Tempat & Tanggal Lahir
Palembang, Sumatera Selatan, 10 Oktober 1968
Karir
- Anggota DPR RI (2009 - 2014)
Pendidikan
- Fisipol Universitas Katolik Parahyangan Bandung
Detail Tokoh
Jakarta, 2 Februari 1998, Pius Lustrilanang sedang berada di depan RSCM. Waktu menunjukkan pukul 15.30 sore saat ia sedang menunggu bus, hingga kejadian bak adegan film aksi yang akan mengubah hidupnya secara tak terduga datang menghampiri.
Kejadian horor itu diwakili oleh seorang misterius yang datang dari belakang Pius dan langsung menodongkan pistol ke punggungnya. Sebuah mobil Toyota Twin Camry abu-abu berhenti mendadak di depannya. Pius dipaksa masuk mobil. Di dalam mobil, Pius diborgol dan matanya ditutup kain hitam oleh tiga orang lain yang sudah menunggunya. Kepala Pius ditutup dengan jaket saat seseorang berteriak, “Langsung ke arah Bogor.”
Mobil bergerak dan menempuh perjalanan selama satu jam. Saat tiba di suatu tempat, Pius langsung digiring ke sebuah ruangan tertutup. Pius masih mengingat dengan baik kata-kata pembuka yang diucapkan oleh si penculik.
"Tidak ada HAM dan tidak ada hukum di sini, yang harus kamu lakukan adalah menjawab setiap pertanyaan. Dan ingat, ada orang yang mati setelah keluar dari tempat ini dan ada juga yang hidup. Jadi jika kamu ingin hidup, jawablah yang benar."
Tak hanya diintimidasi lewat kata-kata, Pius kemudian diinterogasi dengan kejam. Pius disetrum jika terlambat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya, apalagi jika Pius tak memberi jawaban. Terkadang borgol dan penutup matanya dilepas agar kepala Pius bisa dengan mudah dibenamkan ke bak air. Pius hanya bisa meronta. Kepalanya berulang kali dicelupkan ke dalam air hingga Pius kehabisan nafas, ditarik lagi, dibenamkan lagi, begitu seterusnya hingga 2 sampai 3 hari ke depan.
Selama diculik, Pius ditempatkan di sebuah sel penjara. Pius masih mengingat warna selnya yang krem, berjeruji besi, dan berukuran sekitar 2 x 2,5 meter. Ada tempat tidur dari kayu berukuran 1,5 m x 80cm. Ada juga bak mandi porselen setinggi satu meter untuk menyiksa Pius dengan motode penenggelaman kepala.
Pius berada di sel selama hampir 2 bulan sebelum ia dibebaskan pada tanggal 2 April 2015. Selama di tempat penculikan ia tak mengetahui pasti dimana ia berada. Berdasarkan analisisnya hasil curi-curi pandang, ia menebak jika ia ditempatkan di sebuah kompleks kemiliteran, semacam kompleks Kodim.
Tiap pagi hingga pukul 10 dan sorenya ia rutin mendengar deru pesawat terbang dari jarak rendah baik untuk landing maupun take off. Tiap pukul 3 sore juga rutin terdengar bunyi terompet tanda apel akan segera dimulai.
Para penculik menanyai Pius tentang kegiatan politik yang dilakukan oleh Pius selama dua bulan terakhir menjelang Sidang Umum Maret. Para penculik juga menanyakan tentang mengapa Pius dan teman-temannya di Siaga atau Solidaritas Indonesia Untuk Amien Rais dan Megawati menolak pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden serta mengapa alternatifnya Amein atan Mega. Pertanyaan-pertanyaan lain lebih mendetail tentang apa saja yang sudah dilakukan Siaga, siapa saja yang hadir di rapat pembentukannya, rencana apa saja yang dilakukan Amien dan Mega, perjanjian Pius yang dibuat dengan Amien dan Mega, dan lain sebagainya.
Selama 2 bulan penculikan berlangsung, Pius tekadang mendapat pertanyaan bernada bully-an. Semisal Pius diminta menebak siapa yang menculiknya atau dimana ia ditempatkan. Pius selalu menebak “Koppasus atau BIN” dan jawaban tersebut membuat para penculik yang tadinya tertawa riang mendadak diam.
Pius hanya meyakini, bahwa para penculiknya pasti dari kalangan militer. Tak mungkin baginya pelaku berlatar belakang mafia ataupun preman sebab senjata yang dipegang para penculiknya adalah tipe senjata yang dimiliki militer. Distribusi senjata di Indonesia juga hanya bagi polisi atau militer.
Pius makin yakin sebab salah satu korban penculikan yang sekaligus kawan dekat Pius, Sonny, diculik oleh anggota Kodim pada pertengahan 1997 saat sedang ramai kampanye pemilu. Sonny adalah korban penculikan yang paling lama ditahan. Hingga 9 bulan lamanya.
Pius dan Sonny adalah dua dari sekian banyak aktivis yang diculik oleh Tim Mawar bentukan Kopassus di awal tahun 1998. Aktivis lain yang diculik antara lain Desmon J. Mahendra, Haryanto Taslam, Faisol Riza, Raharjo Waluyo Jati, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun dan Yani Arif. Mereka yang tak pernah kembali dan tak pernah ditemukan adalah Herman Hendrawan, Sonny, dan Yani Arif.
Publik Indonesia mengagumi keberanian Pius saat ia melaporkan kejadian penculikannya ke Komnas HAM. Pius sendiri mengaku diancam untuk tidak menyebarkan kasus tersebut. Ancamannya adalah pembunuhan. Tak hanya jiwa Pius yang terancam, namun juga jiwa ibu dan saudara-saudaranya.
Namun, tekad Pius kuat. Ia tak ingin menjadi pengecut. Lagipula, ia ingin rakyat Indonesia yang belajar banyak dari pengalamannya. Dan yang jelas, ia ingin apa yang dialaminya tak terjadi lagi kepada orang lain, terutama orang-orang pergerakan yang kritis terhadap pemerintah.
Pius adalah aktivis asal Palembang. Ia menempuh sekolah menengah di Yogyakarta dan tamat pada tahun 1987. Ketertarikannya pada ilmu politik membawanya meneruskan studi ke Jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Parahyangan.
Bisa dibilang Pius bukan berasal dari keluarga aktivis, namun ayahnya adalah seorang guru Besar Fakultas Teknik Kimia di Universitas Sriwijaya, Palembang. Tentu sang ayah ingin Pius juga menempuh pendidikan yang setinggi-tingginya. Namun Pius tak hanya mengejar gelar akademik selama kuliah. Lewat dunia kampus, ia bertemu dengan kawan-kawan seorganisasi yang tepat dan bisa menyalurkan bakat kritis Pius dengan baik.
Pius kemudian terlibat aktif bersama kawan-kawannya dalam kegiatan advokasi membela elemen masyarakat kecil yang tertindas. Ia pernah turut membela para petani di Badega, Jawa Barat. Di sana ia memperoleh pengalaman pertamanya merasakan praktik kekerasan oleh aparat.
Ia juga terlibat dalam demonstrasi mendukung Megawati atau yang lebih dikenal dengan kasus 27 Juli di Bandung. Pun di kala itu ia mendapat “hadiah” kekerasan aparat berupa luka memar di 14 titik di tubuhnya.
Tahun 1998, kasus penculikan dan penghilangan aktivis yang melibatkan dirinya adalah kasus kekerasan aparat paling kejam yang pernah Pius alami.
Setelah merasa perjuangannya menang melawan kediktatoran Soeharto, ia lalu meniti karier di bidang politik. Beberapa partai politik pernah menjadi tempat persinggahannya. Bahkan dia sempat menginisiasi berdirinya beberapa partai baru, walaupun akhirnya parta-partai tersebut tak lolos verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu.
Dari beberapa parpol yang pernah menampung Pius, yang paling mengejutkan publik adalah keputusannya untuk bergabung bersama Gerindra. Seperti yang diketahui, Gerindra adalah parpol bikinan Prabowo Subianto, mantan anggota Koppasus yang ada hubungannya dengan Tim Mawar, tim penculik Pius dan kawan-kawan. Bahkan langkah Pius juga diikuti oleh korban penculikan lain seperti Haryanto Taslam, Desmond Junaidi Mahesa dan Aan Rusdianto.
Penjelasan Pius atas sikap yang dianggap aneh itu adalah bahwa dari sekian banyak partai yang berusaha ia masuki atau ia bentuk, hanya dengan Gerindra ia merasa ada chemistry. Ia juga berpendapat jika Gerindra punya semua syarat untuk menjadi besar.
Untuk soal Prabowo, secara personal Pius tak menganggap ia terlibat kasus penculikan. Baginya, otak intelektual paling berdosa dari penculikan dan penghilangan aktivis tetap lah si penguasa 32 tahun Orba berkuasa: Jenderal Soeharto.