Menuju konten utama
15 Januari 2013

Zakiah Daradjat, Pelopor Pendidikan Agama di Sekolah Umum

Kebijakan dan pemikiran mengenai pendidikan keagamaan banyak lahir dari Zakiah Daradjat. Ia ulama perempuan yang moderat di era Orde Baru.

Zakiah Daradjat, Pelopor Pendidikan Agama di Sekolah Umum
Ilustrasi Mozaik Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat. tirto.id/Tino

tirto.id - Zakiah Daradjat adalah sosok ulama dan pemikir perempuan paling menonjol pada era Orde Baru. Ia disebut-sebut sebagai pelopor psikologi Islam di Indonesia. Ada pula yang menjulukinya “Hamka versi perempuan”. Ketika perempuan segenerasinya belum banyak menempuh pendidikan hingga tingkat doktoral, Zakiah telah berhasil meraih gelar doktor dari Universitas Eins Shams, Mesir, pada 1964.

Semasa hidup, Zakiah mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan. Ia banyak menulis buku psikososial dan mengajar di berbagai perguruan tinggi Islam seluruh Indonesia. Perempuan kelahiran Jorong Koto Marapak, Sumatra Barat, 6 November 1929 ini adalah tokoh di balik kemajuan pendidikan madrasah.

Kisah Zakiah memajukan pendidikan madrasah dimulai pada awal masa kekuasaan Soeharto. Seperti dicatat dalam Ulama Perempuan Indonesia (2002) yang disunting Jajat Burhanudin, pemerintah Orde Baru menginstruksikan penyelarasan pendidikan agama dan nasional/umum selepas peristiwa G30S. Saat itu, pemerintah berusaha mencari legitimasi dari rakyat yang mempersepsikan kehancuran negara akibat ulah kaum komunis (hlm. 153).

Mereka melakukan konsolidasi di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Salah satunya dengan mengintegrasikan pendidikan agama dan pendidikan nasional. Cara yang ditempuh adalah menjadikan pendidikan agama sebagai mata pelajaran pokok di sekolah umum hingga perguruan tinggi sebagai realisasi TAP MPRS No. 26 Tahun 1966. Zakiah ialah orang yang ditunjuk menyusun buku pedoman pendidikan agama tersebut.

Untuk memperkuat kebijakan itu, juga demi menyelaraskan pendidikan agama dan nasional, presiden mengeluarkan Instruksi No. 34 Tahun 1972 tentang Pendidikan. Soeharto meminta instansi pendidikan agama diawasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Namun Inpres ini mendapat tentangan dari berbagai ormas keagamaan dan menjadi penyulut perdebatan yang tak putus-putus.

Sebagian kelompok menganggap instansi pendidikan agama lebih cocok berada di bawah Departemen Agama (Depag). Sebaliknya, kelompok lain menilai pendidikan agama harus diimbangi dengan sistem pendidikan nasional agar peserta didiknya dapat bersaing secara global. Akhirnya, dua tahun kemudian, keluarlah Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1974 yang memberi peluang bagi lembaga pendidikan agama untuk tetap bernaung di bawah Depag.

Sebagai Direktur Pendidikan Agama (1972-1977) saat itu, Zakiah menjadi inisiator lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 1975 antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri.

Surat tersebut meningkatkan status madrasah dan diakui dalam kurikulum pendidikan nasional. Sejak SKB diberlakukan, hampir semua madrasah mengajarkan 70% pengetahuan umum dan 30% pendidikan agama. SKB juga menjamin para lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi umum. Komposisi kurikulum madrasah tersebut hingga kini masih diterapkan di Indonesia.

Gebrakan Pendidikan

Masih dari buku yang sama, kebijakan pendidikan agama sebagai mata pelajaran pokok di era Orde Baru ternyata menimbulkan implikasi buruk. Kuota pengangkatan guru pendidikan agama yang ditambah secara besar-besaran membuka celah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam Ujian Guru Agama (UGA).

Pengangkatan 60 ribu guru agama sejak 1966 tidak tepat sasaran, banyak guru agama yang tak berkompeten. Banyak dari mereka yang melampirkan ijazah palsu dan menggunakan satu SK Pengangkatan secara beramai-ramai. Penyelewengan ini lazim terjadi di tingkat Inspeksi Pendidikan Agama Provinsi (IPAKAP).

“Seorang penggembala kambing pun ibaratnya bisa diangkat jadi guru agama,” ujar Zakiah menggambarkan carut-marutnya kondisi saat itu.

Direktur-direktur sebelum Zakiah seperti R. Muljadi Marosudarmo dan Sjarifuddin memang telah berusaha menyelesaikan kasus tersebut, tapi selalu gagal. Zakiah-lah yang berhasil menuntaskannya pada 1976. Secara bertahap, ia mencari informasi, menarik SK “nyasar”, dan memindahkannya kepada yang berhak.

Penuntasan kasus KKN UGA bukan perkara mudah karena harus melibatkan sejumlah instansi pemerintah. Pencatatan negara belum satu pintu. Guru agama yang mengajar di sekolah umum merupakan wilayah pengawasan Depdikbud dan gubernur setempat.

Sementara profesi guru secara administratif termasuk pegawai Departemen Dalam Negeri. Departemen Keuangan dalam hal ini berwenang mengurus penggajian guru. Namun pengangkatan dan pemberhentiannya berada di bawah Kantor Urusan Pegawai (KUP).

”Banyak orang marah, terutama mereka yang terkena tindakan saya. Tetapi saya jalan terus. Ini kasus yang paling melelahkan.”

Infografik Mozaik Zakiah Daradjat

Infografik Mozaik Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat. tirto.id/Tino

Kembali ke Dunia Akademik

Setelah meninggalkan jabatan sebagai direktur, ia diangkat menjadi Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga dari 1984 hingga 1992. Di tahun yang sama ketika mulai menduduki jabatan dekan, Zakiah dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Jiwa Agama di tempatnya mengajar.

Selama hidupnya, ia sempat menjadi dosen keliling. Zakiah mengajar agama dan kesehatan mental serta psikologi agama. Saat itu, literatur disiplin ilmu jiwa agama sangat terbatas, bahkan dalam bahasa asing sekalipun.

“Ketika menerima penunjukan [sebagai dosen], sebenarnya hati saya agak berat. Saya menyadari ilmu ini masih baru dan belum banyak dikenal orang di negeri ini,” katanya ragu.

Tapi Zakiah pantang menyerah. Ia malah berhasil menyusun diktat ilmu jiwa agama dan dibukukan dengan judul Ilmu Jiwa Agama (1970). Ia juga menyiasati kekurangan guru bidang studi umum di madrasah dengan membuka jurusan tadris/keguruan di IAIN.

Dalam salah satu tulisannya yang dikumpulkan di buku Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan (2004), Amelia Fauzia menyebutkan bahwa Zakiah mengelaborasi pembinaan kesehatan mental dengan agama sebagai pencegah gangguan kejiwaan (hlm. 92).

Zakiah mengembangkan metode non-direktif Carl Rogers, menjadikan pasiennya sebagai subjek yang punya kuasa untuk memulihkan diri sendiri. Metode tersebut berlawanan dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud—menempatkan pasien sebagai objek yang butuh disembuhkan—yang saat itu banyak diadopsi psikolog seluruh dunia.

Hingga tutup usia pada 15 Januari 2013, tepat hari ini sembilan tahun lalu, perempuan pertama yang menjabat salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini tetap memberi sumbangsih ilmunya. Ia rajin menulis buku, mengajar, dan membuka praktik konseling psikologi.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 21 Mei 2018. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait ILMUWAN ISLAM atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Irfan Teguh Pribadi