Menuju konten utama
27 Mei 2006

Yogyakarta (Bukan) Kota Malapetaka

Menjadi satu
pada getaran lindu.
Duka dan ngilu.

Yogyakarta (Bukan) Kota Malapetaka
Ilustrasi Mozaik Gempa Yogyakarta 2006

tirto.id - Dua kutub yang mengapit Yogyakarta berbareng bergerak pada 27 Mei 2006. Gunung Merapi yang berdiri gagah di sebelah utara sedang pamer wibawa selama beberapa hari belakangan. Dan Sabtu pagi itu, entah mengapa sisi selatan ikut-ikutan menggeliat. Gempa tektonik berdaya getar lumayan besar mengguncang bumi Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sesaat setelah gempa menghentak, sempat muncul kebingungan. Banyak warga mengira, tanah berguncang lantaran aktivitas Merapi yang memang sejak 15 Mei 2006 telah memuntahkan lava dan lahar. Sementara dari arah berlawanan, berhembus hoax bahwa gelombang tsunami menerjang pesisir selatan.

Orang-orang kalang-kabut. Yang dari utara beramai-ramai menjauhi Merapi, sebaliknya warga dari selatan berusaha lari dari terjangan tsunami yang sejatinya tidak pernah terjadi. Alhasil, kepanikan pun sempat menumpuk di tengah kota.

Ternyata bukan Merapi yang membuat bumi Yogyakarta berontak pagi itu. Gempa disinyalir berasal dari patahan atau sesar Opak, sungai yang mengalir hingga ke Pantai Samas di laut selatan alias Samudera Hindia. Guncangan hebat juga terjadi akibat tumbukan antara dua lempeng tektonik yang termasuk terbesar di dunia, yakni Indo-Australia dan Eurasia.

Hanya dalam tempo 57 detik dimulai pukul 05.54 WIB, gempa bumi telah meluluh-lantakkan Yogyakarta dan sekitarnya. Ribuan orang meninggal dunia lantaran tertimpa rumah atau gedung yang ambruk. Yang mengalami luka-luka, baik berat maupun ringan jauh lebih banyak. Ratusan ribu unit bangunan rusak parah, bahkan banyak yang rata dengan tanah.

Saat itu, Indonesia amat berduka.

Mengguncang Jantung Jawa

Menurut Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya pada 27 Mei 2006 itu berkekuatan 5,9 Skala Richter (SR). Namun, data dari United States Geological Survey (USGS) mengatakan lain. USGS, seperti dikutip Christovita Wiloto dalam Behind Indonesia's Headlines (2008), menyebut angka 6,2 SR (hlm. 149).

Yogyakarta memang termasuk lokasi rawan bencana. Selain keberadaan Gunung Merapi, yang merupakan salah satu gunung berapi teraktif di dunia, di sebelah utara, wilayah yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia di sisi selatannya ini juga terbilang akrab dengan gempa bumi.

Patahan sesar Opak, tulis Sukandarrumidi dalam Bencana Alam dan Bencana Anthropogene (2010), dianggap sudah mati, tetapi ternyata mengalami reaktivasi dan terjadilah gempa tektonik pada 26 Mei 2006 itu (hlm. 57). Ditengarai masih ada sejumlah sesar aktif lainnya yang berpotensi memicu gejala alam serupa.

Setelah gempa utama pada Sabtu pagi jam 05.54 WIB itu, terjadi serangkaian gempa susulan kendati daya getarnya semakin mengecil. Dalam sehari itu saja, 27 Mei 2006, total dirasakan 176 kali gempa, demikian disebutkan Supartoyo, dkk. di artikel bertajuk “10 Tahun Gempa Yogyakarta” dalam Geomagz, Majalah Geologi Populer terbitan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Volume 6, Nomor 2, Juni 2016: 18).

Esoknya, setiap hari dari tanggal 28 sampai 31 Mei, kemudian berlanjut di bulan Juni mulai tanggal 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, dan 11 –hanya satu hari yang absen yakni tanggal 6– berturut-turut dirasakan gempa dalam sehari masing-masing sebanyak 126 kali, 79 kali, 48 kali, 21 kali, 10 kali, 20 kali, 26 kali, 14 kali, 12 kali, 16 kali, 13 kali, 18 kali, 7 kali, serta 11 kali. Rata-rata durasi waktunya antara 3-6 detik.

Hingga I Juni 2006, Departemen Sosial RI mencatat 6.234 orang meninggal dunia (Wiloto, 2008: 149). Sebagian besar korban tewas dari Kabupaten Bantul yakni 4.143 orang, Kabupaten Sleman (243 orang), Kota Yogyakarta (218 orang), Kabupaten Gunung Kidul (84 orang), dan Kabupaten Kulonprogo (22 orang), selebihnya dari Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang juga terkena dampak gempa cukup parah.

Sementara korban luka mencapai lebih dari 26.299 orang. Selain itu, lebih dari 109.000 unit bangunan rusak total, juga 301.000 unit bangunan lainnya yang mengalami kerusakan dengan skala tertentu, dari ringan, sedang, hingga berat.

Gempa bumi yang berpusat di Bantul ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat DIY dan Klaten saja. Warga Semarang, Purworejo, Kebumen, Banyumas, Solo, Ngawi, Madiun, Kediri, Trenggalek, Magetan, Pacitan, Blitar, sampai Surabaya turut pula merasakan getaran dari gempa dahsyat ini.

Infografik Mozaik Gempa Yogyakarta 2006

Tudingan Kota Bencana

Tragedi gempa bumi tahun 2006, disusul erupsi Gunung Merapi pada 2010 yang juga mengakibatkan cukup banyak korban jiwa, membuat Yogyakarta mendapat tuduhan sebagai kota bencana. Salah satu tayangan infotainment paling populer di televisi saat itu bahkan secara hiperbolis menyebut Yogyakarta sebagai kota malapetaka.

Lantas, benarkah Yogyakarta adalah kota bencana? Dilihat dari lokasi dan takdir geografisnya, seperti yang telah disinggung sebelumnya, Yogyakarta ini memang menempati kawasan unik yang menjadi patahan pondasi bumi sehingga berpotensi kerap disambangi gempa, meskipun tidak selalu besar. Ditambah lagi dengan keberadaan Gunung Merapi yang hingga kini masih aktif.

Gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta pada 2006 lalu merupakan siklus yang tidak terelakkan dalam perjalanan sejarah kota ini, sekali lagi, mengingat lokasinya yang memang terletak kawasan yang tidak biasa.

Sebelum 2006, gempa besar yang juga pernah memporak-porandakan Yogyakarta dan sekitarnya terjadi tanggal 10 Juni 1867. Ahli geologi Belanda, S.W. Visser, dikutip dari tulisan Danny Hilman Natawidjaja berjudul “Misteri Patahan Sumber Gempa Yogya 2006” (Majalah Geomagz, 2016: 25), pada 1922 melaporkan, gempa besar berdurasi 70 detik ini berpusat di dekat aliran Sungai Opak atau bersesuaian dengan sesar Opak, sama seperti sumber gempa Yogyakarta tahun 2006.

Ki Sabdacarakatama dalam Sejarah Kraton Yogyakarta (2009) mengungkapkan, gempa bumi tahun 1867 ini juga mengakibatkan kerusakan terhadap sejumlah bangunan di kompleks istana, termasuk masjid besar kesultanan (hlm. 101).

Walaupun cenderung akrab dengan fenomena alam yang terkadang mengagetkan, akan tetapi Yogyakarta pula yang menyangga tegaknya peradaban Jawa sebagai salah satu unsur utama Republik Indonesia. Sejak dulu, wilayah ini sudah membuktikan eksistensinya. Prasasti semegah Candi Prambanan, Candi Ratu Boko, dan rangkaian candi lainnya yang dibangun sejak masa Mataram Kuno pada abad ke-8 Masehi, misalnya, terdapat di sini.

Yogyakarta dalam perjalanannya bahkan kerap difungsikan sebagai pusat pemerintahan, dari zaman Mataram Kuno, Mataram Islam, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, bahkan pernah dijadikan ibukota RI. Ini membuktikan, kendati kerap menjadi langganan bencana karena takdir alamnya, namun Yogyakarta dianggap sebagai salah satu tempat yang paling tepat untuk membangun peradaban.

Hal itu berlaku bahkan hingga kini. Para pemuda dan pemudi dari seluruh pelosok negeri semakin banyak datang ke Yogyakarta demi menuntut ilmu. Begitupula para pelancong dari mana-mana yang memilih kota ini untuk berwisata.

Semakin menjamurnya hotel, apartemen, pusat perbelanjaan, wahana rekreasi, dan seterusnya –terlepas dari perdebatan yang lantas muncul– menjadi bukti bahwa Yogyakarta sangat berpotensi untuk berinvestasi kendati kota ini cukup akrab dengan gempa bumi juga erupsi Merapi.

Yogyakarta sempat terkulai akibat gempa hebat pada 27 Mei 2006, akan tetapi tak sampai benar-benar terpuruk apalagi ambruk. Kejadian itu patut dikenang sebagai tragedi kelam, tetapi juga menjadi motivasi sekaligus pembelajaran penting untuk senantiasa eling lan waspada demi mencapai kehidupan yang lebih baik dengan tetap bersinergi dengan alam.

Baca juga artikel terkait MOZAIK TIRTO atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya