Menuju konten utama
Maulwi Saelan

Maulwi Saelan

Ajudan Ajudan Presiden Soekarno (1965 - 1966)

Tempat & Tanggal Lahir

Makassar , 8 Agustus 1926

Karir

  • Perwira Perwira POM Komisi Militer Teritorial Indonesia (1951)
  • Komandan Komandan Detasemen CPM Bandung (1951)
  • Ajudan Ajudan Presiden Soekarno (1965 - 1966)

Pendidikan

  • Frater School Makassar
  • HBS Makassar
  • Tokubetsu Tjugako
  • SMA C Makassar
  • The Provost Marshal General’s School Fort Gordon-USA

Detail Tokoh

Maulwi Saelan yang dikenal pernah menjadi kiper tim nasional (timnas) Indonesia dan menjadi Wakil Komandan Cakrabirawa telah meninggal dunia pada Senin 10 Oktober 2016 di Jakarta. Maulwi adalah saksi sejarah kejayaan sepakbola Indoneia dan runtuhnya kekuasaan Sukarno. 

Sejak kecil ia dikenal hobi bermain sepakbola. Berbeda dengan umumnya anak kecil lain yang bercita-cita menjeadi penyerang, Maulwi kecil memilih posisi sebagai kiper. Hobi bermain sepakbola ini Maulwi peroleh dari sang ayah, Amin Saelan--seorang tuan tanah sekaligus pelatih sepakbola di Makassar. Dari sang ayah hobi Maulwi diasah untuk menjadi atlet nasional.

Hobi itu diteruskan sampai sekola di Hoger Burgelijke School (HBS), sekolah elit di jaman itu. Tapi di HBS sekolah Maulwi tidak tamat, sebab Jepang datang ke Makassar mengalahkan Belanda. Maulwi remaja lantas bergabung dengan Harimau Indonesia dan laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi bersama sang kakak, Emy Saelan, pacar Wolter Monginsidi. Di laskar inilah pengalaman militer Maulwi ditempa.

Pada 1949 Maulwi pindah ke Yogyakarta. Ia masuk dalam Corp Polisi Militer (CPM) dengan pangkat Letnan Satu. CPM dibentuk pada 20 Maret 1948 dengan Komandan Kepala Staf Angkatan Perang Komodor Udara Suryadarma. Sejak 1949 sampai 1954 Maulwi berdinas di CPM di Bandung, Purwakarta, dan Makassar.

Pada 1954 jabatan Maulwi naik menjadi Wakil Komandan Batalion VII CPM, Makassar. Jabatan ini terus ia tempati sampai 1962, sebelum dirinya ditarik ke Cakrabirawa. Pada saat menjadi wakil komandan batalion inilah cita-cita Maulwi Saelan untuk menjadi atlet sepakbola tercapai.

Pada 17 November 1956 Maulwi terpilih menjadi penjaga gawang tim nasional (timnas) di ajang Olimpiade XVI di Melbourne Australia. Bersama Ramang, Nasir, Him Ciang, Lio Hou, Kiat Sek, Sjamsoedin, Arifin, Djamiat, dan Ramli, Maulwi Saelan mengantarkan  Indonesia lolos mewakili Asia. Di Olimpiade itu Indonesia melawan Uni Soviet. 2 x 45 menit pertandingan pertama skor 0-0. Tidak ada adu pinalti untuk menentukan pemenang. Sebab ketika itu aturan adu pinalti belum diberlakukan. Pemenang ditentukan lewat pertandingan ulang dengan jeda hanya 1,5 hari.

Pertandingan pertama membuat sebagian pemain utama Indonesia cedera. Mereka tidak bisa diturunkan. Sebagian lagi kelelahan akibat dikuras pada pertandingan pertama. “Akhirnya Indonesia harus menyerah 4-0,” kata Maulwi di buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (2008).

Menjaga PSSI

Kalah melawan Soviet, Maulwi kembali ke CPM, tugas baru menanti. Pada 6 Juni 1962 Bung Karno meresmikan berdirinya Resimen Cakrabirawa. Maulwi ditunjuk menjadi wakil komandan Cakrabirawa. Sedangkan jabatan komandan ditempati Brigadir Jenderal M Sabur dari CPM Jawa Barat.

Di samping bertugas di Cakrabirawa, Maulwi ditunjuk sebagai Ketua Umum Persatuan Sepakbola Indonesia pada 1964. Penunjukan ini karena pengalamannya di dunia sepakbola Indonesia. Soekarno paham betul hubungan kekuatan olahraga dan politik.

Sebagaimana diketahui Presiden Sukarno pernah menggagas Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (GANEFO), sebagai saingan atas Olimpiade. Gagasan ini terwujud pada 1962, dan rencananya akan digelar kembali pada 1966. Penunjukan Maulwi Saelan sebagai ketua PSSI ini merupakan langkah strategis Sukarno untuk mengibarkan prestasi sepakbola Indonesia di kancah internasional—di negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non Blok.

Menjaga Presiden

Sebelum G30S Maulwi sepenuhnya mendukung politik Bung Karno. Di Istora Senayan Maulwi menjaga PSII, di Istana Negara Maulwi menjaga presiden. Sepanjang harinya ia habiskan bersama presiden sehinngga ia tahu persis yang dilakukan presiden. Sehari sebelum peristiwa 30 September itu, Sukarno memimpin upacara Musyawarah Teknisi di Istora Senayan. Maulwi ada di situ untuk menggantikan tugas Brigjen Sabur yang sedang ke Bandung. Saat itu Untung yang memimpin pengamanan. Maulwi menegur Untung karena salah satu pintu Istora Senayan dalam keadaan terbuka tanpa penjaga.

Acara itu berakhir pukul 23.30. Maulwi mendampingi Bung Karno sampai pulang ke Istana Merdeka. Pada pukul pukul 24.00 setelah melapor ke presiden Maulwi pulang ke Kebayoran baru, Jakarta Selatan. Setelah itu Bung Karno ternyata pergi lagi ke Hotel Indonesia menjemput Dewi Soekarno. Pelaksana tugas pengamanan saat itu adalah Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang dipimpin Mangil.

Pagi 1 Oktober Maulwi mendapat telepon dari ajudan lain, Komisaris Besar Sumirat. Di telpon Sumirat mengabarkan ada penembakan di rumah Wakil Perdana Menteri J Leimena. Belum sempat mengecek kabar itu, Sumirat mengabarkan lagi bahwa penembakan terjadi di rumah jenderal Nasution bukan di rumah J Leimena. Sumirat juga mengabarkan bahwa di depan Istana Negara ada pasukan tak dikenal dengan tanpa tanda-tanda pengenal.

Maulwi menelpon istana, namun tidak tersambung. Maulwi akhirnya memutuskan mencari Bung Karno ke Slipi, ke rumah Haryati. Di tengah perjalanan Maulwi berpapasan dengan voorijder anak buah Mangil. Dengan radio transmitternya Maulwi mengontak untuk mengetahu posisi Mangil. Orang yang dicari Maulwi ternyata sedang mengawal Bung Karno dari rumah Dewi menuju Istana. Maulwi memberitahu Mangil untuk tidak membawa presiden ke Istana karena ada kabar istana dijaga pasukan tak dikenal. Rombongan presiden akhirnya menuju ke rumah Haryati.

Bung Karno sampai di rumah Haryati sekitar pukul 06.30. Bertemu Bung Karni Maulwi langsung melaporkan kondisi Jakarta saat itu. Untuk memastikan kondisi Jakarta, Maulwi mengontak seluruh angkatan. Tapi tak satu pun berhasil dikontak. Maulwi lalu menugaskan Letnan Suparto untuk mencari hubungan. Suparto akhirnya bisa mengontak Panglima Angkatan Udara, Omar Dhani yang saat itu berada di Pangkalan Udara Halim.

Sesuai prosedur pengamanan presiden dibawa ke Halim yang dekat dengan akses transportasi udara. Di Halim Omar Dhani sudah menunngu. Di situlah Dhani melapor bahwa para 6 jenderal AD diculik.

Menjelang siang, Maulwi melihat Brigjen Supardjo menemui Bung Karno. Supardjo meminta petunjuk Bung Karno. Supardjo juga meminta Bung Karno untuk mendukung Gerakan 30 September sebagaimana dilakukan Untung. Presiden menolak. Ia meminta seluruh pasukan menahan diri dan akan mengambil alih persoalan di angkatan darat.

Presiden kemudian menunjuk Pranoto Reksosamudro untuk menjadi caretaker Angkatan Darat. Tapi penunjukan ini ditolak Mayjen Soeharto. Pranoto, uniknya, juga menurut dengan Soeharto. Soeharto-lah yang kemudian mengambilalih kepemimpinan AD setidaknya sampai 11 Maret 1966.

Pada tanggal itulah Soekarno meneken Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Menurut Ali Ebram, pengetik Supersemar, surat tersebut berisi perintah pengamanan presiden, namun belakangan berubah menjadi pelimpahan kekuasaan. Sejak surat itu diteken presiden, pengaruh Soeharto dalam kepemimpinan AD maupun politik Indonesia semakin kuat. Sebaliknya pengaruh politik presiden Sukarno menyusut, begitu pula dengan anak buahnya, Maulwi Saelan. Bahkan Soeharto menggerogoti kekuasaan Soekarno dengan memenjarakan orang-orang terdekatnya.

Maulwi masih menjadi ajudan Presiden Sukarno setidaknya sampai 1967. Ia termasuk ajudan presiden yang terakhir dipenjarakan Soeharto. Sebelum resmi dipenjarakan, mula-mula Maulwi hanya dimintai keterangan. Tapi belakang hari malah ditahan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat. Selama 4 tahun 8 bulan, Maulwi ditahan tanpa ada proses persidangan. Pada 1972, ia baru dibebaskan begitu saja tanpa keterangan apapun.

Setelah bebas di usia menjelang 90 tahun Maulwi masih mengelola Yayasan Syifa Budi yang ia dirikan. Yayasan ini bergerak dalam bidang pendidikan. Ia kini menjadi penjaga pendidikan setelah pensiun dari PSSi dan pengawal presiden. Maulwi kini adalah saksi terkahir detik-detik penting 30 September 1965.

Tokoh Lainnya

Joko Widodo

Joko Widodo

Presiden RI
Hidayat Nur Wahid

Hidayat Nur Wahid

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sandiaga Salahuddin Uno

Sandiaga Salahuddin Uno

Menteri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Ganjar Pranowo

Ganjar Pranowo

Gubernur Provinsi Jawa Tengah
Budi Karya Sumadi

Budi Karya Sumadi

Menteri Perhubungan
Agus Harimurti Yudhoyono

Agus Harimurti Yudhoyono

Staff TNI Angkatan Darat
Prabowo Subianto Djojohadikusumo

Prabowo Subianto Djojohadikusumo

Menteri Kementerian Pertahanan
Zulkifli Hasan

Zulkifli Hasan

Ketua MPR RI
Erick Thohir

Erick Thohir

Menteri Kementrian BUMN
Bambang Soesatyo

Bambang Soesatyo

Anggota Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar