Tempat & Tanggal Lahir
Surabaya, 1 Mei 1922
Karir
- Sejarawan dan Cendekiawan Indonesia
Detail Tokoh
Sejak 2001, sejarawan Ong Hok Ham terkena stroke yang membuat aktivitasnya jadi terbatas. Meski demikian, Ong tetap aktif menulis di media dan makan makanan enak yang jadi kegemarannya. Di malam hari pada 31 Agustus 2007, Ong masih menikmati menu makan malam enak yang disediakan Rochmat, salah satu orang yang mengurus Ong selama dia sakit. Menu makan malam itu adalah kentang goreng dan bistik kakap merah. Makanan itu dilahap Ong sampai habis dan rupanya itu jadi santap malam terakhirnya.
Setelah makan malam itu, Ong di atas kursi rodanya didorong menuju kamar tidurnya. Tepat di depan televisi kursi roda itu berhenti. Ong hendak menikmati malam itu dengan menonton beberapa acara televisi. Namun tak lama setelah aktivitas menonton itu terjadi, kepala Ong tiba-tiba menunduk ke kiri. Dalam kesunyian itu, sang sejarawan besar telah berpulang.
Sebelum dikremasi, Ong dibaringkan dalam peti dengan memakai baju Tionghoa berwarna merah maroon hadiah dari perancang busana Peter Sie di ulang tahun terakhirnya. Pada bibirnya diselipi sebutir mutiara. Dalam kepercayaan Buddha, tindakan itu dimaksudkan agar Ong "nun di sana" tidak akan mengeluarkan kata-kata kotor. Upacara pemakaman di Rumah Duka Rumah Sakit Dharmais, Jakarta, dilakukan dengan upacara Buddha, Katolik, dan Khonghucu pada Minggu malam. Senin, 3 September, jenazahnya dikremasikan di Tangerang.
Perjalanan Ong
Ong lahir pada 1 Mei 1922 di Surabaya. Kakeknya adalah seorang kapitan China di Pasuruan. Ibunya yang bermarga Han, berasal dari golongan elite yang menjadi salah satu golongan konglomerat pertama waktu itu. Ayahnya, setelah menamatkan pendidikan dari Hogere Burger School (HBS), berjalan-jalan ke Eropa dan setelah itu bekerja pada kantor asuransi. Dari pasangan ini, lahir empat orang anak, tiga laki-laki dan seorang perempuan, masing-masing diasuh oleh pengasuhnya. Ong sendiri mengaku diasuh oleh seorang embok yang mengajarinya sedikit tentang budaya Jawa. Kata Ong, orangtuanya yang berkelimpahan uang, sepanjang hari lebih asyik main mahyong.
Orang tuanya baru duduk berkumpul bersama anak-anak pada malam hari untuk makan malam. Makan bersama selalu menjadi kejadian istimewa karena ruang makan yang mewah dan makanan yang melimpah. Dalam gaya “Belanda-belandaan”, para pelayan sibuk melayani makan malam keluarga ini. Keluarga Ong memang menjalan hidup bergaya Belanda. Cara berbicara, cara makanan, dan cara berpakaian, semua bergaya Belanda. Ong sendiri sewaktu kecil punya panggilan akrab Sinyo Hansje. Gaya hidup yang serba Belanda ini kurang begitu disenangi Ong karena keluarganya yang nampak kaya dan kebelanda-belandaan membuat mereka hanya hidup bergaul dalam lingkaran yang itu-itu saja. Oleh karena itu, Ong tidak cukup supel.
Onghongkham tidak banyak mewarisi sifat-sifat orang tuanya kecuali kegemaran makan enak dan berpesta. Salah satu sahabat Ong, Toeti Kakiailatu, mengatakan bahwa semasa masih sehat, tidak ada undangan pesta dari orang-orang kaya di Jakarta yang Ong lewatkan begitu saja. Ong sendiri juga gemar mengundang beberapa temannya untuk makan malam. Dia sendiri yang pergi berbelanja dan memasak makanan yang akan dihidangkan untuk pesta. Dengan naik kendaraan umum karena tidak punya mobil pribadi, dia pergi belanja macam-macam. Ong tahu daging babi yang baik ada di Pasar Senen, daging sapi berkualitas di Blok M, dan ikan bandeng segar di Pasar Pagi. Dengan berpanas-panas, tak segan dia menyeberang jalan dengan menenteng seabrek belanjaan.
Pada malam harinya Ong berpakaian bersih, melayani tamu yang diundangnya. Masakan yang digemarinya adalah sambal gandaria, bandeng bakar, dan babi hong. Yang terakhir tentu saja tidak dihidangkan bagi tamu-tamu yang tidak makan babi.
Kegemaran pesta ini lebih istimewa tatkala Ong berulang tahun pada 1 Mei. Undangannya selalu dimulai dengan sebutan Mayday, mayday yang bisa segera dipastikan itu undangan dari Sinyo Hansje. Pesta ulang tahun Ong tak pernah sepi. Rumahnya penuh sesak oleh berbagai tamu yang datang, mulai orang-orang kedutaan, tokoh nasional, sampai artis-artis berjejalan ke pesta itu.
Kegemaran makan dan berpesta Onghongkham ditunjang dengan kemampuannya memasak. Dia menjadi mahir memasak apa saja sejak kuliah untuk mengambil gelar doktornya di Universitas Yale (1968-1974). Kemudian ketika berkunjung ke Eropa, Ong mencoba bereksperimen dengan makanan Italia, Perancis, dan China. Di Italia, Ong berteman baik dengan Ruth McVey, sejarawan yang mempunyai kastil di dekat Roma. Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1975, Ong berkata kepada David Reeve, sejarawan Australia, yang kala itu sedang menulis biografi Onghokham, "Saya kembali dengan dua keahlian. Gelar Ph.D dan memasak. Namun, memasak rasanya lebih penting."
Kegemarannya akan Ilmu Sejarah dimulai saat bersekolah di HBS. Saat masuk perguruan tinggi, Ong awalnya memilih memilih Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), baru kemudian pindah ke Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UI. Setamatnya dari Jurusan Sejarah, Ong sempat mengajar di fakultas. Sebagai dosen, Ong terkenal galak. Kalau sedang jengkel, dia akan melempar apa saja yang ada di genggamannya ke mahasiswa. Para mahasiswi yang berdandan menor terpaksa harus menghapus make-up-nya karena ketika si mahasiswi berbuat kesalahan, Ong akan mengomel dengan ucapan, "Huuh, waktumu dihabiskan dengan berpupur dan bergincu saja."
Tahun 1989 Ong pensiun. Usianya baru 56 tahun. Satu tahun setelahnya, Onghokham jadi Direktur Sekolah Tinggi dan Akademi BUDDI di Tangerang. Namun, Ong bukan tipe orang yang senang jabatan atau duduk di belakang meja. Setelah setahun dia segera minta berhenti. Ong kemudian bebas menulis di berbagai media antara lain di Kompas, Tempo, atau Prisma.
Pada tahun 2001, keaktifan Ong jadi terusik karena serangan stroke yang didapatnya pada 14 Februari di Yogyakarta. Saat itu Ong sedang menghadiri perayaan ulang tahun ke-80 Prof Sartono Kartodidjo. Sebulan setelah kejadian itu, sekelompok teman dekat Ong berniat mendirikan Yayasan Lembaga Studi Sejarah Indonesia (LSSI), yang didukung oleh Freedom Institute, majalah Tempo, dan QB World Books.
Pada ulang tahun Ong yang ke-68 diresmikanlah yayasan itu dalam sebuah pesta di Gedung Arsip, Jalan Gajah Mada 111, Jakarta. Dua tahun kemudian, pada usia yang ke-70, Ong meluncurkan dua bukunya di Auditorium Perpustakaan Nasional. Buku-buku itu adalah Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang dan The Thugs, the Curtain Thief and the Sugar Lord.