Tempat & Tanggal Lahir
Purworejo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, 9 Juni 1922
Karir
- Jenderal TNI Anumerta TNI Angkatan Darat (1943 - 1965)
Pendidikan
- Hollandsch-Inlandsche School
- Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
- Algemeene Middelbare School
- Dinas Topografi Militer, Malang
- Pendidikan Heiho, Magelang
- Tentara Pembela Tanah Air, Bogor
- Command and General Staf College, Fort Leaven Worth
- Spesial Warfare Course, Inggris (1956)
Detail Tokoh
Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani lahir di Purworejo, 19 Juni 1922. Ia menjadi salah satu korban peristiwa G 30 S PKI, ia wafat di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965. Ia menjalani pendidikan formal di HIS (setingkat Sekolah Dasar) Bogor. Pendidikan dasar selesai pada tahun 1935.
Setelah itu ia melanjutkan ke sekolah setingkat SMP saat ini, waktu itu masih MULO, ia menjadi salah satu bagian dari kelas B Afd. Bogor. Ia lulus dari MULO pada tahun 1938. Kemudian, Ahmad Yani melanjutkan pendidikan ke AMS, lembaga setingkat Sekolah Menengah Umum. Di sekolah ini manjadi murid kelas B Afd. Jakarta.
Ahmad Yani menempuh pendidikan setingkat SMA ini hanya sampai kelas dua. Sehubungan dengan milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, Ahmad Yani memilih mengikuti pendidikan militer. Ia masuk ke Dinas Topografi Malang.
Pendidikan militer secara lebih intensif ia peroleh di Bogor. Dari Bogor pula ia memulai karir sebagai anggota militer. Pertama-tama ia menjalani keangggotaan militernya sebagai seorang sersan. Pada saat pendudukan Jepang, kira-kira tahun 1942, Ahmad Yani mengikuti Heiho di Magelang. Sekali lagi, ia kembali ke Bogor untuk masuk ke dalam pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang bermarkas di Bogor.
Sebagai anggota pasukan militer, Ahmad Yani memiliki ketangkasan yang dapat diandalkan pasukan. Pada masa perang kemerdekaan Achmad Yani berhasil menyita senjata Jepang di Magelang.
Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Komandan TKR wilayah Purwokerto. Setelah kemerdekaan diproklamirkan terjadilah peristiwa Agresi Militer Belanda, Achmad Yani dan pasukannya maju ke daerah Pingit untuk menghalau serangan Belanda di daerah tersebut. Atas usaha keras Achmad Yani dan pasukan, maka pasukan militer Belanda berhasil dipukul mundur.
Pada saat Agresmi Militer Belanda kedua terjadi, Achmad Yani dipercaya untuk menjabat sebagai Komandan Wehrkreise II. Wilayah kepemimpinannya ada di daerah pertahanan Kedu. Tak lama setelah Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan penuh dari Belanda, Achmad Yani diberi tugas untuk membereskan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang telah menciptakan kekacauan di Jawa Tengah. Saat itu, DI/TII memiliki apsukan khusus bernama Banteng Raiders yang sudah diberi latihan khusus. Meskipun begitu, Achmad Yani berhasil menunaikan tugasnya dengan baik.
Pada Desember 1955, Achmad Yani diberangkatkan ke Amerika Serikat dalam rangka belajar di Komando dan Staf Umum College, Fort Leavenworth, Texas. Achmad Yani kembali tahun 1956. Sekembalinya dari Amerika Serikat, Achmad Yani langsung dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta.
Di sana, ia diangkat untuk menduduki jabatan sebagai anggota staf Umum untuk Abdul Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat, Yani menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk Organisasi dan Kepegawaian.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada Agustus tahun 1958, Achmad Yani ditugaskan untuk menjalankan Operasi 17 Agustus dalam rangka menumpas pemberontak di Sumatera Barat. Dengan strategi yang detail, ia bersama paskan berhasil merebut kembali Padang dan Bukittinggi. Keberhasilannya ini membuat karirnya menanjak naik dengan mudah, dia dipromosikan menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2 staf pada 1 September 1962.
Saat hendak menumpas PRRI di Sumatera Barat Achmad Yani masih berpangkat Kolonel, maka untuk memperlancar tugas maka Achmad Yani diangkat menjadi Komandan Komando Operasi pada tanggal 17 Agustus. Pergilah ia menumpas pemberontakan PRRI dengan pasukan khusus yang dipilihnya.
Gerakannya cepat, dengan strategi yang tepat ia pun berhasil menyingkirkan PRRI. Keahliannya di bidang militer yang mencakup kecerdasan berstrategi ini mengangkat Achmad Yani menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat pada tahun 1962. Secara otomatis ia menggantikan kedudukan Jenderal Nasution.
Pada saat Partai Komunis di Indonesia menjadi partai yang cukup disegani, tiba-tiba muncul Achmad Yani yang menolak paham PKI. Ia salah seorang yang menolak kehendak PKI yang menginginkan pembentukan angkatan kelima, terdiri atas buruh dan tani yang dipersanjati. Menurut rumor yang beredar, niat inilah yang menjadi awal mula ketegangan diantara jenderal TNI dan tubuh PKI sendiri.
Menurut pemberitaan yang beredar, ketidaksetujuan Achmad Yani dengan jenderal lainnya pada rencana PKI ini memicu pemberontakan. Oleh karena itu, Achmad Yani menjadi salah satu target PKI yang diculik dan dibunuh.
Amelia Yani, puteri ketiga Jenderal Achmad Yani berkisah tentang peristiwa keji tersebut. Ia mengingat ayahnya, Achmad Yani ditembak di depan kamar tidur. Kejadiannya tepat pada tanggal 1 Oktober 1965, kurang lebih Pukul 04.00 WIB. Lima hari kemudian, jasadnya ditemukan terkubur bersama enam jenderal lainnya di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Jenazahnya kemudian dipindahkan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Achmad Yani lalu dianugerahi sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkatnya yang sebelumnya baru seorang Letnan Jenderal, kemudian dinaikkan menjadi Jenderal.
Achmad Yani juga memperoleh beberapa bintang kehormatan, diantaranya Bintang RI Kelas II, Bintang Sakti, Bintang Gerilya, Bintang Sewindu Kemerdekaan I dan II, Satyalancana Kesetyaan VII, XVI, Satyalancana G:O.M. I dan VI, Satyalancana Sapta Marga (PRRI), Satyalancana Irian Barat (Trikora), Ordenon Narodne Armije II Reda Yugoslavia (1958), dan terakhir adalah tanda penghormatan sebagai pahlawan revolusi
Ada cerita menarik tentang Achmad Yani semasa hidupnya, ia merupakan Kasad yang dipilih sendiri oleh Presiden Soekarno, pada tanggal 28 Juni 1962. Sejak menjadi Kasad, maka Achmad Yani hampri tiap hari bertemu dan mengadakan rapat dengan Soekarno. "Banyak yang bilang bapak jadi anak emas Presiden Soekarno ," kata putri ketiga Jenderal Achmad Yani, Amelia A Yani. Kesaksiannya ditulis ke dalam buku Achmad Yani Tumbal Revolusi terbitan Galang Press.