Dangdut Koplo,
Puncak Evolusi Dangdut

"Dangdut ya dangdut. Koplo ya koplo. Jangan menyebut dangdut koplo."

Rhoma Irama mengucapkan kalimat itu dengan tegas, karena goyangan dan busana koplo ia anggap tak sopan. "Dangdut memang identik dengan goyangan,” katanya, “tapi goyangan yang memenuhi nilai-nilai estetika koreografis."

Rhoma adalah Raja Dangdut, karena itu titahnya harus diikuti kawulanya. Setelah pernyataan itu, muncul poster "Kembalikan Dangdut pada Khitahnya", dengan tiga poin maklumat: 1) dangdut bukan koplo, 2) koplo bagai benalu yang membuat dangdut mendapat stigma sebagai musik jorok, 3) goyangan dangdut memenuhi estetika koreografis. Untuk desain kaus, di samping foto Rhoma tertulis besar: Koplo bukan dangdut.

Itu buah perseteruan panjang antara Rhoma dan Inul Daratista—biduanita yang terkenal dengan goyang ngebor. Inul, yang merasa sebagai junior, akhirnya sowan ke rumah Rhoma. Di sana, Rhoma menceramahinya panjang lebar tentang moral bangsa. Inul hanya bisa tertunduk, dan menangis.

Babad kemasyhuran Inul muncul di Pasuruan. Di tanah kelahirannya, Inul merintis karier dari panggung ke panggung. Ia dikenal sebagai biduanita dengan goyangan khas dan musik yang cepat. Ketika namanya mulai terangkat ke pentas nasional berkat bantuan VCD bajakan, banyak pihak kaget melihat dangdut dengan langgam musik yang berbeda ini.

Gagrak musik dangdut dengan irama yang lebih ngebut itu muncul jauh sebelum Inul. Publik Jawa Timur kala itu menyebutnya: dangdut koplo.

Menurut Andrew Weintraub, penulis buku Dangdut Stories (2010), koplo adalah salah satu bentuk dari dangdut daerah. Ciri-cirinya antara lain memakai bahasa daerah, juga menambahkan praktik ataupun alat musik lokal. "Musik seperti ini dipasarkan ke komunitas etnolinguistik spesifik di Indonesia," tulisnya.

Menurut Slamet Rudi Hartono, pemain kendang OM New Pallapa, dangdut koplo muncul di Jarak, sebuah lokalisasi di Surabaya. Di tengah para pengunjung dan penenggak pil koplo yang selalu bergairah, dangdut koplo lahir. Disebut koplo karena irama dan ketukan kendang yang lebih cepat ketimbang dangdut biasa, dan membuat pendengarnya jadi lebih semangat seperti efek menenggak pil koplo.

"Dangdut koplo itu lahir di Jarak,” kata pria yang akrab disapa Cak Met ini. “Tapi kalau omong siapa yang pertama kali menciptakan, ya bakal membingungkan. Takutnya nanti saling mengklaim."

Koplo mengajak kita bersenang-senang. Lirik yang dinyanyikan boleh saja sedih dan bikin gulana: Ditinggal menikah, cinta ditolak, suami galak, atau utang yang menumpuk. Tapi koplo mengajak pendengar untuk berjoget. “Pokoknya kalau dengar koplo, pasti pengin joget,” kelakar Sodiq, vokalis dan gitaris OM Monata.

Mungkin karena itu pula, umur dangdut koplo bisa panjang. Meski sudah ditekan sejak 2003, ia tak lantas mati. Malah makin besar. Terutama setelah adanya Youtube, dan munculnya generasi penyanyi koplo baru yang populer di kalangan anak muda seperti Via Vallen dan Nella Kharisma.

Berbeda dengan tudingan Rhoma Irama belasan tahun silam, koplo yang mereka bawakan jauh dari kata seronok apalagi merusak moral. Gaya busana mereka banyak dipengaruhi gaya Korea, menampilkan kesan chic, anggun, sekaligus dekat dengan anak muda urban. Perkara joget, mereka nyaris tak pernah joget berlebihan.

Koplo terus bertransformasi. Hingga muncul istilah baru: pop koplo, merujuk pada gaya panggung dan musikal yang dibawakan oleh Via dan Nella. Keduanya menjadi bintang baru yang bukan hanya disukai pendengar dangdut, tetapi juga mengambil hati para penggemar baru yang awalnya tidak akrab dengan dangdut.

Mencari Koplo

Bakda magrib, lapangan Kuti di Pandaan sudah ramai. Ada pasar malam. Dari bagian tengah terdengar raungan motor Tong Setan. Sodiq berjalan diiringi tatapan kagum banyak orang. Lelaki berambut gimbal ini kemudian duduk di bangku penjual mi ayam, memesan satu porsi.

Tapi Sodiq tak bisa makan dengan tenang. Tiap beberapa menit, ada saja yang mengajaknya foto. Ia melayani dengan senang hati. Pose andalannya: meletakkan jempol di depan dada. Selepas foto, ia melanjutkan makan sembari memeriksa gawai. Tak lama. Ada lagi penggemar menghampiri. "Beginilah risiko jadi orang ganteng," kelakarnya.

Malam itu OM Monata akan tampil. Sodiq adalah motor utama orkes dangdut asal Sidoarjo ini. Selain bermain gitar, Sodiq juga biduan. Lebih dari itu, Sodiq adalah ikon. Namanya lekat dengan Monata.

Sejak 1989, Sodiq mengamen di kafe-kafe di sekitar daerah wisata Tretes, tak jauh dari rumahnya. Ia juga sering jadi gitaris di beberapa orkes dangdut. Hingga pada pertengahan 1990-an, Gatot Hariyanto, seorang wirausahawan asal Sidoarjo, mengajaknya membentuk orkes dangdut.

"Dulu namanya Penanggungan. Aku ledek, nama kok Penanggungan. Akhirnya ganti jadi Monata," kata pria dengan tahi lalat di pipi kanan ini. "Emoh ditata."

Periksa tata suara dimulai. Kibor dipencet. Bas dibetot. Sodiq mengetes mikrofon. Sebuah lagu dimainkan. Sodiq bernyanyi dan memberi kode kepada penata suara.

Ratusan penonton sudah menyemut di depan panggung. Lima biduanita menunggu di bawah, menanti check sound rampung, salah satunya Niken Aprilia yang sering menyanyikan lagu rok. Reportoar yang ia bawakan mulai dari "Neraka Jahanam", "Bang Bang Tut", "The Final Countdown", hingga lagu rok klasik Indonesia, "Kerangka Langit".

Didapuk sebagai penyanyi pertama, Niken tampil anggun dengan gaun terusan berwarna hitam. Ia tak membawakan lagu rok sebagai pembuka, melainkan "Konco Mesra", ciptaan Husin Albana, salah satu lagu dangdut koplo paling populer—apalagi sejak dinyanyikan Nella Kharisma.

Penonton langsung menggila. Beberapa orang di baris depan naik ke bahu kawannya. Di sisi kanan panggung, beberapa remaja yang memakai topeng Guy Fawkes mengepalkan tangan ke udara dan menggoyangnya 360 derajat. Nyaris tak ada penonton yang tak berjoget, meski itu hanya anggukan kepala.

Lalu terjadi keributan di tengah-tengah penonton. Gelut. Polisi sigap. Niken geleng-geleng kepala. "Ini baru lagu ketiga lho," celetuknya.

Dari balik drum dan kendang, Juri menyaksikan semuanya dengan ketenangan seorang pertapa. Matanya sipit dan rambutnya dikuncir kuda. Sebagai drumer merangkap kendanger, Juri yang mengontrol ritme. Kalau sedang main 'normal', ia memukul drum, begitu akan memasuki koplo, dengan gesit ia meletakkan stik dan tangannya beralih ke kendang.

Tak tung, tak tung, tak tung tung! Tempo jadi enak buat joget. Apalagi dikompori senggakan.

Di kiri panggung, joget sesuka hati berarti senggolan. Pukulan dilayangkan, tentu saja berbalas. Ricuh. Kali ini paling rusuh ketimbang keributan sebelumnya. Polisi gemas, menyerbu pusat kericuhan. Penonton sisi kiri kocar-kacir.

Di depan panggung, tak ada yang peduli. Mereka tetap berjoget, yang berkelahi biarlah berkelahi. Dunia milik mereka yang berjoget, yang lain hanya numpang berkelahi.

Mencari Koplo

Bakda magrib, lapangan Kuti di Pandaan sudah ramai. Ada pasar malam. Dari bagian tengah terdengar raungan motor Tong Setan. Sodiq berjalan diiringi tatapan kagum banyak orang. Lelaki berambut gimbal ini kemudian duduk di bangku penjual mi ayam, memesan satu porsi.

Tapi Sodiq tak bisa makan dengan tenang. Tiap beberapa menit, ada saja yang mengajaknya foto. Ia melayani dengan senang hati. Pose andalannya: meletakkan jempol di depan dada. Selepas foto, ia melanjutkan makan sembari memeriksa gawai. Tak lama. Ada lagi penggemar menghampiri. "Beginilah risiko jadi orang ganteng," kelakarnya.

Malam itu OM Monata akan tampil. Sodiq adalah motor utama orkes dangdut asal Sidoarjo ini. Selain bermain gitar, Sodiq juga biduan. Lebih dari itu, Sodiq adalah ikon. Namanya lekat dengan Monata.

Sejak 1989, Sodiq mengamen di kafe-kafe di sekitar daerah wisata Tretes, tak jauh dari rumahnya. Ia juga sering jadi gitaris di beberapa orkes dangdut. Hingga pada pertengahan 1990-an, Gatot Hariyanto, seorang wirausahawan asal Sidoarjo, mengajaknya membentuk orkes dangdut.

"Dulu namanya Penanggungan. Aku ledek, nama kok Penanggungan. Akhirnya ganti jadi Monata," kata pria dengan tahi lalat di pipi kanan ini. "Emoh ditata."

Periksa tata suara dimulai. Kibor dipencet. Bas dibetot. Sodiq mengetes mikrofon. Sebuah lagu dimainkan. Sodiq bernyanyi dan memberi kode kepada penata suara.

Ratusan penonton sudah menyemut di depan panggung. Lima biduanita menunggu di bawah, menanti check sound rampung, salah satunya Niken Aprilia yang sering menyanyikan lagu rok. Reportoar yang ia bawakan mulai dari "Neraka Jahanam", "Bang Bang Tut", "The Final Countdown", hingga lagu rok klasik Indonesia, "Kerangka Langit".

Didapuk sebagai penyanyi pertama, Niken tampil anggun dengan gaun terusan berwarna hitam. Ia tak membawakan lagu rok sebagai pembuka, melainkan "Konco Mesra", ciptaan Husin Albana, salah satu lagu dangdut koplo paling populer—apalagi sejak dinyanyikan Nella Kharisma.

Penonton langsung menggila. Beberapa orang di baris depan naik ke bahu kawannya. Di sisi kanan panggung, beberapa remaja yang memakai topeng Guy Fawkes mengepalkan tangan ke udara dan menggoyangnya 360 derajat. Nyaris tak ada penonton yang tak berjoget, meski itu hanya anggukan kepala.

Lalu terjadi keributan di tengah-tengah penonton. Gelut. Polisi sigap. Niken geleng-geleng kepala. "Ini baru lagu ketiga lho," celetuknya.

Dari balik drum dan kendang, Juri menyaksikan semuanya dengan ketenangan seorang pertapa. Matanya sipit dan rambutnya dikuncir kuda. Sebagai drumer merangkap kendanger, Juri yang mengontrol ritme. Kalau sedang main 'normal', ia memukul drum, begitu akan memasuki koplo, dengan gesit ia meletakkan stik dan tangannya beralih ke kendang.

Tak tung, tak tung, tak tung tung! Tempo jadi enak buat joget. Apalagi dikompori senggakan.

Di kiri panggung, joget sesuka hati berarti senggolan. Pukulan dilayangkan, tentu saja berbalas. Ricuh. Kali ini paling rusuh ketimbang keributan sebelumnya. Polisi gemas, menyerbu pusat kericuhan. Penonton sisi kiri kocar-kacir.

Di depan panggung, tak ada yang peduli. Mereka tetap berjoget, yang berkelahi biarlah berkelahi. Dunia milik mereka yang berjoget, yang lain hanya numpang berkelahi.

Kendang yang Serupa Jantung

Sebagai gagrak tandingan dari dangdut, ada satu hal penting yang membedakan antara dangdut dan dangdut koplo: kendang,

"Kalau di dangdut biasa itu 3/4. Sedangkan di dangdut koplo itu 4/4," kata Slamet Rudi Hartono alias Cak Met. Dengan birama 4/4, permainan kendang di koplo jadi lebih rapat, dan lebih cepat.

Andrew Weintraub menyebut kendang sebagai "fitur musikal terpenting dalam dangdut koplo”, karena “pola ritmiknya dimainkan melalui kendang."

Dalam disertasinya, The Development of Dangdut and Its Meanings: A Study of Popular Music in Indonesia, Lono Simatupang menjelaskan pola kendang standar dalam musik dangdut, yakni chalte. Dalam pola itu, ada lima jenis suara: Tiga jenis suara, "dang", "du-ut", dan "dut" dihasilkan kendang besar yang diletakkan di sisi kiri pemain kendang; lalu "tak" dan "tung" dihasilkan oleh kendang kecil yang di sebelah kanan.

"Pola kendang koplo adalah menggandakan semua unsur itu. Ia mengandung dua kali suara 'dut' dibanding pola standar chalte,” tulis Weintraub. “Biasanya tempo koplo dimainkan lebih cepat ketimbang tempo standar chalte."

Dari mana pola itu? Weintraub menyebut beberapa pemain kendang di Jawa Barat punya teori: ritme kendang koplo berasal dari Jaipong. Dalam liputan lapangannya, Weintraub bertemu beberapa musisi di Surabaya dan Banyuwangi yang setuju teori itu. Jaipong diperkirakan muncul di Jawa Timur melalui format kaset pada 1980-an. Tapi ia memberi catatan: pola kendang jaipongan juga memasukkan ritme dangdut.

"Karena itu, koplo bisa jadi berasal dari interpretasi ulang pola ritme dangdut, yang kemudian diterjemahkan melalui jaipongan. Pendekatan kreatif ini menunjukkan adanya proses silang budaya di antara kelompok etnis,” jelas Weintraub.

Dengan tempo yang lebih cepat dan rapat, musik yang dihasilkan koplo jelas lebih membuat bersemangat. Baik bagi penyanyi maupun pendengar. Hasilnya tentu jelas: joget bersama. "Kendang koplo itu bikin orang yang awalnya enggak mau joget jadi bikin pengin joget," ujar Sodiq Monata.

Karena vitalnya posisi kendang dalam orkes dangdut koplo, wajar kalau para pemain kendang kerap jadi ikon. Weintraub menyebut nama Cak Met dan Waryo (OM Armega) sebagai pemain kendang yang memopulerkan ketukan koplo.

Cak Met punya basis penggemar yang banyak dan menembus batas daerah. Para penggemar itu memberinya julukan: Ki Ageng. Di Facebook, laman penggemarnya berisi 15 ribu anggota. Nama lain yang juga populer adalah Cak Juri dari OM Monata.

Selain kendang koplo yang tumbuh di kawasan Sidoarjo, Gresik, dan sekitarnya, ada pula gagrak koplo yang tumbuh di kawasan Nganjuk, Madiun, Ponorogo, hingga Sragen. Gagrak ini disebut jandhut, alias jaranan dangdut.

Secara pola dan ritme ketukan, kendangan jandhut tak berbeda dengan koplo. Namun, ada tambahan kendang sabet dan kendang bem yang merupakan instrumen kendang dalam kesenian jaranan. Dari gagrak ini, muncul nama Mas Malik dari OM Lagista, Nganjuk.

Kendang yang Serupa Jantung

Sebagai gagrak tandingan dari dangdut, ada satu hal penting yang membedakan antara dangdut dan dangdut koplo: kendang,

"Kalau di dangdut biasa itu 3/4. Sedangkan di dangdut koplo itu 4/4," kata Slamet Rudi Hartono alias Cak Met. Dengan birama 4/4, permainan kendang di koplo jadi lebih rapat, dan lebih cepat.

Andrew Weintraub menyebut kendang sebagai "fitur musikal terpenting dalam dangdut koplo”, karena “pola ritmiknya dimainkan melalui kendang."

Dalam disertasinya, The Development of Dangdut and Its Meanings: A Study of Popular Music in Indonesia, Lono Simatupang menjelaskan pola kendang standar dalam musik dangdut, yakni chalte. Dalam pola itu, ada lima jenis suara: Tiga jenis suara, "dang", "du-ut", dan "dut" dihasilkan kendang besar yang diletakkan di sisi kiri pemain kendang; lalu "tak" dan "tung" dihasilkan oleh kendang kecil yang di sebelah kanan.

"Pola kendang koplo adalah menggandakan semua unsur itu. Ia mengandung dua kali suara 'dut' dibanding pola standar chalte,” tulis Weintraub. “Biasanya tempo koplo dimainkan lebih cepat ketimbang tempo standar chalte."

Dari mana pola itu? Weintraub menyebut beberapa pemain kendang di Jawa Barat punya teori: ritme kendang koplo berasal dari Jaipong. Dalam liputan lapangannya, Weintraub bertemu beberapa musisi di Surabaya dan Banyuwangi yang setuju teori itu. Jaipong diperkirakan muncul di Jawa Timur melalui format kaset pada 1980-an. Tapi ia memberi catatan: pola kendang jaipongan juga memasukkan ritme dangdut.

"Karena itu, koplo bisa jadi berasal dari interpretasi ulang pola ritme dangdut, yang kemudian diterjemahkan melalui jaipongan. Pendekatan kreatif ini menunjukkan adanya proses silang budaya di antara kelompok etnis,” jelas Weintraub.

Dengan tempo yang lebih cepat dan rapat, musik yang dihasilkan koplo jelas lebih membuat bersemangat. Baik bagi penyanyi maupun pendengar. Hasilnya tentu jelas: joget bersama. "Kendang koplo itu bikin orang yang awalnya enggak mau joget jadi bikin pengin joget," ujar Sodiq Monata.

Karena vitalnya posisi kendang dalam orkes dangdut koplo, wajar kalau para pemain kendang kerap jadi ikon. Weintraub menyebut nama Cak Met dan Waryo (OM Armega) sebagai pemain kendang yang memopulerkan ketukan koplo.

Cak Met punya basis penggemar yang banyak dan menembus batas daerah. Para penggemar itu memberinya julukan: Ki Ageng. Di Facebook, laman penggemarnya berisi 15 ribu anggota. Nama lain yang juga populer adalah Cak Juri dari OM Monata.

Selain kendang koplo yang tumbuh di kawasan Sidoarjo, Gresik, dan sekitarnya, ada pula gagrak koplo yang tumbuh di kawasan Nganjuk, Madiun, Ponorogo, hingga Sragen. Gagrak ini disebut jandhut, alias jaranan dangdut.

Secara pola dan ritme ketukan, kendangan jandhut tak berbeda dengan koplo. Namun, ada tambahan kendang sabet dan kendang bem yang merupakan instrumen kendang dalam kesenian jaranan. Dari gagrak ini, muncul nama Mas Malik dari OM Lagista, Nganjuk.

 

Dangdut yang Senantiasa Berubah

Bagi Rhoma Irama, kesedapan tidak hanya perkara makanan tetapi juga musik. Ia menuliskannya dalam lagu "Terajana".

Iramanya Melayu, duhai sedap sekali
Sulingnya suling bambu
gendangnya kulit lembu
dangdut suara gendang
seru bukan kepalang
Terajana
Terajana
Ini lagunya, lagu India

Melalui "Terajana", kita bisa melihat anatomi sekaligus biografi dangdut. Secara anatomi, dua alat musik yang penting adalah seruling dan kendang. Sedangkan secara biografis, musik ini punya akar, atau setidaknya terpengaruh, kebudayaan Melayu dan India. Soal rujukan biografis, Rhoma menyinggungnya lebih dalam di lagu "Viva Dangdut".

"Ini musik Melayu. Berasal dari Deli. Lalu kena pengaruh dari Barat dan Hindi," begitu Rhoma bernyanyi.

Irama Melayu memang jadi inti dari musik dangdut. Walau kemudian Rhoma meraciknya dengan unsur musik rok, sesuatu yang tampak jelas di awal karier Rhoma—dengan simbol gitar Fender putih yang mengesankan ia terpengaruh Ritchie Blackmore dari Deep Purple, hingga peralihan ke Steinberger hitam andalannya.

Dalam perkembangannya, Orkes Melayu memang terpengaruh banyak kebudayaan lain, dari instrumentalia Eropa, irama India, hingga cengkok Arab. Pada 1970-an, musik Melayu dan India itu sudah bertransformasi menjadi dangdut. Musik ini kemudian dianggap sebagai musik rakyat, terutama karena penggemarnya yang mayoritas kelas bawah. Dangdut jadi populer di kalangan rakyat karena liriknya dekat dengan keseharian sebagian besar masyarakat Indonesia.

Selain itu, dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012), Andrew Weintraub menyatakan, musik pop dan rok Indonesia tidak punya akar historis atau ciri musik "yang mengaitkannya dengan derita rakyat." Dangdut tidak demikian. Ia punya akar kuat, dan banyak menceritakan kehidupan orang biasa. Maka ia berkembang di lingkungan urban yang "terpinggirkan secara sosial dan ekonomi."

Menurut Weintraub, istilah dangdut diciptakan oleh majalah musik Aktuil. Namun, berdasarkan wawancaranya dengan Meggy Z, Mansyur S. dan Dadang S., istilah dangdut jadi populer berkat jasa Bung Mangkudilaga, penyiar radio yang kerap mempromosikan dangdut di Radio Agustina, Tanjung Priok, Jakarta, pada 1973-1974.

Mangkudilaga mengasuh acara bernama "Sop Dangdut". Nama ini menarik, sebab mencerminkan jiwa dangdut itu sendiri: percampuran. Sop dibuat dari pelbagai jenis sayur, sebagaimana dangdut yang terbentuk dari macam-macam pengaruh musikal. Dengan jumlah penggemar yang mulai meningkat, banyak radio yang kemudian tertarik menyiarkan dangdut.

Faktor lain yang membuat dangdut makin populer adalah larisnya rekaman-rekaman Ellya Khadam. Salah satu indikator mulai populernya dangdut, terang Weintraub, adalah banyaknya musisi pop Indonesia (mewakili kaum sugih dan gedongan) yang mau membuat lagu berirama Melayu. Pada 1975, dangdut sudah menguasai 75 persen pasar industri rekaman.

Dunia dangdut berubah saat muncul sang ksatria bergitar, Rhoma Irama. Sebagai musisi dangdut, ia istimewa karena punya akar musikalitas yang berbeda ketimbang penyanyi dangdut lain. Meski Rhoma kecil suka berdendang musik India, ia kemudian tumbuh dengan musik rok.

Rhoma kemudian jadi nama yang dominan dalam dunia dangdut, hingga ia dilabeli sebagai Raja Dangdut. Sayangnya, terlalu lama menjadi raja membuat Rhoma lupa nilai akulturasi yang sempat ia bawa dulu. Ketika Inul Daratista muncul, dan koplo mulai maju sebagai gagrak baru dangdut—yang banyak terpengaruh oleh budaya Jaipong dan Jaranan—yang perlahan populer, Rhoma meradang.

Ia seperti murka, pakem yang ia bangun selama puluhan tahun perlahan hancur karena gagrak yang datang dari pinggiran Jawa Timur, tempat asing yang teramat jauh dari Deli Serdang. Padahal koplo adalah hasil dari akulturasi budaya, meleburkan pengaruh satu dengan yang lain.

Namun, bahkan seorang Raja Dangdut pun tak bisa membendung selera yang terus berubah.

Sekitar 15 tahun sejak pertikaian Rhoma dan Inul, dangdut koplo tidak mati. Malah semakin berkembang dan mengalami transformasi mencengangkan. Dari gaya bernyanyi yang jauh berbeda dari era Ellya Khadam atau Ikke Nurjanah, gaya busana yang jauh dari kata seronok, hingga cara pemasaran yang lebih mengandalkan internet.

Dangdut koplo adalah puncak evolusi dangdut saat ini.

Dangdut yang Senantiasa Berubah

Bagi Rhoma Irama, kesedapan tidak hanya perkara makanan tetapi juga musik. Ia menuliskannya dalam lagu "Terajana".

Iramanya Melayu, duhai sedap sekali
Sulingnya suling bambu
gendangnya kulit lembu
dangdut suara gendang
seru bukan kepalang
Terajana
Terajana
Ini lagunya, lagu India

Melalui "Terajana", kita bisa melihat anatomi sekaligus biografi dangdut. Secara anatomi, dua alat musik yang penting adalah seruling dan kendang. Sedangkan secara biografis, musik ini punya akar, atau setidaknya terpengaruh, kebudayaan Melayu dan India. Soal rujukan biografis, Rhoma menyinggungnya lebih dalam di lagu "Viva Dangdut".

"Ini musik Melayu. Berasal dari Deli. Lalu kena pengaruh dari Barat dan Hindi," begitu Rhoma bernyanyi.

Irama Melayu memang jadi inti dari musik dangdut. Walau kemudian Rhoma meraciknya dengan unsur musik rok, sesuatu yang tampak jelas di awal karier Rhoma—dengan simbol gitar Fender putih yang mengesankan ia terpengaruh Ritchie Blackmore dari Deep Purple, hingga peralihan ke Steinberger hitam andalannya.

Dalam perkembangannya, Orkes Melayu memang terpengaruh banyak kebudayaan lain, dari instrumentalia Eropa, irama India, hingga cengkok Arab. Pada 1970-an, musik Melayu dan India itu sudah bertransformasi menjadi dangdut. Musik ini kemudian dianggap sebagai musik rakyat, terutama karena penggemarnya yang mayoritas kelas bawah. Dangdut jadi populer di kalangan rakyat karena liriknya dekat dengan keseharian sebagian besar masyarakat Indonesia.

Selain itu, dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012), Andrew Weintraub menyatakan, musik pop dan rok Indonesia tidak punya akar historis atau ciri musik "yang mengaitkannya dengan derita rakyat." Dangdut tidak demikian. Ia punya akar kuat, dan banyak menceritakan kehidupan orang biasa. Maka ia berkembang di lingkungan urban yang "terpinggirkan secara sosial dan ekonomi."

Menurut Weintraub, istilah dangdut diciptakan oleh majalah musik Aktuil. Namun, berdasarkan wawancaranya dengan Meggy Z, Mansyur S. dan Dadang S., istilah dangdut jadi populer berkat jasa Bung Mangkudilaga, penyiar radio yang kerap mempromosikan dangdut di Radio Agustina, Tanjung Priok, Jakarta, pada 1973-1974.

Mangkudilaga mengasuh acara bernama "Sop Dangdut". Nama ini menarik, sebab mencerminkan jiwa dangdut itu sendiri: percampuran. Sop dibuat dari pelbagai jenis sayur, sebagaimana dangdut yang terbentuk dari macam-macam pengaruh musikal. Dengan jumlah penggemar yang mulai meningkat, banyak radio yang kemudian tertarik menyiarkan dangdut.

Faktor lain yang membuat dangdut makin populer adalah larisnya rekaman-rekaman Ellya Khadam. Salah satu indikator mulai populernya dangdut, terang Weintraub, adalah banyaknya musisi pop Indonesia (mewakili kaum sugih dan gedongan) yang mau membuat lagu berirama Melayu. Pada 1975, dangdut sudah menguasai 75 persen pasar industri rekaman.

Dunia dangdut berubah saat muncul sang ksatria bergitar, Rhoma Irama. Sebagai musisi dangdut, ia istimewa karena punya akar musikalitas yang berbeda ketimbang penyanyi dangdut lain. Meski Rhoma kecil suka berdendang musik India, ia kemudian tumbuh dengan musik rok.

Rhoma kemudian jadi nama yang dominan dalam dunia dangdut, hingga ia dilabeli sebagai Raja Dangdut. Sayangnya, terlalu lama menjadi raja membuat Rhoma lupa nilai akulturasi yang sempat ia bawa dulu. Ketika Inul Daratista muncul, dan koplo mulai maju sebagai gagrak baru dangdut—yang banyak terpengaruh oleh budaya Jaipong dan Jaranan—yang perlahan populer, Rhoma meradang.

Ia seperti murka, pakem yang ia bangun selama puluhan tahun perlahan hancur karena gagrak yang datang dari pinggiran Jawa Timur, tempat asing yang teramat jauh dari Deli Serdang. Padahal koplo adalah hasil dari akulturasi budaya, meleburkan pengaruh satu dengan yang lain.

Namun, bahkan seorang Raja Dangdut pun tak bisa membendung selera yang terus berubah.

Sekitar 15 tahun sejak pertikaian Rhoma dan Inul, dangdut koplo tidak mati. Malah semakin berkembang dan mengalami transformasi mencengangkan. Dari gaya bernyanyi yang jauh berbeda dari era Ellya Khadam atau Ikke Nurjanah, gaya busana yang jauh dari kata seronok, hingga cara pemasaran yang lebih mengandalkan internet.

Dangdut koplo adalah puncak evolusi dangdut saat ini.