Menuju konten utama

Zoulikha Bouabdellah, Perupa Muslim dalam Dualitas Budaya

Perbedaan budaya dan bahasa pada tempat-tempat ia hidup, menghadirkan berbagai pertanyaan bagi Zoulikha terkait identitas diri sebagai perempuan muslim.

Zoulikha Bouabdellah, Perupa Muslim dalam Dualitas Budaya
Header Mozaik Zoulikha Bouabdellah. tirto.id/Ecun

tirto.id - Pada tahun 2007, sejarawan sekaligus aktivis, Elizabeth A. Sackler, mendirikan sebuah pusat seni yang dikhususkan untuk hasil karya perempuan perupa bernama Center for Feminist Art di Brooklyn Museum, New York.

Untuk menandai pembukaan ruang tersebut, digelar sebuah pameran bertajuk Global Feminisms yang diikuti sejumlah perempuan perupa yang berasal dari lebih lima puluh negara di dunia.

Pada sebuah diskusi yang menjadi bagian dalam rangkaian pameran tersebut, seorang perupa ikal memperkenalkan diri di hadapan penonton.

“Saya berasal dari Aljazair. Saya dan orang tua saya pindah ke Paris, dan saya melanjutkan pendidikan di sana. Saya lahir di Moskow. Jadi Anda dapat mengerti betapa kompleksnya pertanyaan mengenai identitas bagi saya, dan hal itu dapat terlihat dalam setiap karya saya,” ujarnya dalam bahasa Inggris yang bercampur dialek Prancis yang sangat kental.

Ia adalah Zoulikha Bouabdellah, dikenal oleh publik seni sebagai seniman Muslim yang hingga kini aktif berkarya di Paris dan Casablanca. Zoulikha lahir di Rusia pada tahun 1977, dari pasangan sutradara dan kepala National Museum of Fine Arts of Algiers. Saat perang saudara Aljazair meletus, keluarganya memutuskan untuk pindah ke Paris di tahun 1993.

Perbedaan budaya dan bahasa pada tempat-tempat ia hidup, menghadirkan berbagai pertanyaan bagi Zoulikha terkait identitas dirinya sebagai perempuan muslim. Ia tumbuh dalam irisan budaya Timur dan Barat dengan nilai-nilai yang kontras.

Sejak lulus pendidikan pascasarjana seni rupa di ENSBA Paris-Cergy di tahun 2002, Zoulikha mengeksplorasi gagasan terkait akulturasi budaya yang dialaminya melalui berbagai medium seni, seperti instalasi dan video art.

Dengan menggabungkan bahasa Arab, Prancis, dan Inggris serta berbagai simbol keagamaan dan sosial, karya-karya Zoulikha menjadi palimpsest semiotik yang mengungkap perbedaan budaya sekaligus kesamaannya dalam waktu yang sama.

Kesalahpahaman Publik

Pada lain kesempatan di Bank Galerie Paris, Zoulika menegaskan sikapnya terkait berbagai identitas yang berlapis pada dirinya.

“Saya seorang Muslim. Al-Qur’an sangatlah indah. Dan tentunya Aljazair adalah akar saya, namun jangan berpikir bahwa saya bukan putri Republic, karena Prancislah yang menyambut saya dan keluarga saya. Saya menjunjung tinggi prinsip Liberté, Egalité, dan Franternité, karena di Prancis saya dididik. Dan saya juga adalah seorang wanita yang terbebaskan.”

Salah satu karya video yang membawa awal keberhasilan Zoulikha di Centre Pompidou, Paris, adalah Croisée-f-Crossing (2005). Video berdurasi 5 menit tersebut dibuka dengan visual seorang wanita berparas Arab berkerudung putih yang diperankan oleh Zoulikha sendiri.

Terbaring di atas bantal putih yang bersih, wanita tersebut menatap ke arah kamera dengan lekat. Kain kerudung putih tampak membungkus bagian mulutnya. Secara perlahan, ia membuka mulut sambil meringis seraya menggulung sebuah tasbih panjang. Saat sampai di ujung tasbih, tampak sebuah salib menjadi twist dalam akhir video tersebut.

Karya tersebut tidak diterima dengan mudah secara objektif oleh publik. Kala itu berbagai reaksi negatif muncul dalam surat kabar lokal di Prancis. Penampilan Zoulikha dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap agama Kristen. Di sisi lain, orang-orang Muslim pun sama marah dan terhinanya setelah melihat karya tersebut.

Zoulikha tidak gentar menghadapi kesalahpahaman yang terjadi. Baginya, apa yang ia tuju dalam karyanya merupakan bentuk kesadaran. Dengan memicu keributan sedemikian rupa dari kedua belah pihak, ia semakin mempertanyakan dan menggali batas-batas identitas.

Dengan menyoroti isu-isu yang selama ini menempatkan budaya Barat dan Islam berseberangan, Zoulikha membawa katarsis melalui identitas Barat dan Islam secara umum.

Pada karya Croisée-f-Crossing, “Croisée” berarti juga “Crossing” atau penyeberangan. Dalam arti yang khusus, kata tersebut bermakna pertukaran dan keterbukaan antar budaya, manusia, dan ide.

Tidak hanya karya Croisée-f-Crossing, kesalahpahaman pun hadir pada karya instalasi Holly Hybrid (2007). Karya tersebut terdiri dari tenda Arab dengan gambar Keluarga Suci (Yesus dan keluarganya) dalam perjalanan kembali dari Mesir. Tidak seperti tenda Arab yang umumnya digambarkan, bentuknya diubah sehingga tampak seperti Ka’bah Suci, yang erat hubungannya dengan keluarga Nabi Ibrahim AS.

Terdapat kontradiksi yang tersirat pada penggambaran Keluarga Suci dan Ka’bah yang berdampingan, namun Zoulikha jelas lebih condong kepada gagasan tentang pertemuan budaya dan perdamaian.

Infografik Mozaik Zoulikha Bouabdellah

Infografik Mozaik Zoulikha Bouabdellah. tirto.id/Ecun

Kaligrafi Arab sebagai Unsur Visual

Setelah karya-karya dengan pendekatan semiotik yang sensitif, Zoulikha pun kemudian fokus pada penggunaan unsur huruf kaligrafi Arab untuk karyanya, di antaranya Al-Aftal, La Roue, Chéris – Nazra, dan Pop Mosque.

Dengan menggunakan unsur huruf-huruf tersebut, Zoulikha melibatkan perasaan-perasaan berseberangan yang saling terhubung seperti kegembiraan dan kesedihan, kenikmatan dan penderitaan, serta perasaan yang tampak dan yang tidak terungkap.

Salah satu karya yang populer adalah Slogan (2010), yang terbuat dari kayu dan mosaik teselasi khas timur tengah berwarna merah. Unsur kaligrafi Arab pada kalimat ini dalam aksara Latin berbunyi “aetni huriytiy atlaq yadaya” yang berarti “berikan aku kebebasan”.

Bagi Zoulikha, huruf Arab bukan hanya simbol linguistik, tetapi juga memiliki visual artistik dengan komponen estetika yang kuat. Ia pun membayangkan bentuk-bentuk vertikal, seperti huruf alif, mengandung nilai maskulin. Sedangkan bentuk-bentuk yang membulat, seperti huruf ba, mengandung nilai feminin.

Perempuan dan Agama

Karya penting lainnya dalam karier kesenimanan Zoulikha adalah instalasi Silence. Ia menyajikan barisan sajadah untuk salat, dengan lubang di tengahnya. Pada lubang di masing-masing sajadah diletakkan sepasang sepatu hak tinggi perempuan.

Dalam Islam, setiap orang yang hendak mendirikan salat, wajib melepas alas kaki sebelum duduk atau berdiri di atas sajadah. Melalui karya ini, Zoulikha bermain dengan batas-batas yang membawa kita ke tepi antara hal yang sakral dan yang duniawi. Ia melihat perempuan muslim kini berada di ambang kedua hal tersebut.

Zoulikha bermaksud untuk mengungkap hubungan perempuan dan Islam. Di antara sikap menghormati tradisi agama dan pengaruh dunia Barat, ia menunjukkan kemampuannya untuk menciptakan ruang kebebasan dalam kerangka yang kaku.

Dalam hal ini, ia memberikan penghormatan kepada perempuan-perempuan yang tidak takut untuk menegaskan diri mereka sendiri agar dapat tampil dan berdaya, di luar kondisi perempuan dalam dunia Arab.

Secara garis besar dalam setiap karyanya, tersirat harapan dan semangat Zoublikha untuk menggeser paradigma kondisi perempuan muslim yang lekat dengan persepsi makhluk yang tunduk dan tersembunyi, menjadi entitas yang merdeka dan memiliki hak atas tubuhnya sendiri.

Zoulikha memiliki kesempatan yang istimewa untuk menyaksikan perbedaan dan batas-batas. Kesadaran terhadap hal-hal tersebut terus mendorongnya menampilkan karya-karya penting dalam usianya yang masih produktif.

Suara dalam karyanya menjadi penting sebagai gejala baru yang lahir, terutama bagi dunia Barat dengan komunitas Islam dan Afrika dengan modernisasi yang bergejolak.

Ia bebas dan mampu untuk melihat dirinya sendiri serta dunia di sekitarnya yang saling beririsan. Dan mungkin saja suara Zoulikha dapat menjadi suara masa depan perempuan muslim yang lebih baik.

Baca juga artikel terkait PERUPA atau tulisan lainnya dari Audya Amalia

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Audya Amalia
Penulis: Audya Amalia
Editor: Lilin Rosa Santi