Tempat & Tanggal Lahir
Kauman, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, 1 Januari 1970
Karir
- Tokoh Sarekat Islam (SI)
Detail Tokoh
Haji Mohamad Misbach yang lebih dikenal dengan Haji Misbach atau Haji Merah adalah seorang tokoh fenomenal dalam perjuangan pergerakan Indonesia, yang memimpin Sarekat Islam. Baginya islam bisa bergandengan dengan komunisme. Misbach terlahir dengan nama Ahmad, di Kauman, Surakarta, pada 1876. Ia besar di lingkungan keluarga pedagang batik. Ia sempat berganti nama menjadi Darmodiprono menjelang dewasa, lalu ia lebih dikenal sebagai Haji Mohammad Misbach setelah menunaikan ibadah haji ke tanah suci.
Ia bersekolah di Bumiputera "Ongko Loro" yang merupakan pendidikan berbasis agama dan pesantren, lingkungannya yang berada di Keraton Surakarta inilah yang menumbuhkan sosok Misbach menjadi seorang mubaligh. Ketika Oemar Said Tjokroaminoto membentuk Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM), Misbach juga ikut serta didalamnya.
Bersama Tjokroaminoto dan rombongan besar Sarekat Islam (SI), Misbach turut menyerukan kepada kaum muslim untuk mengutuk mereka yang diyakini telah menistakan agama, Martodharsono dan Djojodikoro.
Sedangkan dalam pandangan politik, dia memiliki posisi yang unik dalam sejarah tanah air. Namanya sering disandingkan dengan Semaun, Tan Malaka, atau golongan kiri lainnya. Ia memiliki pemahaman komunis sehingga namanya jarang disebut sebut dikalangan islam.
Bentuk rasa kecewanya terhadap lembaga lembaga islam yang tidak tegas dalam membela kaum dhuafa, membuat keterlibatanya semakin menjadi-jadi pada komunis. Ia bergabung dalam Perserikatan Kommunist di Indie (PKI) ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah dan melahirkan PKI/SI Merah.
Selain itu ia adalah orang yang anti dengan kapitalis, dia pernah membuat kartun di surat kabar islam bergerak edisi 20 April 1919, ia mengulas tentang kapitalis Belanda yang menguras petani, mempekerja paksakan mereka, memberi upah kecil, serta membebani pajak. Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Para petani memberikan respon dengan aksi mogok, dampak yang diterima oleh sikap ektrimitasnya, dia ditangkap tetapi setelah melakukan pertemuan dengan subkelompok petani perkebunan, ia dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH), organisasi para bumiputera.
Sikapnya yang progresifnya banyak melakukan aksi aksi pemberontakan, membuatnya sering kali keluar masuk penjara. Bahkan ia juga dikenal sebagai kepala peneror. Pada 16 Mei 1920, ia ditangkap karena pemogokan petani yang dipimpinnya dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan.
Pada tanggal 20 Oktober 1923, ia ditangkap atas tuduhan terlibat dalam aksi-aksi revolusioner yaitu pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pengeboman dan lain-lain. Tahun berikutnya ditangkap pada Bulan Juli 1924 dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan sabotase di Surakarta dan sekitarnya.
Ternyata pembuangan tidak membuatnya berhenti bergerak, dia masih sempat mendirikan Sarekat Rakyat cabang Manokwari, yang anggotannya tidak pernah lebih dari 20 karena gangguan Polisi Belanda. Selain itu, dia juga menyusun artikel berseri "Islamisme dan Komunisme". Namun tak lama setelahnya ia terserang malaria dan dinyatakan meninggal pada 24 Mei 1926 dan dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, di samping kuburan istrinya.
Pada 24 Mei 1926, Haji Misbach wafat setelah mengidap penyakit malaria, menyusul istrinya yang sebelumnya meninggal karena TBC. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman Penindi, Manokwari, dengan diantar oleh sekelompok kecil anggota Sarekat Rakjat Manokwari, yang jumlahnya tak lebih dari 20 orang.
Sebagai seorang mantan anggota organisasi pergerakan semacam Insulinde dan Sarekat Rakjat, dan sebagai mantan propagandis yang terbiasa berhubungan dengan ratusan bahkan ribuan orang, kematian dan penguburannya yang sunyi memang ironi. Namun, ini hanya pengulangan semata dari apa yang sudah menimpa pendahulunya, Tirto Adhi Soerjo yang oleh Pramoedya Ananta Toer didaulat sebagai “Sang Pemula” penyebaran kesadaran nasional atau yang kelak menimpa rekannya, Marco Kartodikromo yang menurut Soe Hok Gie, adalah wartawan pembela rakyat tertindas yang berani nan “bandel", yang wafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.