Menuju konten utama

Jugun Ianfu, Budak Wanita di Masa Penjajahan Jepang

Jumat (6/1) lalu, Jepang menarik duta besarnya untuk Korea Selatan lantaran ada patung perempuan di depan konsulat Jepang yang diletakkan oleh para aktivis. Patung itu adalah simbol Jugun Ianfu, wanita-wanita yang dipaksa menjadi budak seks bagi tentara Jepang. Jugun ianfu tak hanya berasal dari Korea, tapi juga banyak wanita Indonesia.

Jugun Ianfu, Budak Wanita di Masa Penjajahan Jepang
Ilustrasi Jugun ianfu. Foto/crazydreamer.blog.uns.ac.id

tirto.id - “Bagaimana saya merasa? Aku merasa seolah-olah kita dibawa disini untuk dibunuh. Saya tidak bisa untuk tidak menangis. Tak ada yang bercakap, semua menangis,” ungkap Kimiko Kaenada kepada Asian Women’s Fund yang mewawancarainya pada 1996 silam.

Kimiko Kaneda adalah seorang wanita Korea Selatan korban dari perbudakan seksual oleh militer Jepang. Ia sejatinya memiliki darah Jepang lantaran ibunya berasal dari Jepang dan ayahnya Korea Selatan. Ia harus menanggung pedih masa-masa menjadi Jugun Ianfu, istilah untuk tawanan budak seks bagi para tentara Jepang di Korea. Kaenada melanjutkan ceritanya yang mengerikan ketika menjadi korban kejahatan perang.

“Malam itu, kami tidur disana dan dipagi hari kami ditempatkan di kamar mereka. Tentara datang ke kamar saya, tapi saya menolak dengan sekuat tenaga. Tentara pertama datang dengan kondisi tidak mabuk dan ketika ia mencoba merobek pakaian saya, saya teriak 'Tidak!'. Datang tentara kedua yang sedang mabuk, dia mengangkat pisau dan mengancam saya untuk dibunuh jika tidak menuruti perkataannya. Aku sendiri tidak peduli jika saat itu harus mati, dan pada akhirnya dia menikam saya,” Kaenada berbicara sambil menunjukkan letak luka di dadanya.

Narasi cerita berikutnya adalah Kaenada terus mencoba melawan ketika para tentara Jepang hendak melampiaskan keinginannya. Setelah ia dibawa oleh polisi militer untuk dirawat di rumah sakit karena luka di dadanya, Kaenada kembali dikirim ke kamar.

“Seorang tentara yang baru pulang dari pertempuran datang karena melihat pengobatan luka saya yang lebih baik meskipun masih menyisakan plester di dadaku. Tentara itu mulai menyerang saya, dan ketika aku tidak melakukan apa yang dia katakan, dia menarik pergelangan tangan saya dan melepar saya keluar ruangan. Pergelangan tangan saya patah dan masih sangat lemah hingga kini. Saya kemudian ditendang dan anda bisa melihat tulang langsung dari kulit yang terbuka.”

Perempuan yang lahir di Tokyo pada 22 Oktober 1921 dan meninggal dunia pada 2005 lalu ini mewakili salah satu dari banyaknya wanita yang bernasib sama atau bahkan lebih buruk.

Baru-baru ini, polemik terkait kejahatan perang masa lalu yang menyangkut para korban budak seks kembali mencuat. Jumat (6/1) lalu, Jepang menarik duta besarnya untuk Korea Selatan di Busan lantaran adanya sebuah patung perempuan di depan konsulat Jepang yang diletakkan oleh para aktivis.

Patung perempuan yang sedang duduk di kursi itu mengasosiasikan para budak seks atau perempuan yang dipaksa bekerja di rumah bordil Jepang pada masa Perang Dunia Kedua. Menurut laporan BBC, patung ini menjadi simbol ketidakadilan yang dihadapi oleh perempuan-perempuan penghibur Korea dan lambang perjuangan mereka untuk memperoleh permintaan maaf resmi dan kompensasi dari Jepang.

Jugun Ianfu atau wanita penghibur ada di masa pendudukan tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia Kedua. Menurut Asian Women’s Fund, lembaga yang didirikan Jepang sebagai bentuk kepedulian, penyesalan dan permintaan maaf terhadap masalah ianfu, tujuan tentara militer kekaisaran Jepang mengumpulkan wanita penghibur yang ditempatkan di sebuah rumah adalah untuk mempermudah dan mencegah tindak perkosaan yang dilakukan oleh personel tentara Jepang di daerah yang sedang diduduki.

Dalam buku George Hicks berjudul The Comfort Women: Japan's Brutal Regime of Enforced Prostitution in the Second World War, rumah bordil pertama didirikan oleh Jepang saat menduduki Shanghai, Cina pada tahun 1932. Wanita penghibur mulanya datang dari Jepang untuk menawarkan diri memberikan jasa layanan kepada prajurit negaranya. Namun, masalah mulai datang ketika Jepang makin memperluas ekspansi militernya. Jumlah wanita penghibur Jepang yang menjadi relawan menjadi tidak sebanding.

Tentara Jepang mulai merekrut para pekerja seks setempat di wilayah yang sedang diduduki militer sambil menyebar selebaran untuk merekrut pekerjaan. Daerahnya mulai dari Korea, Taiwan, dan wilayah Cina lainnya. Banyak wanita menanggapi panggilan tersebut karena iming-iming bekerja sebagai buruh pabrik atau perawat. Mereka tidak tahu bahwa sedang ditekan dan masuk dalam perbudakan seksual di rumah bordil para tentara Jepang seperti yang dijelaskan Yoshiaki Yoshimi dalam buku Comfort Women. Sexual Slavery in the Japanese Military During World War II, Asia Perspectives.

Situasi ini terus berlangsung dan kian meluas termasuk juga masa pendudukan Jepang di Indonesia. Praktik yang tidak hanya menciduk di jalan-jalan, memaksa hingga menyiksa para wanita ini kemudian menjadi catatan buruk bagi Jepang yang harus ditanggung oleh pemerintah Jepang selepas Perang Dunia Kedua berakhir. Berbagai penelitian digalakkan sebagai bagian dari suara perjuangan para wanita korban kejahatan seksual. Pun juga suara-suara minor dari para wanita korban yang perlahan mulai berani bersuara sembari melawan trauma fisik dan mental yang diderita.

Hal ini juga yang mendorong terselenggaranya Women's International War Crimes Tribunal on Japan's Military Sexual Slavery. Ini adalah pengadilan rakyat yang bertujuan mengumpulkan para korban agar bisa bersaksi soal praktik perkosaan dan perbudakan seksual memaksa para wanita melayani para tentara Jepang. Upaya kolektif dari kepedulian berbagai elemen masyarakat ini bertemu pada 8 Desember 2000 silam, bekerja sama dengan VAWW-NET Jepang (Violence Against Women in War-Net Work).

Sebelumnya, pengadilan terkait kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang juga pernah diselenggarakan oleh Pengadilan Tokyo yang dimulai pada 3 Mei 1946. Pengadilan tersebut juga menampung laporan kasus tindak kejahatan seksual oleh militer Jepang. Tujuh dokumen resmi yang dibawa oleh pemerintah Belanda, Perancis, dan Cina menyimpulkan bahwa militer Jepang secara langsung memaksa para perempuan untuk bekerja di beberapa rumah bordir di wilayah-wilayah Indonesia, Cina, Timor Leste, dan Vietnam.

Jepang disimpulkan melalukan kejahatan perang dan memicu saling lempar tanggung jawab di pihak pemerintahan Jepang. Penemuan tujuh dokumen ini dianggap mempermalukan kabinet Perdana Menteri Shinzo Abe. Namun, anggota parlemen konservatif malah menyatakan tidak ada bukti bahwa pihak militer Jepang terlibat langsung dalam pemaksaan para wanita untuk masuk ke rumah bordil milik militer.

Salah satunya adalah dokumen berjudul Penuntutan Dokumen No. 5330 yang dilaporkan oleh Belanda menuturkan tentang wanita penghibur di Kalimantan Barat. Perempuan yang memiliki hubungan dengan Jepang dipaksa bergabung di komplek pelacuran yang dikelilingi oleh kawat berduri. Mereka hanya diizinkan keluar untuk jalan-jalan dengan izin khusus.

Juga laporan BBC saat menyambangi salah satu penyintas perbudakan seksual masa penjajahan Jepang di Jawa untuk menceritakan pengalaman pahit dan menyakitkan itu. Menurut Eka Hindra, selaku peneliti 'Ianfu', Jepang menjalankan sistem praktik perbudakan seksual di bawah kontrol militer pada masa penjajahan. Perempuan dari Jawa dibawa ke garis depan peperangan, seperti di Kalimantan, Sulawesi, bahkan juga Maluku, termasuk di Pulau Buru. Mereka kemudian ditempatkan di ianjo, sebutan Jepang untuk rumah bordil yang tersebar di berbagai daerah. Banyak pula yang mengalami perkosaan oleh tentara Jepang selain di ianjo.

Para penyintas yang telah berusia lanjut ini mengaku tidak pernah mendapatkan permintaan maaf langsung dari Jepang dengan mendatangi dirinya. "Apa pernah saya menerima bingkisan dari Jepang? Belum pernah... belum pernah sepeser pun," ungkap Paini yang kini berusia 86 tahun.

Sementara Sri Sukanti, penyintas korban perbudakan seks lainnya menuturkan hanya mendapatkan dana bantuan dari Kementerian Sosial selama sekitar tiga bulan sekitar enam tahun yang lalu.

Infografik Jugun Ianfu

Terkait jumlah korban wanita yang menjadi budak seks tidak dapat dipastikan dengan jelas. Ini karena kurangnya dokumentasi resmi yang mencatat jumlah wanita di tiap rumah bordir militer dan juga kenyataan bahwa dokumen-dokumen yang merujuk hal tersebut dihancurkan oleh pemerintahan Jepang sendiri. Menurut Yoshiaki Yoshimi yang melakukan penelitian akademis pertama dan membawanya secara terbuka dari penutup-nutupan sejarah, diperkirakan ada sekitar 50.000 hingga 200.000 wanita yang diculik dan ditempatkan di rumah bordil militer.

Perkiraan dari sejarawan lain bervariasi, misalnya profesor Ikuhiko Hata dari Universitas Nihon seperti dimuat dari Asian Women’s Fund yang menyebut jumlah korban perbudakan seksual kurang dari 20.000 orang. Sejarawan Cina Hua Lun Huang dalam buku The Missing Girls and Women of China, Hong Kong and Taiwan: A Sociological Study of Infanticide, Forced Prostitution, Political Imprisonment, "Ghost Brides," Runaways and Thrownaways menyebut jumlahnya sekitar 360 ribu-410 ribu.

Sebagian besar korban perbudakan seksual adalah wanita dari Korea dan Cina, disusul wilayah lain seperti Filipina, Malaysia, Taiwan, Hindia Belanda yang kini Indonesia, Timor Portugis yang kini Timor Leste, dan daerah lainnya. Reuters juga pernah memuat tentang adanya wanita Perancis yang ikut diciduk dan ditempatkan di rumah bordil militer, termasuk laporan Chosun dan The Age tentang perempuan Belanda dan Australia yang turut dibawa ke rumah bordil saat Indonesia ada di bawah pendudukan Jepang .

Sejauh ini, Jepang menukkan gestur sensitif soal isu ini, termasuk di kalangan rakyatnya, meski sangat sulit untuk mengelak dari segala tuduhan dari berbagai negara yang pernah disinggahi militer Jepang selama Perang Dunia Kedua. Saat menarik duta besarnya di Korea Selatan, Jepang beralasan Korea melanggar kesepakatan yang telah dibuat tahun 2015 lalu yang telah menyatakan bahwa Jepang akan membayar kompensasi kepada para korban perbudakan seksual.

Pihak Korea sendiri merasa masalah perbudakan seksual ini harus diselesaikan hingga tuntas jika ingin menjalin hubungan secara utuh dan damai antarnegara. Di Australia, patung serupa juga memicu perselisihan antara warga Korea dan kelompok masyarakat Jepang. Tuntutan suara keadilan, pengakuan permintaan maaf langsung dan ganti rugi juga tersebar di berbagai negara yang penduduk wanitanya pernah jadi korban perbudakan seksual militer Jepang, termasuk Indonesia.

Baca juga artikel terkait PENJAJAHAN JEPANG atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani