Menuju konten utama

YPPI Desak Pembentukan MoU untuk Lindungi Pembela Lingkungan

Ainul menilai, hingga saat ini, kriminalisasi dan ancaman terhadap pembela lingkungan tetap terjadi.

YPPI Desak Pembentukan MoU untuk Lindungi Pembela Lingkungan
Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah membentangkan spanduk saat melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah di Palu, Selasa (16/1/2018). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

tirto.id - Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII) mengecam keras kasus pembakaran rumah salah satu aktivis lingkungan, Direktur Walhi Nusa Tenggara Barat (NTB), Murhadi pada 28 Januari 2019 lalu.

Kepala Badan Advokasi, YPII, Ainul Yaqin menegaskan, sudah saatnya membentuk perjanjian kesepahaman atau MoU antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan sejumlah aparat penegak hukum untuk melindungi hak para pembela lingkungan.

Pasalnya, kata Ainul, selama ini para pembela lingkungan rentan mendapat kriminalisasi dan jarang dilindungi. "Perlu MoU, agar bagaimana mengkonkretkan UU kami yang sudah bagus ini, menjadi sesuatu yang operasional," kata Ainul saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, pada Rabu (30/1/2019).

Sebenarnya, kata Ainul, hak para pembela lingkungan sudah dilindungi oleh undang-undang. Hal itu tertera dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam pasal itu, disebutkan, pembela lingkungan tidak dapat dijerat secara hukum, baik perdata, maupun pidana agar tidak terjadi kriminalisasi.

Meski ada regulasi yang mengatur, namun Ainul menilai, hingga saat ini, kriminalisasi dan ancaman terhadap pembela lingkungan tetap terjadi.

Bentuk MoU yang diusulkan oleh Ainul adalah perjanjian antara Komnas HAM, Kejaksaan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sehingga ketika terjadi kriminalisasi, tindak kekerasan, atau ancaman, tidak langsung ditangani oleh kepolisian, melainkan langsung mendapatkan perlindungan dari Komnas HAM.

Menurut dia, bentuk MoU tersebut hampir serupa dengan perjanjian antara Dewan Pers dengan kepolisian. Dalam perjanjiannya, setiap tuntutan yang masuk ke wartawan atau media harus diselesaikan melalui Dewan Pers, baru kemudian ke kepolisian apabila dibutuhkan.

"Jadi Komnas HAM biar bisa punya intervensi cukup kuat, itu butuh MoU," katanya.

Menurut Ainul, perjanjian itu bersifat urgen mengingat ada kasus pembakaran terhadap rumah salah satu pembela lingkungan, yakni Murhadi, Direktur Walhi NTB.

Rumah Murhadi dibakar melalui dua pintu masuk pada 28 Januari 2019, dini hari. Saat ini, kasusnya sudah masuk ke Polres, dan sedang dalam proses pemindahan ke Polda NTB.

Walhi dan sejumlah lembaga pembela HAM, yakni KontraS, YLBHI, YPII, Amnesty Indonesia, dan sebagainya keras pembakaran tersebut. Pasalnya, tindakan ini diduga berkaitan dengan advokasi yang Murhadi dan Walhi NTB lakukan, yakni penolakan atas pemberian izin-izin pertambangan pasir, serta pengungkapan pertambangan pasir ilegal di NTB.

Baca juga artikel terkait RUMAH DIREKTUR WALHI NTB DIBAKAR atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Alexander Haryanto