Menuju konten utama

Upaya Sekber 65 Lakukan Rekonsiliasi Kasus HAM di Tingkat Lokal

Baskara T. Wardaya S.J mengatakan, rekonsiliasi tragedi kemanusiaan 65 di tingkat lokal dan nasional sama pentingnya, meskipun tetap harus realistis.

Upaya Sekber 65 Lakukan Rekonsiliasi Kasus HAM di Tingkat Lokal
Sejarawan Baskara T Wardaya, Koordinator Sekber 65 Winarso dan sutradara Firman Fajar Wiguna dalam diskusi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Jumat (17/5/2019). tirto.id/Alexander Haryanto

tirto.id - Koordinator Sekber 65 Winarso mengatakan, institusinya lebih menekankan rekonsiliasi dalam menyelesaikan tragedi kemanusiaan 1965. Pasalnya, kata Winarso, pelanggaran HAM berat 65 ini adalah kasus yang kompleks dan rumit karena terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.

“Tragedi 98 yang terjadi di Jakarta saja belum selesai, apalagi kasus 65 yang di seluruh Indonesia,” kata Winarso dalam diskusi dan pemutaran film “Sum” di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Jumat (17/5/2019).

Kedua, menurut Winarso, para pelaku utama dalam kasus 65 juga banyak sudah meninggal, sehingga sulit untuk mengadilinya. Sementara ketiga, untuk menghindari adanya konflik horizontal karena bisa mengakibatkan guncangan situasi politik.

Winarso yang sudah belasan tahun mendampingi korban tragedi 65 ini mengatakan, memang tidak mudah dalam melakukan rekonsiliasi, apalagi kasus ini cenderung ditutup-tutupi negara, tapi bukan tidak mungkin dilakukan.

Beberapa cara yang Sekber 65 dilakukan, kata dia, adalah dengan membuat organisasi, membangun jaringan tokoh lintas agama serta melakukan pertemuan rutin antar-korban. “Pertemuan para korban ini bisa menghilangkan trauma mereka, sehingga mereka bisa jauh lebih kuat dan tidak merasa sendiri,” kata Winarso.

Menurut dia, rekonsiliasi tingkat lokal yang mereka lakukan juga sudah menunjukkan hal positif, salah satunya forum masyarakat lansia, yang pada akhirnya bisa membuat Pemerintah Kota tergerak merealisasikan peraturan yang melindungi para lansia.

Namun, ia juga menjelaskan beberapa kendala, seperti birokrasi pemerintah yang masih tertutup, kecurigaan aparat keamanan, kelompok intoleran hingga isu bangkitnya komunis baru.

Padahal, kata Winarso, para orang tua tersebut adalah korban dari tragedi kemanusiaan sehingga negara harus hadir untuk melindungi mereka. Namun, ia menekankan pentingnya untuk mengkampanyekan isu ini hingga ke luar negeri agar tidak hanya dibicarakan di dalam negeri saja.

“Tekanan dari luar negeri untuk pemerintah penting, sehingga isu ini tidak hanya berkutat dalam negeri saja,” kata dia.

Dalam kesempatan itu, Winarso juga menceritakan seorang korban tragedi 65 bernama Sumiati (Sum) yang turut dipenjara tanpa proses pengadilan, lantaran ikut bergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI), padahal dia belum diputuskan bersalah.

Kisah hidup Sum, panggilan akrab Sumiati, pernah diabadikan Winarso dan kawan-kawannya di Sekber 65 ke dalam Majalah Palawa, media milik mereka sendiri. Cerita ini pada akhirnya ikut mengilhami sineas muda Firman Fajar Wiguna (Igun) untuk menjadikannya film dokumenter berjudul “Sum”.

Menurut Igun, kisah hidup Sum sangat menarik karena masih tetap kritis, gigih dah disiplin meski sudah berusia sekitar 80 tahun. Akibat dipenjara, Sum hidup sebatang kara lantaran diceraikan oleh suaminya yang pada waktu itu seorang militer.

“Mbah Sum ini adalah satu-satunya korban 65 yang masih hidup di Purbalingga,” kata Igun.

Kisah-kisah hidup Sum inilah yang membuat Igun tertarik mendokumentasinya ke dalam film. “Film ini akhirnya berhasil mendapat beberapa penghargaan,” kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Sejarawan sekaligus Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Manusia (Pusdema) Baskara T. Wardaya S.J mengatakan, idealnya tragedi kemanusiaan 65 ini ditempuh melalui jalur pengadilan karena sudah memakan banyak korban jiwa dan ada pelanggaran HAM.

“Tapi kan realistically speaking-nya hampir enggak mungkinlah mengingat bahwa [...] para pelaku sudah meninggal, ada konflik horizontal dan segala macamnya, kita tetap harus rekonsiliasi,” kata Baskara.

Kendati demikian, Baskara menekankan semua pihak harus menghargai apabila ada yang menginginkan kasus ini diselesaikan melalui pengadilan. “Itu kan baik juga, tapi perlu juga ditekankan pada rekonsiliasi,” ungkapnya.

Akan tetapi, menurut Baskara, rekonsiliasi ini harus dilakukan di tingkat lokal dan nasional, meskipun tetap harus realistis dalam melakukannya.

“Rekonsiliasinya harus di tingkat nasional, itu idealnya sih, tapi secara realistis kan tidak mudah rekonsiliasi nasional itu. Tapi harus diusahakan, yang di tingkat bawah juga harus diusahakan, rekonsiliasi di tingkat lokal,” kata dia.

Menurut dia, hal ini penting untuk dua hal, yang pertama ada banyak survivor sudah tua, apabila mereka menunggu sampai rekonsiliasi nasional terlaksana, maka para korban ini tak kunjung mendapatkan trauma healing dan pelayanan kesehatan.

Sementara yang kedua, kata dia, adalah rekonsiliasi di tingkat lokal. Menurut dia, hal ini penting dilakukan untuk menyadarkan bangsa dan generasi muda mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1965 dan setelahnya.

“Ini adalah bagian dari pendidikan untuk masyarakat. Mengapa pendidikan itu penting? Pertama, supaya kita memiliki pengetahuan sejarah yang tinggi, baik yang positif, maupun yang gelap seperti 65 ini. Kedua, supaya masalah ini tidak terjadi lagi” kata Baskara.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI 1965 atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Addi M Idhom