Tempat & Tanggal Lahir
Malang, Jawa Timur, Indonesia, 5 Mei 1961
Karir
- Presiden PKS (2009 - 2014)
Detail Tokoh
“Semuanya bisa diatur. Memangnya di negeri ini nggak ada yang bisa diatur”. Kalimat itu diutarakan oleh Luthfi Hasan, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pasca Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis 18 tahun penjara, denda 1 miliar rupiah, dan dicabutnya hak politik Luthfi dalam sidang Kasasi MA yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar.
Lutfhi memang tidak terlihat panik pasca putusan itu. Seperti yang dilansir dari portal berita Tempo.co, Lutfhi mengatakan bahwa dirinya masih tetap bisa berpolitik dari balik jeruji besi.
Lutfhi divonis hukuman 16 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Hakim menilai bahwa Luthfi terbukti menerima suap sebesar Rp 1,3 miliar dari Rp 40 miliar yang dijanjikan oleh Direktur PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman serta melakukan tindak pidana pencucian uang.
Tidak hanya itu, Pengadilan juga menjatuhkan hukuman tambahan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hanya memperbaiki lamanya subsider denda, dari 1 tahun menjadi 6 bulan. Majelis kasasi juga menjatuhkan putusan 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar kepada perantara suap Luthfi, Ahmad Fathanah.
Kejadian tersebut bermula pada Selasa 29 januari 2013 lalu, saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menghasilkan penetapan dan penahanan Luthfi Hasan Ishaaq. Ketika itu, KPK menangkap Ahmad Fathanah di sebuah hotel di Jakarta. Di lokasi tersebut, KPK juga menemukan barang bukti berupa uang senilai satu miliar rupiah yang diduga merupakan uang pemberian AAE dan JE yang diperuntukkan kepada Luthfi Hasan Ishaaq.
Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah dianggap melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Setelah pengumumannya sebagai tersangka bersama Ahmad Fathanah dalam kasus suap daging impor oleh KPK, Luthfi Hasan Ishaaq mengundurkan diri sebagai Presiden PKS pada tanggal 31 Januari 2013 di depan pintu gerbang KPK. Selanjutnya jabatan Presiden PKS diduduki oleh Anis Matta.
Luthfi Hasan Ishaaq, lahir di Malang, Jawa Timur, pada 5 Agustus 1961. Sebelum kasus korupsi yang menjeratnya, Luthfi adalah Presiden PKS periode 2009-2014. Selain itu, dia juga menjabat sebagai anggota DPR dari Fraksi PKS periode 2009-2014. Luthfi Hasan adalah lulusan Diploma III Bahasa Arab, KMI Gontor.
Lutfi kemudian melanjutkan pendidikannya ke Universitas Imam Muhammad bin Saud, Arab Saudi pada tahun 1984, namun gagal setelah dua tahun masa studi dan kembali ke Indonesia dengan status Drop Out.
Luthfi dikabarkan menjadi mujahid pada tahun 1990 dengan mengikuti sebuah proses pengiriman ke Afganistan. Pengiriman dilakukan dengan alasan akan melanjutkan studi di Punjab University, Lahore, Pakistan. Di sana, ia diisukan menduduki jabatan yang cukup strategis, yaitu sekretaris Abu Sayyaf, salah satu faksi Mujahid di Afganistan. Namun hal ini serta merta dibantah oleh Anis Matta dan Tifatul Sembiring, rekan-rekannya di PKS. Mereka menyatakan bahwa Luthfi Hasan memang berada di Pakistan untuk menyelesaikan studinya.
Luthfi menikah dengan Sutiana Astika isteri pertamanya, pada 1984, Luthfi menjalankan berbagai usaha seperti servis jok sofa, rumah makan, kayu, dan bengkel. Namun menurut Yusuf Supendi yang waktu itu menjadi seniornya, usaha Luthfi Hasan selalu berujung pada kegagalan dan akhirnya bangkrut.
Setelah cukup dekat dengan Ahmad Fathanah, Luthfi Hasan kemudian membangun usaha penjualan pulsa. Sayangnya kali ini usaha ini berakhir pada tuntutan penipuan yang menjerat Ahmad Fathanah sebagai Direktur Utama dalam hukuman tiga tahun penjara. Sementara Luthfi Hasan sebagai komisaris bebas dari jerat hukum. Dalam kasus ini Fathanah dianggap memalsukan tandatangan Luthfi Hasan sebagai komisaris sehingga menimbulkan kerugian mencapai Rp3 Miliar.
Riwayat organisasi Luthfi Hasan dimulai ketika ia aktif dalam mengikuti Ikhwanul Muslimin bersama Yusuf Supendi dan Hilmi Aminuddin. Setelah dikirim ke Pakistan, pada tahun 1998 Luthfi kembali ke Indonesia untuk kemudian mendirikan Partai Keadilan. Selanjutnya Luthfi dikirim ke Belanda untuk menjadi supervisor pengembangan Partai Keadilan di Eropa pada tahun 2000an. Kembali ke Indonesia, ia turut serta menyelamatkan partai agar tetap bisa mengikuti Pemilihan Umum 2004 dengan mendirikan ulang partai tersebut. Kali ini nama partai diubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera.
Di bawah kepemimpinan Hidayat Nur Wahid, Luthfi diberi kepercayaan menjadi bendahara umum. Setelah itu ia dipercaya sebagai Ketua Badan Hubungan Luar Negeri di bawah kepemimpinan Tifatul Sembiring, dan kemudian menjadi pejabat sementara Presiden PKS setelah Tifatul Sembiring diangkat sebagai menteri komunikasi dan informatika pada tahun 2009. Puncaknya, Luthfi Hasan dikukuhkan sebagai Presiden PKS periode 2010-2015 dalam Sidang Majelis Syuro PKS II, 16 - 20 Juni 2010 di Jakarta.
Ia terpilih dua kali berturut-turut sebagai anggota DPR Komisi XI pada periode 2004-2009, dan Komisi I pada periode 2009-2015. Selain itu ia juga menjadi anggota Badan Kerjasama Antar Parlemen untuk Afrika, Eropa dan Organisasi Negara-Negara Konferensi Islam (OKI), serta sebagai wakil ketua di Badan Kerjasama Antar Parlemen 2004-2009(BKSAP).
Kini, pasca vonis 18 tahun penjara yang diterimanya, karir politik Lutfhi ikut luruh. Meski demikian, Luthfi tidak merasa hal itu adalah masalah besar baginya. Bahkan dalam berbagai pemberitaan, Luthfi merasa vonis 18 tahun tidak terlalu berat baginya. "Saya kira dulu 20 tahun, ternyata hanya 16, sekarang 18," tutur Luthfi seusai salat Jumat di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat, 19 September 2014.