Tempat & Tanggal Lahir
Jakarta, 21 Februari 1939
Karir
- Perwira Militer Indonesia
Detail Tokoh
Jakarta, 30 September 1965. Di sela-sela tugasnya menjaga kediaman Jenderal Abdoel Haris Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menko Hankam/KASAB, Pierre sangat merindukan ibunya. Hari itu adalah hari spesial sebab bertepatan dengan ulang tahun sang ibunda. Pierre sudah merencanakan untuk pulang ke Semarang saat tugasnya sudah selesai. Ia tinggal menyelesaikan shift sore sebelum digantikan oleh AKP Hamdan Mansjur yang akan berjaga hingga malam.
Kondisi sore yang masih hening dan kondusif tiba-tiba dikejutkan oleh serombongan orang bersenjata api lengkap, datang menyerbu kediaman AH Nasution. Insting Pierre langsung menebak bahaya yang dibawa rombongan tersebut, dan bahaya itu berkenaan dengan pimpinan yang dijaganya.
Pierre pintar membaca situasi politik Indonesia masa itu yang memang sedang genting-gentingnya. Sebagai seorang ajudan yang baik serta prajurit yang berjiwa ksatria, ia segera menyusun skenario untuk menyelamatkan AH Nasution.
Tindakannya terbilang amat berani. Ketika rombongan memasuki gerbang, Pierre maju menghadangnya dan mengaku sebagai AH Nasution. Rombongan yang memang mengincar nyawa AH Nasution langsung bertindak. Mereka tertipu sebab wajah Pierre agak mirip dengan AH Nasution. Pierre segera ditangkap dan diikat di sebuah pohon besar di depan rumah.
Tak hanya diamankan dengan kasar, Pierre juga mendapat sejumlah siksaan dan penganiayaan. Dipukul, ditendang, dihantam dengan popor senjata, sampi dilukai dengan bayonet.
Rombongan yang beringas itu adalah gerombolan atas nama Tjakrabirawa yang sedang ditugaskan untuk menculik beberapa Jenderal serta petinggi militer Indonesia dalam rangka melancarkan sebuah pemberontakan. Pemberontakan yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S.
Saat tersadar bahwa yang mereka siksa bukanlah AH Nasution yang sebenarnya, gerombolan Tjakrabirawa muntab. Pierre ditembak tubuhnya beberapa kali, lalu ditinggalkan begitu saja.
Pierre Andreas Tendean berpangkat sebagai kapten militer saat huru-hara 1965 terjadi. Ia lahir di Jakarta pada tanggal 21 Februari 1939. Orang tuanya adalah A. L. Tendean yang asli Minahasa dan Cornel M. E yang keturunan Belanda-Prancis. Atas kondisi blasterannya, tak heran ia dikenal oleh peserta didik pelajaran sejarah nasional Indonesia sebagai Pahlawan Revolusi paling tampan.
Sebagai seorang dokter, ayah Piere sempat berpindah tempat praktek mulai dari Jakarta, Tasikmalaya, Cisarua, Magelang, dan Semarang. Pierre yang ikut ayahnya sempat mengenyam pendidikan dasar di Magelang. Sekolah menengah pertama dan menengah atas ia lanjutkan di Semarang.
Ayahnya ingin Pierre mengikuti jejaknya sebagai seorang dokter. Atau alternatif lainnya jadi insinyur. Namun cita-cita Pierre yang kuat sebagai tentara sejak kecil akhirnya membuat dirinya untuk berani menolak permintaan sang ayah. Pierre menemukan jalan takdirnya saat ia diterima di Akademi Militer Nasional. Dan di tahun 1958, tekadnya yang kuat membawa Pierre berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat. Ia lulus di tahun 1962.
Tugas pertamanya adalah menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun kemudian ia melepaskan jabatan tersebut karena mengikuti pendidikan di Sekolah Intelijen. Saat Indonesia berkonfrtontasi untuk mengganyang Malaysia, Pierre termasuk yang dikirim di garis terdepan. Tugasnya adalah memimpin kelompok sukarelawan di beberapa lokasi di tanah air.
Kesuksesannya memimpin konfrontasi membuat sosok Pierre semakin diperhitungkan. Ia kemudian mendapat promosi sebagai Letnan Satu/Lettu sekaligus pengawal pribadi Jenderal AH Nasution. Di penugasan itulah dirinya menjemput ajal. Sayang, keluarganya di Semarang mengetahui perihal kemaitan anaknya jauh hari kemudian, tepatnya tanggal 4 Oktober 1965 lewat siaran radio.
Pierre dikenal keluarganya sebagai pribadi yang tangguh. Saat Pierre kecil, ia sudah punya kepedulian terhadap kondisi keluarganya. Pierre giat menanam singkong, ubi, pepaya, dan beberapa jenis tanaman sayur lain untuk meringankan beban ekonomi keluarganya.
Pierre muda sudah menjadi daya tarik bagi kaum hawa. Tak hanya parasnya yang tampan hasil perpaduan Minahasa-Prancis, Pierre muda juga aktif terlibat dalam lomba olahraga antar kampus. Kesukaannya adalah bergabung dengan tim basket.
Saat Pierre menjadi pengawal AH Nasution, gadis-gadis sering berseloroh bahwa saat AH Nasution berceramah, “Telinga kami untuk Pak Nas (panggilan akrab AH Nasution), tapi mata kami untuk ajudannya (Pierre)”. Saking populernya, oleh gadis-gadis remaja dari Bandung Pierre sampai mendapat julukan “Robert Wagner dari Panorama”.
Walaupun populer di kalangan wanita, Pierre tak lantas menjadi lelaki hidung belang. Hatinya berlabuh ke seorang wanita bernama Rukmini Chaimin. Mereka bertemu saat Pierre bertugas di Medan. Untuk menunjukkan keseriusan hubungan, mereka juga sudah merencanakan pernikahan di akhir tahun 1965. Sayang, rencana indah itu gagal saat tragedi berdarah di penghujung bulan September merenggut nyawanya.
Pierre akan selalu dikenang sebagai Pahlawan Revolusi. Terlepas dari kontroversi sejarah atas dalang peristiwa G 30 S yang sesungguhnya, Pierre adalah pahlawan pemberani untuk Jendera AH Nasution beserta keluarga.