyung menelan semua itu, dan tetap melawan, tetap ribut.


Dalam satu momentum usai Kopassus menuntaskan drama pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla di Bandara Don Muang, Thailand, tahun 1981, Panda Nababan, wartawan Sinar Harapan yang di kemudian hari menjadi politisi, menuliskan bagaimana dia dipanggil oleh Benny Moerdani.


Panda, seperti dituliskannya dalam buku "Menembus Fakta", diminta Benny agar menuliskan laporan untuk Sinar Harapan sesuai kronologis yang dikeluarkan ABRI. Bahwa seluruh pembajak mati tertembak. Padahal menurut Panda, ada dua pembajak yang tertangkap hidup-hidup.
Saat Panda mempertanyakan alasan "penyeragaman berita" ini, Moerdani mengatakan pemerintah tidak ingin ada gejolak. "Nanti akan ada banyak pertanyaan. Nanti banyak yang ribut. Adnan Buyung pasti ribut."


Kalimat manusia paling ditakuti di Indonesia pada masa itu (selain Soeharto) ini, sedikit banyak sudah bisa menggambarkan posisi Adnan Buyung Nasution. Ia bukan cuma berdiri sebagai praktisi hukum, tapi juga kontrol sosial tangguh bagi pemerintahan yang dijalankan dengan tangan besi.
Oleh orang-orang yang dekat dengannya, Buyung, sebagaimana halnya anak Sumatera, disapa Abang. Dia juga menyebut dirinya begitu. Sapaan yang akrab, dan memang, ia adalah orang yang akrab dengan siapa saja. Saya pernah beberapa kali bertemu dengannya dan bercakap-cakap dan bertanya ini dan itu, dan dia menyambut tiap kalimat saya tanpa sedikit pun mengesankan dirinya sebagai orang besar.


Pada 23 September 2015, tepat sehari sebelum Lebaran Haji Adnan Buyung Nasution meninggal dunia.

Tokoh Lainnya

Erick Thohir

Erick Thohir

Menteri Kementrian BUMN
Ganjar Pranowo

Ganjar Pranowo

Gubernur Provinsi Jawa Tengah
Bambang Soesatyo

Bambang Soesatyo

Anggota Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar
Hidayat Nur Wahid

Hidayat Nur Wahid

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Zulkifli Hasan

Zulkifli Hasan

Ketua MPR RI
Joko Widodo

Joko Widodo

Presiden RI
Sandiaga Salahuddin Uno

Sandiaga Salahuddin Uno

Menteri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Agus Harimurti Yudhoyono

Agus Harimurti Yudhoyono

Staff TNI Angkatan Darat
Budi Karya Sumadi

Budi Karya Sumadi

Menteri Perhubungan
Prabowo Subianto Djojohadikusumo

Prabowo Subianto Djojohadikusumo

Menteri Kementerian Pertahanan