Tempat & Tanggal Lahir
Teluk Betung, Kota Bandar Lampung, Lampung, Indonesia, 4 Januari 1951
Karir
- Pendiri Global TV
- Pemimpin Redaksi Kapital
- Director of Research and Publications SUMMA, Exelentia Institute
- Anggota Dewan Riset Nasional
- Sekretaris Jenderal Yayasan Kantata Bangsa
- Ketua Departemen Pengembangan Kebudayaan ICMI
Pendidikan
- University of Paris
Detail Tokoh
Februari 1979, suasana Iran masih panas akibat revolusi yang bergulir sejak 1978. Berbagai media massa dunia berlomba-lomba meliput revolusi terbesar setelah revolusi Perancis dan Bolsevik itu. Salah satu jurnalis yang berkesempatan meliput ke Iran saat itu adalah Nasir Tamara. Nasir sesungguhnya adalah seorang mahasiswa master Antropologi dan Ilmu Politik di University of Paris, Prancis. Di saat yang sama, Nasir juga merupakan koresponden majalah Tempo di Eropa. Lantaran itulah Nasir ditugaskan meliput revolusi Iran.
Bagi Nasir, itu adalah pengalaman paling dramatis sepanjang karier jurnalistiknya. Bahkan, Nasir sudah merasa was-was sejak berada dalam pesawat yang membawanya dari Paris ke Teheran. Rupanya, Nasir menumpang pesawat yang sama dengan Ayatullah Khomeini, pemimpin spiritual dan tokoh oposisi utama Iran yang hendak kembali ke negaranya dari pengasingan. Kekhawatiran Nasir amat beralasan. Pasalnya, Khomeini adalah penentang rezim yang berkuasa di Iran saat itu.
Untunglah, apa yang dicemaskan Nasir tidak terjadi. Khomeini justru disambut dengan antusias oleh jutaan rakyat Iran dan revolusi pun berhasil. Nasir menjalankan tugasnya meliput ke Iran dengan sangat baik. Bahkan, ia tidak saja menghasilkan laporan jurnalistik yang diminta atasannya, liputan revolusi Iran itu juga menghasilkan sebuah buku yang membanggakan. Nasir memberinya judul: Revolusi Iran.
Lahir tanggal 4 Januari 1951 di Telukbetung, Bandar Lampung, Nasir berasal dari keluarga yang terpandang. Ayahnya, Tamini Abdul Rahman, adalah seorang veteran pejuang yang sangat dihormati masyarakat Kalianda, Lampung Selatan. Terlahir sebagai putra kedua dari 9 bersaudara membuat Nasir tumbuh dengan tanggung jawab untuk melindungi adik-adiknya. Nasir pun mengajarkan adik-adiknya hidup mandiri dengan nilai-nilai ajaran orang tuanya.
Setelah kembali ke Indonesia, Nasir menjadi wartawan di beberapa koran nasional seperti Suara Pembaruan dan Kompas sampai akhirnya mendirikan Republika. Jejak karier yang panjang ini membuat Nasir memiliki jam terbang tinggi. Ia pernah mewawancarai banyak tokoh dunia seperti Paus Yohanes Paulus II, mantan Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin, dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat. Pada 1993, Nasir melawat ke Jerman untuk meliput pemilihan umum. Setahun kemudian, ia ke Jepang untuk menulis tentang ekonomi dan politik.
Nasir Tamara membidani kelahiran Global TV bersama Grup Bimantara. Ia juga mengembangkan tabloid Kapital di Jakarta. Melalui Yayasan Kantata Bangsa yang beraliran sosial demokrasi, tempat ia menjadi sekjennya, Nasir menyosialisasikan ide-ide sosial demokrat dalam konteks budaya Indonesia.
Selain itu, Nasir pun pernah mengajar di berbagai universitas di Indonesia serta di School for Orientales and African Studies, University of London. Nasir juga sempat ditunjuk sebagai Fellow di Center for International Affairs, Harvard University Amerika Serikat, dan Queen Elizabeth Haouse, Oxford University, Inggris. Tak hanya itu, Nasir juga pernah menjadi fellow di East-West Center Honolulu, Amerika Serikat. Ia menjabat pula sebagai visiting senior research fellow di Institut for Southeast Asian Studies, Singapura.
Nasir Tamara pernah menulis, menerjemahkan, dan menjadi editor sekitar 20 buku, di antaranya Revolusi Iran, Perang-Irak-Iran, Hamka di Mata Hati Umat, Indonesia in the Wake of Islam, Di Puncak Himalaya Sang Dwiwarna Kukibarkan, Aburizal Bakrie: Bisnis dan Pemikirannya, Indonesia Tahun 2000, Mencuri Uang Rakyat: Korupsi di Indonesia. Ratusan artikel yang dtulis Nasir diterbitkan oleh media nasional dan internasional. Nasir juga menjadi narasumber di media-media terkemuka, baik cetak maupun elektronik. Nasir, yang senang traveling dan punya hobi berenang serta berjalan kaki, telah mengunjungi sekitar 50 negara merdeka di dunia.
Kehidupan Nasir Tamara melampaui tanah asalnya, Kalianda di Lampung. Sejak kecil, selepas SMP, ia meninggalkan tanah leluhurnya dan menetap di Jakarta, lalu melanglang buana ke Eropa. Boleh dibilang, Nasir cukup berhasil di dunianya. Semua tidak lepas dari kiat suksesnya, berpikir kreatif, berani mengakui kekurangan, dan terus mencipta. "Saya selalu mengatakan kepada anak saya agar selalu dan selalu berpikir, kreatif, dan mencipta," ujar Nasir.
Wajar jika Nasir berpesan layaknya intelektual. Latar pendidikan, pengalaman, dan pergaulannya dengan tokoh-tokoh berpengaruh mengguratkan kesadaran kritis padanya. Ia termasuk pendukung pemikiran sosial demokrasi (sosdem). "Sosdem yang saya maksud identik dengan Partai Buruh di Inggris dan gerakan-gerakan sosdem di Prancis," ucapnya.
Nasir terbilang konsisten pada pendiriannya sebagai orang yang menjunjung tinggi sosial demokrasi. Nasir sempat bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun Nasir memutuskan untuk berpisah dari partai berlambang Kabah itu karena pada awalnya Nasir ingin agar PPP bisa menjadi partai yang terbuka pada lintas agama, ras, dan hal-hal lain. Nasir menolak institusionalisasi agama, termasuk partai agama seperti PPP. Menurut Nasir, agama dan negara harus dipisahkan agar tidak tumpang tindih. Kini, di luar kehidupan dan pandangannya yang global, Nasir tengah menggarap buku tentang budaya dan masyarakat adat tanah kelahirannya, Lampung, yang telah ditelitinya selama 10 tahun terakhir.