"Dangdut ya dangdut. Koplo ya koplo. Jangan menyebut dangdut koplo."
Rhoma Irama mengucapkan kalimat itu dengan tegas, karena goyangan dan busana koplo ia anggap tak sopan. "Dangdut memang identik dengan goyangan,” katanya, “tapi goyangan yang memenuhi nilai-nilai estetika koreografis."
Rhoma adalah Raja Dangdut, karena itu titahnya harus diikuti kawulanya. Setelah pernyataan itu, muncul poster "Kembalikan Dangdut pada Khitahnya", dengan tiga poin maklumat: 1) dangdut bukan koplo, 2) koplo bagai benalu yang membuat dangdut mendapat stigma sebagai musik jorok, 3) goyangan dangdut memenuhi estetika koreografis. Untuk desain kaus, di samping foto Rhoma tertulis besar: Koplo bukan dangdut.
Itu buah perseteruan panjang antara Rhoma dan Inul Daratista—biduanita yang terkenal dengan goyang ngebor. Inul, yang merasa sebagai junior, akhirnya sowan ke rumah Rhoma. Di sana, Rhoma menceramahinya panjang lebar tentang moral bangsa. Inul hanya bisa tertunduk, dan menangis.
Babad kemasyhuran Inul muncul di Pasuruan. Di tanah kelahirannya, Inul merintis karier dari panggung ke panggung. Ia dikenal sebagai biduanita dengan goyangan khas dan musik yang cepat. Ketika namanya mulai terangkat ke pentas nasional berkat bantuan VCD bajakan, banyak pihak kaget melihat dangdut dengan langgam musik yang berbeda ini.
Gagrak musik dangdut dengan irama yang lebih ngebut itu muncul jauh sebelum Inul. Publik Jawa Timur kala itu menyebutnya: dangdut koplo.
Menurut Andrew Weintraub, penulis buku Dangdut Stories (2010), koplo adalah salah satu bentuk dari dangdut daerah. Ciri-cirinya antara lain memakai bahasa daerah, juga menambahkan praktik ataupun alat musik lokal. "Musik seperti ini dipasarkan ke komunitas etnolinguistik spesifik di Indonesia," tulisnya.
Menurut Slamet Rudi Hartono, pemain kendang OM New Pallapa, dangdut koplo muncul di Jarak, sebuah lokalisasi di Surabaya. Di tengah para pengunjung dan penenggak pil koplo yang selalu bergairah, dangdut koplo lahir. Disebut koplo karena irama dan ketukan kendang yang lebih cepat ketimbang dangdut biasa, dan membuat pendengarnya jadi lebih semangat seperti efek menenggak pil koplo.
"Dangdut koplo itu lahir di Jarak,” kata pria yang akrab disapa Cak Met ini. “Tapi kalau omong siapa yang pertama kali menciptakan, ya bakal membingungkan. Takutnya nanti saling mengklaim."
Koplo mengajak kita bersenang-senang. Lirik yang dinyanyikan boleh saja sedih dan bikin gulana: Ditinggal menikah, cinta ditolak, suami galak, atau utang yang menumpuk. Tapi koplo mengajak pendengar untuk berjoget. “Pokoknya kalau dengar koplo, pasti pengin joget,” kelakar Sodiq, vokalis dan gitaris OM Monata.
Mungkin karena itu pula, umur dangdut koplo bisa panjang. Meski sudah ditekan sejak 2003, ia tak lantas mati. Malah makin besar. Terutama setelah adanya Youtube, dan munculnya generasi penyanyi koplo baru yang populer di kalangan anak muda seperti Via Vallen dan Nella Kharisma.
Berbeda dengan tudingan Rhoma Irama belasan tahun silam, koplo yang mereka bawakan jauh dari kata seronok apalagi merusak moral. Gaya busana mereka banyak dipengaruhi gaya Korea, menampilkan kesan chic, anggun, sekaligus dekat dengan anak muda urban. Perkara joget, mereka nyaris tak pernah joget berlebihan.
Koplo terus bertransformasi. Hingga muncul istilah baru: pop koplo, merujuk pada gaya panggung dan musikal yang dibawakan oleh Via dan Nella. Keduanya menjadi bintang baru yang bukan hanya disukai pendengar dangdut, tetapi juga mengambil hati para penggemar baru yang awalnya tidak akrab dengan dangdut.