Menuju konten utama

Yunarto: Caleg Eks Napi Korupsi Diterima Masyarakat Asal Relegius

Masyarakat akan menerima caleg eks napi korupsi, karena dikenal relegius dan dermawan, sehingga menaikkan elelektabilitas. Hal ini jadi preseden buruk bagi partai, karena tak bisa menyaring kader dengan benar.

Yunarto: Caleg Eks Napi Korupsi Diterima Masyarakat Asal Relegius
Ketua KPU Arief Budiman (kanan) bersama komisioner KPU Ilham syahputra (kiri) sedang mengumumkan caleg eks koruptor di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/2/2019). tirto.id/Bayu septianto

tirto.id - Caleg eks napi korupsi tetap diterima masyarakat, diperkirakan akibat dari citra religiusnya yang lebih menonjol.

Hal itu disampaikan Direktur Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya dalam diskusi bertajuk 'Kenali Rekam Jejak Calegmu' yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (24/2/2019).

Diskusi dalam rangka peluncuran situsweb rekamjejak.net menghadirkan Direktur Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya; Jubir KPK, Febri Diansyah; Inayah Wahid, pendiri Positive Movement; Almas Sjafrina, peneliti ICW.

Yunarto menjelaskan, penerimaan masyarakat itu jadi persoalan efektifitas pemberantasan korupsi, karena citra buruk sebagai eks koruptor tertutup citra religius atau keagamaan caleg.

"Ajaran nilai moral juga menjadi aspek paradoks dari [citra] caleg korupsi ini [di dalam masyarakat]," kata Yunarto dalam diskusi Indonesia Corruption Watch (ICW), di Jakarta Selatan, Minggu (24/2/2019).

Pandangan masyarakat secara umum itu, kata Yunarto, berdampak pada elektabilitas caleh. Meski eks napi korupsi asal dermawan, elektabilitasnya diprediksi tinggi. Hal ini karena menunjukkan tingkat religius caleg.

"Caleg dermawan tapi korupsi akan lebih dianggap religius," ujar Yunarto.

Citra religius caleg, kata dia tergambar dalam pemberitaan yang ramai terkait calon presiden yakni soal salat Jumat dan kemampuan membaca Alquran. Masing-masing capres dinilai masyarakat dari sisi religius.

"Akhirnya dibandingkan mana yang lebih baik mengaji atau salat Jumat," kata Yunarto.

Yunarto juga mengatakan, citra religius caleg terbatas pada tataran praktis, tidak sampai diterjemahkan ke dalam program kerja. Hal ini menguatkan dugaan, citra relegius hanya digunakan untuk meningkatkan elektabilitas.

"[Religiusitas caleg] tidak dalam konteks [akan] menerjemahkan aspek religius [ke] dalam program," ujar Yunarto.

Caleg eks napi korupsi juga jadi sorotan ICW yang merilis nama-namanya ke publik. Juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengumumkannya.

Jumlah caleg eks napi korupsi, menurut Yunarto Yunarto menunjukkan sistem penyaringan kader yang buruk pada sebuah partai.

"Mereka [partai] akan merekrut [caleg] yang penting bisa menaikan elektabilitas. Siapa yang kuat, surveinya tinggi, mereka akan pakai itu," ungkap dia.

Yunarto juga menilai partai yang malah mengakui kecolongan dengan keberadaan caleg eks napi korupsi, justru mengindikasikan sistem kaderisasi yang buruk.

"Kalau mereka jujur [soal kecolongan] ini mengindikasikan betapa buruknya sistem penyaringan mereka," imbuh dia.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Politik
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali