Menuju konten utama

Youtube Banjir Iklan, tapi Belanja Online Masih Kalah dari Offline

Youtube menjadi platform terpopuler di dunia maya. Apa konsekuensinya pada dunia iklan?

Youtube Banjir Iklan, tapi Belanja Online Masih Kalah dari Offline
Ilustrasi Youtube. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Luar biasa,” ucap Susan Wojcicki, pemimpin eksekutif Youtube, mengomentari kondisi platform yang dipimpinnya.

Youtube, media sosial berbasis video yang dimiliki Google ini memang luar biasa. Saban hari, 9,5 miliar jam dihabiskan seluruh penggunanya di Android sepanjang 2017. Padahal, platform ini dimulai dengan konten 'alay'. Kala itu, pada 14 Februari 2005, salah satu pendiri Youtube Jawed Karim mengunggah video berdurasi tak lebih dari 20 detik berjudul “Me at The Zoo”. Dalam videonya, Karim hanya mengucap tiga kalimat:

“Oke, sekarang saya berada di depan gajah."

"Yang menarik dari gajah ialah mereka memiliki belalai yang sangat sangat panjang."

"Tidak ada lagi yang perlu saya katakan tentang gajah.”

Head of Large Customer Marketing Google Indonesia Maurel Makarim memaparkan ada lebih dari 79 juta pengguna aktif bulanan Youtube di Indonesia. Angka fantastis itu didukung oleh semakin meningkatnya jumlah kanal Youtuber Indonesia yang memiliki jumlah pengikut (follower) lebih dari satu juta. Pada 2016, hanya ada dua kanal yang memiliki jumlah pengikut lebih dari satu juta. Namun, hingga pertengahan 2019, telah ada lebih dari 340 kanal yang memiliki jumlah pengikut lebih dari satu juta.

Sebagaimana diucapkan Creative Lead Google Indonesia Ishak Reza, Youtube makin fenomenal karena meningkatnya konsumsi video di internet. Menurutnya, 82 persen lalu-lintas internet terjadi via video.

Meningkatnya konsumsi video via internet, menurut Reza, terjadi karena beberapa perubahan, misalnya kecepatan internet yang bertambah. "Dulu nonton di TV, sekarang kebanyakan di layar kecil, di ponsel. [Kemudian] konten makin banyak, khususnya di medsos dan kian tidak ada batasannya.”

Selain itu, konsumsi video melalui dunia maya meningkat karena perubahan perilaku pengguna. Dulu, orang-orang mengkonsumsi video secara pasif, hanya melalui TV. Kini, konsumsi video dilakukan secara aktif.

Popularitas Youtube akhirnya mengundang derasnya iklan. Statista mencatat pendapatan iklan di Youtube khusus di Amerika Serikat akan mencapai angka $5,47 miliar pada 2020, meningkat dari $3,88 miliar di tahun 2017.

Di sisi lain, pendapatan iklan di TV tak semasif dulu. Masih menurut Statista, secara global, TV akan mendulang iklan sebanyak $177 miliar pada 2019. Angka itu, meskipun besar, akan jadi nomor dua setelah iklan internet, termasuk Youtube.

Menurut Maurel, ada tiga kunci kesuksesan iklan di Youtube. Pertama, iklan harus menyentuh sentimen keluarga. Lalu, iklan dapat ditambahkan elemen-elemen humor. Setelahnya, pengiklan dapat bekerjasama dengan Youtuber, yang memiliki basis pengikut besar untuk mensukseskan iklan mereka.

Tapi, pertanyaan selanjutnya, apakah iklan di dunia digital, khususnya Youtube, benar-benar berpengaruh pada pengiklan?

Dalam tulisannya di Harvard Business Review, Niraj Dawar menyatakan bahwa kunci utama perbedaan iklan secara online dengan cara konvensional, misalnya melalui TV, ialah kemampuan iklan digital untuk melakukan pelacakan alias trackability.

Menurut dosen di Ivey Business School, Kanada ini setiap iklan digital yang diklik melalui Google Serach, Gmail, Google Maps, hingga Youtube, dapat dilacak Google. Jika pengguna diarahkan ke situs web belanja, Google akan tahu dan keberhasilan suatu iklan dapat dinyatakan.

Infografik Kepopuleran Youtube di Indonesia

Infografik Kepopuleran Youtube di Indonesia. tirto.id/Nadia

Menurut Dawar, Google dapat melacak 70 persen transaksi online menggunakan kartu kredit maupun debit manakala pengguna mengklik iklan dan menghabiskan uang di situs web jual-beli online yang diarahkan. Masalahnya, di Amerika Serikat saja transaksi jual-beli online hanya menyumbang 8,5 persen total transaksi belanja pada 2017, kalah telak dibandingkan transaksi offline.

Transaksi offline sukar dilacak. Pengaruh iklan digital, misalnya iklan sabun, sukar dilacak manakala pengguna kemudian membelinya secara offline. Terlepas dari link yang disertakan dalam iklan digital.

Walhasil, menurut Dawar, “sukar menghubungkan sukses tidaknya iklan digital dengan kenyataan di lapangan”.

Padahal, menurut tulisan Dawar dalam tulisannya yang lain, perusahaan-perusahaan kini telah membelanjakan sekitar 50 persen uang iklannya ke platform digital yang perlahan-lahan mengikis iklan konvensional.

Di sisi lain, studi yang dilakukan eBay menemukan hal mengejutkan. Pada 2015, eBay menguji efektivitas iklan digital. Mereka menghentikan iklan digital dan kemudian menemukan fakta bahwa lalu lintas ke situsnya tak jauh berbeda dibandingkan ketika tidak beriklan.

Namun, studi yang dilakukan Yelp, masih merujuk sumber yang sama, menemukan hal sebaliknya. Menurut mereka, kala suatu restoran beriklan secara digital, situs web mereka mendulang lalu-lintas lebih tinggi dibandingkan ketika tidak beriklan.

“Ini adalah efek yang sangat besar,” kata dosen Harvard Business School Michael Luca.

Baca juga artikel terkait YOUTUBE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Mild report
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf