tirto.id - “Jaringan antara bulan Syawal yang satu dengan Syawal yang lain ada dalam kondisi cerai-berai, tersebar ke mana-mana. Tetapi, pas pada dua hari riyaya itu, jaringan itu akan terpaut kembali menjadi satu jagat yang utuh, hangat dan bersemangat, mangan ora mangan waton kumpul,” tulis Umar Kayam dalam kolom berjudul “Mudik Lebaran dan Rigenomics.”
Mudik sudah seharusnya jadi momen penuh sukacita. Setelah terpisah sekian lama dari keluarga dan handai taulan, wajar bila bagi banyak orang peristiwa pulang kampung itu punya makna sangat dalam.
“Bis jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk ikut terangkut. Orang begitu berjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapapun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik. Bawaannya ber-genteyong-an di pundak dan punggungnya, belum lagi tangannya yang mesti menggandeng kedua anak-anaknya yang masih kecil,” demikian Umar Kayam menggambarkan upaya mudik dalam cerpennya “Ke Solo, Ke Njati.”
Pada cerpen di atas, sastrawan sekaligus sosiolog ternama itu dengan apik menggambarkan betapa mahalnya pulang kampung bagi orang-orang yang tinggal dan bekerja di perantauan. Mahal bukan saja dalam arti ongkos yang mesti dikeluarkan, tetapi waktu dan kesempatan untuk melakukan mudik pun tidak selamanya tersedia bagi sebagian kalangan.
Namun, zaman bergerak dan perubahan niscaya. Kita boleh gembira mengingat moda transportasi buat mudik saat ini tak sesulit dulu lagi. Sekarang, alat-alat transportasi melimpah di darat, laut, dan udara. Kendaraan pribadi pun bertebaran di mana-mana. Di saat bersamaan, pihak pemerintah dan swasta tak sedikit yang memberikan fasilitas mudik bersama.
Tahun lalu, Kementerian Perhubungan mencatat 18.603.081 orang melakukan mudik lebaran dan 4.978.909 kendaraan memenuhi jalanan. Bukan kabar baru bila tiap kali mudik angka kecelakaan (baik mayor maupun minor) meningkat. Jika sudah begitu, alih-alih dirayakan penuh sukacita, meminjam ungkapan Umar Kayam, “lebaran pun datang bagai air bah.”
Mengendalikan Pengeluaran
Salah satu faktor penting menjalani mudik adalah kendaraan. Karenanya, seperti halnya menyiapkan aneka buah tangan buat sanak saudara di kampung, menyiapkan kendaraan agar berada dalam kondisi prima pun seharusnya menjadi perkara yang tidak dipandang sebelah mata. Anda bisa fokus menghabiskan masa-masa mudik bersama orang-orang terkasih bila dan hanya bila urusan kendaraan serta elemen penting penunjang mudik lainnya tidak menimbulkan masalah. Tapi, kalaupun kemudian kendaraan Anda bikin masalah, sekecil apa pun bentuknya, biarlah itu diselesaikan Garda Oto.
Menawarkan berbagai fasilitas, perusahaan asuransi kendaraan tersebut berkomitmen membuat perjalanan Anda kian nyaman dan tenang—tak terkecuali di masa mudik. Dengan tagline “Peace of Mind”, Garda Oto menjamin kerugian atau kerusakan pada kendaraan bermotor yang disebabkan oleh tabrakan, perbuatan jahat, pencurian, kebakaran, dan semua risiko yang dijamin polis.
Membuat polis asuransi menjelang mudik sebetulnya bisa dilihat juga sebagai upaya mengendalikan pengeluaran hari raya. Sebagai gambaran, perbaikan minor kendaraan seperti penggantian spion, kap, bumper, dan lampu di bengkel resmi kawasan Jakarta rata-rata menghabiskan biaya antara Rp5,3 juta-Rp6,7 juta sekali jalan. Bayangkan betapa banyak uang yang mesti keluar bila tidak terlindungi asuransi. Lebaran benar-benar bisa datang seperti air bah. Tegasnya, mengutip Umar Kayam lagi, “Pengeluaran dan pengeluaran itu lho, yang datang bagai air bah.”
Lepas dari soal di atas, Garda Oto juga memiliki aplikasi Garda Mobile Otocare yang dapat digunakan siapa saja, termasuk yang bukan klien Garda Oto. Tidak sebatas menawarkan atau mengabarkan berbagai hal mengenai produk asuransi, pada Garda Mobile Otocare, Anda juga akan menemukan berbagai macam informasi seputar aktivitas berkendara yang komprehensif. Singkatnya, dengan mengunduh Garda Mobile Otocare menjelang mudik, satu kebutuhan sudah Anda siapkan.
Editor: Advertorial
